SATU di antara desa konpeksi yang penting di kawasan itu ialah
Batutaba. Luasnya hanya 5 km persegi, terletak 10 km sebelah
barat Bukittingi, 102 km sebelah utara Padang. "Hampir Semua
penduduk yang 4.000 orang terlibat dalam industri konpeksi itu,"
kata Bukhari. Walinegari Batutaba. Meski begitu 2,4 ha sawah di
desa ini tetap dikerjakan.
Hampir setiap kk memiliki 2 sampai 4 mesin jahit, tak sedikit
pula yang punya 10 sampai 20 mesin. Semua berupa perusahaan
keluarga. Dan kebanyakan sudah memakai tenaga listrik. Keluarga
Syafrizal St. Mudo misalnya, malah punya 40 mesin. Karyawannya
lebih dari 75 orang. "Mereka bekerja siang malam dan hanya
mengaso waktu berbuka puasa dan sembahyang tarawih," tutur
Syafrizal.
Di rumah Syafrizal, tempat perusahaan itu, nampak pakaian jadi
dan setengah jadi bergantungan pada tali-tali yang terentang di
sekeliling rumah. Di sudut lain bahan tekstil membukit, tiap
sebentar diambil untuk dipotong. Di sebelah lain beberapa
pekerja menggunting, memasang kancing atau mengobras, ditingkah
deru mesin jahit tiada henti.
Khusus untuk memotong, diserahkan kepada beberapa wanita yang
rata-rata berusia di atas 40 tahun, karena dianggap sudah
berpengalaman. Sehari perahaan ini bisa menyiapkan 2.000 lembar
pakaian jadi. Sedang seluruh Batutaba bisa menghasilkan 20.000
lembar pakaian sehari. "Pendeknya di saat-saat begini hampir
semua orang bekerja, tak sempat nonton televisi," ujar
Sjafrizal, 29 tahun.
Desa konpeksi yang paling tua di Empat Angkat adalah Pasir, 7 km
di timur Bukittinggi luasnya hanya 3 km, desa ini terasa sesak
dihuni 3.000 penduduk Di sini umumnya penduduk membuat pakaian
seragam anak sekolah. Misalnya yang dikerjakan oleh perusahaan
Jelita, uang paling besar di sana.
"Dulu saya bikin kemeja. Tapi karena pasaran kurang, sejak 6
bulan lalu beralih ke pakaian seragam sekolah," kata Kaharuddin
Yasin, pemilik perusahaan Jelita. Usahanya maju berkat
rekomendasi yang diterimanya dari Kanwil P dan K setempat.
Kaharuddin, 45 tahun, adalah bekas guru sebuah SMP negeri di
sana.
Para pekerja Kahruddin dibagi dalam beberapa kelompok. Ada
kelompok pembuat baju, celana, rok. Masing-masing dengan
seorang koordinator, yang juga menerima bahan tekstil untuk
kelompoknya. Lantaran manajemennya cukup rapi, ditambah adanya
rekomendasi tadi, Jelita bisa memborong pesanan dari beberapa
sekolah di Bukittinggi, Padang, Payakumbuh, Padangpanjang, Pekan
Baru.
Setiap Rabu dan Sabtu--hari pasaran di Bukittinggi--ratusan
wanita menjajakan konpeksi bikinan Empat Angkat di sepanjang
Jalan Kumango sampai pusat pertokoan Pasar Atas. Di pusat
pertokoan Bukittinggi inilah, selain juga di Pasar Raya di
Padang, pakaian jadi mudah diperoleh. Tapi pemasaran konpeksi
ini tidak terbatas di Sum-Bar saja melainkan meluas sampai
Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, Nias.
Para pengusaha konpeksi mengakui, mutu produksi mereka
ketinggalan dari pakaian jadi dari Jawa. Kelebihannya hanyalah
lantaran harganya lebih murah. Kemeja dari Jawa misalnya, sampai
di Padang atau Bukittinggi dijual dengan harga Rp 5.000. Sedang
bikinan Empat Angkat hanya Rp 3.000. Tapi mereka juga memasang
merk-merk luar negeri seperti Arrow.
Anehnya, para pengusaha konpeksi itu enggan mengambil kredit
bank. Mereka lebih suka dengan kredit dari toko tekstil atau
pedagang perantara "Ada anggapan prosedur bank terlalu berbelit
padahal tidak," kata Hasdan Denhas, Direktur PT Bank Nasional
Bukittinggi yang dipercaya menyalurkan KMK dan MKP.
Penataran mengenai pemasaran yang diselenggarakan oleh Dinas
Perindustrian Agam nampaknya juga kurang ada pengaruhnya Karena
itu mereka belum siap berproduksi secara besar-besaran. Seperti
kata Sutan Sati, salah seorang pengusaha konpeksi, "pemasaran
yang ramai sekarang kini lantaran menjelang lebaran saja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini