Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Reorganisasi, Tapi Bukan...

Reorganisasi ABRI dan kepolisian untuk efisiensi, penghematan, dan profesional. Jumlah kodam dilikuidasi. Kowilhan, Kodau dan Kodaeral dihapus. Jumlah perwira diciuntukan.

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN gagah, Brigadir Jenderal Harsudiyono Hartas, panglima Kodam II/ Bukit Barisan, menyerahkan pataka Kodam II kepada Jenderal Rudini. Kepala staf TNI AD ini lalu menyerahkan pataka itu kepada pasukan pembawa pataka. Pelan-pelan, pataka bergambar lima gunung biru dengan latar belakang merah itu ditutup dengan selubung. Bersama itu, sebuah lembar sejarah pun ikut ditutup. Pataka dengan lima gunung biru itu mungkin akan disimpan dalam museum. Sebab, sejak upacara di lapangan Banteng, Medan, 27 April lalu itu, berakhirlah sebutan Kodam lI/Bukit Barisan. Bersama dengan Kodam l/Iskandar Muda (Aceh) dan Kodam 111/17 Agustus (Sum-Bar), Kodam ll/Bukit Barisan dilikuidasikan dan dilebur, untuk kemudian disatukan ke dalam Kodam l/Bukit Barisan yang bermarkas di Medan. Sabtu lalu itu, Rudini pun mencopot tanda jabatan pangdam 11 Harsudiyono Hartas, lalu menyematkan tanda jabatan baru pangdam I kepada Brigjen Soeripto, yang sebelumnya menjabat pangdam 111/17 Agustus. Kasad kemudian menyerahkan pataka baru Kodam I kepada Soeripto. Lambang baru ini bergambar tujuh gunung hitam dengan hutan hijau serta latar belakang merah dan kuning. Maka, resmilah kelahiran Kodam l/Bukit Barisan. Reorganisasi ABRI yang sedang dilaksanakan sekarang ini sebagian mirip langkah kembali tahun 1950-an. Pangab Jenderal L.B. Moerdani juga mengakuinya (Lihat: Wawancara dengan Pangab). Dalam wawancara dengan TEMPO dua tahun silam Jenderal Benny mengungkapkan bahwa organisasi ABRI dinilai terlalu heavy dibanding dengan yang diperlukan. Menggembungnya organisasi ini antara lain karena setelah 1965 ada kecenderungan untuk membentuk kodau, kodaeral, dan polda, di samping kodam, "agar keempat angkatan terwakili" (TEMPO, 15 Oktober 1983). Gerakan penghematan yang mulai dilaksanakan pada 1983, setelah Jenderal Benny menjadi pangab, mendorong langkah untuk memangkas struktur yang berlebihan ini. Bukan cuma soal biaya yang semakin tipis yang menjadi alasan. Reorganisasi ini, seperti dikatakan Pangab, juga merupakan usaha yang realistis, "Untuk menciptakan sesuatu yang dapat kita laksanakan. Kemampuan ABRI ternyata belum bisa mendukung sistem yang ada. Kita ternyata belum mampu, misalnya, memperlengkapi Kowilhan dengan kekuatan pemukul yang bisa berdiri sendiri." Yang juga terpangkas dengan penataan kembali ini adalah sistem kowilhan. Sistem ini, selain memakan terlalu banyak biaya, juga dinilai kurang realistis. "Bahkan untuk meninjau salah satu wilayahnya yang terpencil pun seorang pangkowilhan harus meminta bantuan pesawat terbang dari Jakarta," kata sebuah sumber. Padahal, menurut "teori"-nya, kowilhan seharusnya mampu berdiri dan mempertahankan wilayahnya sendlri. Struktur baru ABRI, setelah penataan ini, memang lebih "ramping". Jumlah kodam yang semula 16 dikurangi menjadi 10. Kodam 1, II, serta III dilikuidasikan dan dijadikan satu, menjadi Kodam I/Bukit Barisan. Kodam IV/Sriwijaya tetap, dan menjadi Kodam II/Sriwijaya. Di Jawa, Kodam VI/Siliwangi, Kodam VII/Diponegoro, dan Kodam VIII Brawijaya tetap, hanya nomornya diubah menjadi Kodam 111, IV, dan V. Tiga kodam di Kalimantan: Mulawarman di Balikpapan, Tanjungpura di Pontianak, dan Lambung Mangkurat di Banjarmasin, dijadikan satu kodam, yakni Kodam Vl Tanjungpura. Lalu Kodam Hasanuddin dan Merdeka di Sulawesi dihapus, dijadikan satu kodam, yaitu Kodam VII/Wirabuana. Irian Jaya dijadikan satu kodam: Kodam Vlll Trikora. Kodam Pattimura dan Cenderawasih dihapus. Kodam Udayana tetap, hanya nomornya diubah menjadi Kodam IX/Udayana. Kodam V/Jakarta Raya agak lain, dijadikan Kodam Jakarta Raya, tanpa nomor. "Karena ibu kota, organisasi kodamnya sedikit beda dengan kodam lain yang wilayahnya luas. Jakarta 'kan cuma kota, jadi misalnya kebutuhan stafnya lain, meski tak banyak berbeda," kata Kasad Rudini. Keadaan ini juga mirip tahun 1950-an, tatkala di Jakarta ada KMKB DR (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raja). Yang juga berbeda adalah pangkat seorang pangdam. Dulu, pangkat pangkodam di Jawa selalu mayor jenderal, sedangkan di luar Jawa brigadir jenderal. Dalam struktur baru, semua pangdam pangkatnya mayor jenderal. Beberapa pangkodam di luar Jawa saat ini memang maslh menyandang pangkat brigjen. "Nanti mereka akan naik pangkat - nenjadi mayor jenderal, setelah likuidasi selesai," kata Jenderal Rudini pada Indrayati dari TEMPO. Penataan kembali organisasi ini juga didasarkan atas konsep strategis pertahanan keamanan yang memtlkberatkan pada pertahanan pulau demi pulau. "Ini berarti, pulau dan wilayah merupakan kompartemen strategis yang mampu mempertahankan dan mengamankan wilayahnya sendiri," kata Jenderal Rudini, pekan lalu. Orientasi ABRI, kata Rudini, kini terletak pada bagaimana harus mengendalikan pertahanan suatu wilayah. "Mengapa Sumatera kita bagi menjadi dua wilayah, yang artinya ada dua komando pengendalian? Itu pertlmbangannya medan, demografi, dan macam-macam." Menurut Rudini, ABRI bukan tentara yang menghadapi perang konvensional seperti negara baru. "Jadi, meski sudah ada peralatan yang sophisticated, kita tetap membutuhkan angkatan perang yang sampai ke desa. Sebab, kita harus mampu, kalau perlu, melaksanakan sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta), yang mengerahkan seluruh potensi di daerah itu untuk menghadapi lawan yang masuk." Agaknya, karena itulah pembinaan teritorial dalam struktur baru ini mendapat perhatian penting. Kini di tiap kodam terdapat asisten sosial politik, dan di tingkat korem ada staf atau seksi sospol. Bukan cuma Jenderal Rudini yang sibuk melikuidasikan kodam. Kasau Marsekal TNI Sukardi dan Kasal Laksamana TNI M. Romly selama beberapa pekan terakhir juga berkeliling Indorlesia untuk melaksanakan reorganisasi angkatannya. Yang tidak hanya Kapolri Jenderal Anton Soedjarwo (lihat: Box). Marsekal Sukardi, misalnya, berturut-turut pada 10, 11, dan 13 April lalu mengunjungi Ujungpandang, Biak, dan Medan, untuk melikuidasikan Kodau 111, Kodau Vll, dan Kodau 1. Peranan kodau di TNI-AU akan diserap dan diteruskan oleh Komando Operasi TNI-AU (Koops AU). Wilayah Rl nantinya dibagi menjadi dua, Koops I Barat, yang berpusat di Jakarta, dan Koops 11 Timur, yang berpusat di Ujungpandang. Kopasgat (Komando Pasukan Gerak Cepat) TNI-AU sejak 1 April berganti nama menjadi Paskhasau (Pasukan Khas TNI-AU). Hal yang sama juga sedang berlangsung di Angkatan Laut. Dalam reorganisasi di AL, delapan kodaeral yang ada sekarang akan dilikuidasi. Fungsinya akan dipindahkan ke Armada Barat dan Armada Timur. Di bawah kedua armada ini dibentuk lima Pangkalan Utama TNI-AL (Lantamal) yang membawahi sejumlah Pangkalan (Lanal) dan Stasion AL (Sional). Reorganisasi di TNI AD, menurut rencana, akan selesai tahun depan. "Tanggal 1 April 1986 nanti, segenap jajaran ABRI/ TNI-AD telah siap dioperasikan," kata Rudini. Ada yang menarik. Dalam berbagai sambutannya, Pangab Jenderal Benny, Kasad Jenderal Rudini, Kasau Marsekal Sukardi dan Kasal Laksamana M. Romly selalu menegaskan: reorganisasi ini bukan rasionalisasi, dalam arti pengurangan personil. Istilah rasionalisasi ini tampaknya sengaja dihindari. Agaknya, pimpinan ABRI tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman yang bisa menimbulkan kerisauan di kalangan anggota ABRI. Kesalahpahaman ini memang pernah terjadi dan sempat menimbulkan kerisauan sejumlah perwira menengah, yang mengira bahwa peluang mereka untuk naik pangkat dan memperoleh jabatan lebih tinggi tertutup (Lihat: Wawancara dengan Jenderal Rudini). Memang, ada perkiraan bahwa lewat reorganisasi ini jumlah perwira, termasuk perwira tinggi, akan berkurang, dengan dikurangi dan dihapuskannya sejumlah lembaga, seperti kowilhan, kodam, kodau, dan kodaeral. Ada juga dugaan, dengan langkah ini, bisa dikurangi jumlah perwira agar bisa dicapai bentuk piramid ideal dalam perbandingan jumlah perwira, bintara, dan tamtama ABRI. Jenderal Benny menolak menjawab langsung. "Itu merupakan pedoman garis besar saja, tetapi tidak mutlak," katanya. Jumlah perwira di ABRI, katanya, tempo hari memang terlalu besar. "Sekarang sudah kita perkecil." Ia memberi contoh: jika mengambil titik tolak 10 persen perwira, berarti di AD harus ada 2.500 perwira dan di AU ada 270 perwira. "Cara itu tidak selalu cocok. Sebab, satu perangkat komando seperti ini, biar bagaimanapun kecilnya yang di bawah, tidak bisa lebih kecil dari yang ada sekarang," katanya pada TEMPO. Kompetisi memang akan lebih tajam. "Memang lebih sulit untuk menjadi kolonel, brigjen, mayjen. Itu betul. Sebab, yang tadinya mungkin lima tempat diperebutkan 10 orang, nantinya mungkin akan diperebutkan oleh 100 orang," ujar Jenderal Rudini. Lalu, tambahnya, "Tapi ya memang seharusnya begitu. Seorang yang terpilih meniadi kolonel itu harus Jagoan. Jadi, akan terjadi seleksi yang ketat dan betul-betul berdasarkan prestasi. Penghindaran pemakaian istilah rasionalisasi tampaknya juga agar tidak dikaitkan dengan rasionalisasi yang pernah dilakukan pada tahun 1950-an. Apa yang disebut rekonstruksi dan rasionalisasi itu terjadi pada 1948. Tujuannya antara lain untuk mengurangi tentara, yang waktu itu berjumlah 350.000, menjadi tinggal 160.000. Pada 1950 reorganisasi tentara dilakukan lagi, dengan membagi Indonesia menjadi tujuh TT (tentara dan teritorium). Jumlah tentara yang sekitar 500.000 juga dikurangi menjadi 200.000, sehingga jumlah "veteran" menggembung dengan pesat. Banyak di antara bekas tentara ini yang kecewa dan bergabung dengan oposisi yang mengecam pemerintah. Pada 1952 rencana pemerintah untuk mengurangi lagi 80.000 tentara dari jumlah 200.000 menimbulkan guncangan hebat. Melihat ini, tampaknya cukup berasalan bagi pimpinan ABRI saat ini untuk menghindari istilah rasionalisasi personil. "Tidak akan ada anggota ABRI yang menganggur," ujar Jenderal Rudini dengan tegas berkali-kali. ABRI memang akan lebih ramping. Sebab, tujuan utama reorgamsasl ini untuk efisiensi dan meningkatkan profesionalisme. Penghematan yang selama dua tahun ini dilakukan telah menunjukkan hasil. Sejumlah perlengkapan, termasuk tambahan kapal pemburu ranjau dan korvet, bisa dibeli dari penghematan ini. Banyak hal sederhana yang bisa dihemat. Mulai sekarang, misalnya, hanya pasukan tempur yang akan memperoleh pakaian tempur, tidak semua anggota tentara seperti sebelumnya. Dari peralatan tulis saja, dengan reorganisasi ini, diperkirakan bisa dihemat Rp 20 milyar sampai Rp 30 milyar setahun. "Dari penghematan itu kita 'kan bisa membeli senjata atau mendirikan asrama," kata Jenderal Rudini. Dan, yang lebih penting lagi, "Karena pemborosan berkurang, kebocoran bisa dibendung." "Korban" reorganisasi ini sudah ada yang jatuh. Markas Kodam IX/Mulawarman di Balikpapan, yang baru diresmikan Februari lalu, terpaksa urung dipakai dengan dilikuidasikannya Kodam Mulawarman. Gedung mewah berlantai dua, yang konon menelan biaya Rp 4 milyar ini, kini ditawarkan untuk dibeli. "Jangan dipandang gedung semegah mi tak punya arti lagi. Ia harus dipandang sebagai gedung monumental yang menandakan bahwa di sini pernah ada kodam," ujar Jenderal Rudini tatkala meresmikan gedung itu. Susanto Pudjomartono Laporan Biro-Biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus