TARIIIK . . . " Bis kota melaju dijejali penumpang yang tambah
sarat dan tambah berkeringat. "Sarinah . . . Sarinah . . . " Bis
mem-mtahkan beberapa penumpang pada pelhentian di muka Sarinah.
"Wanitaa . . . Wanitaa . . . " Suara kondektur bernada simpatik.
Seorang wanita gemuk setengah baya tersendat-sendat menyela
jepitan manusia yang berkeringat. Seruan itu membuat sopir
mengurangi ketergesaannya. "Tariiik . . . ".Setelah menyeka
keringat dari keningnya. kondektur lalu menghitung jumlah uang
dan menghitung jumlah karcis. Nampaknya sudah beres.
Saya tidak diberi karcis. Korupsi 50 sen? Tidak saya hiraukan.
Saya tidak tahu berapa kebutuhan pokoknya, berapa pendapatan
resminya, lalu berapa perlu ditambal dengan cara tak resmi. Yang
jelas, dia melakukan tugasnya dengan baik. Dengan caranya
sendiri dihargainya wanita, walau barangkali tak insyaf kini
sedang gencarnya usaha mendongkrak status wanita. Kalau dia
digolongkan ke dalam koruptor, mengingat tindak tanduknya, saya
memberanikan diri menggolongkan ke dalam koruptor yang efisien.
Kasus ini berbeda dengan korupsi tak kentara oleh penjaga palang
rel kereta api, yang dituturkan oleh Syed Hussein Alatas The
sociology of corruption, 1975). Konon, seorang penjaga palang
dengan sengaja terlalu awal menurunkan palang. Siasatnya ini
sulit diketahui umum karena kereta api memang sering terlambat
lewat. Nah, antri kendaraan menjadi lama dan panjang. Banyak di
antara mereka yang tertahan, di antaranya sopir dan kernet truk,
memarkir kendaraannya lalu jajan di warung-warung tepi jajan.
Dan di sinilah letak kongkalikongnya. Penjaga palang mendapat
komisi dari pemilik warung. Keterlaluan. Akibatnya terhadap
efisiensi, penghambatan transportasi, kekacauan jadwal orang,
bukan main.
Di bawah kolong langit ini seribu satu macam kupsi halus
berlangsung dengan mulus dari zaman ke zaman. Wujudnya bukan
sogok-menyogok yang telanjang. Tersebutlah di zaman kolonial
sogok terselubung menyelinap lewaaa, lang. Bule yang pindah
ke lain tempat melelangkannya. Untuk menunjukkan penghargaan
yang tinggi bagi buie yang berangkat pemilik perkebunan membayar
lebih dari 100 gulden untuk sebuah pena. Bukan sembarang pena
tentunya, tapi pena yang menulis hukuman berat bagi kuli
perkebunan yang membangkang. Tempat tinta mencapai harga 500
gulden dan sebuah pemotong cerutu dilelang 350 gulden.
Perlihal sogok menyogok yang telanjang sudah sama kita maklumi,
dipungut lewat koran atau sumber lain. Maklumlah, kita
bergelimang dalam zaman yang belum tergolong normal. Zaman di
mana diperlukan sogokan untuk mendapatkan karcis (bioskop,
kereta api, kapal), mengisi bermacam lowongan dan kedudukan
(sekolah dan pekerjaan) dan untuk memperoleh berbagai hak (surat
izin usaha, surat izin mengendara). Namanya aneka ragam: uang
kopi, uang rokok, uang semir, komisi, hadiah, oleh-oleh,
pelicin, ongkos konsultasi, uang administrasi, uang titipan,
tau sama tau (TST), uang takut atau pemerasan. Atau tanpa nama,
cuma dana melayang entah ke mana, tidak tersalur kepada tujuan:
korban paceklik, korban banjir, korban gempa bumi, guru yang
menunggu gaji atau petani Bimas.
Mengapa bangsa yang berperasaan halus, berbudi luhur dan tidak
materialistis seperti Indonesia terjerat korupsi". Sumber
korupsi, menurut Wang An Shih (abad ke-11), ialah hukum yang
buruk dan manusia-manusia kotor.
Itu jelas tidak betul buat Indonesia masa kini. Kita punya
berbagai peraturan dan undang-undang yang mulus cuma, sebab satu
dan lain soal, tidak berfungsi sebagai semestinya. Pungli sudah
berulang diberantas dan 20 tahun yang silam telah lahir
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 tahun 1960
tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana
korupsi. Pasalnya 25 buah, diletapkan Penjabat Presiden Djuanda,
diundangkan Menteri Kehakiman Sahardjo.
Manusia-manusia kotor? Wah, itu teramat kasar.
Teori Ibu Khaldun sedikit lebih halus. Katanya, sebab musabab
korupsi berakar pada keinginan hidup mewah para penguasa. Mereka
berfoya-foya. Munafik. Tapi teori itu cuma menerangkan sebagian
fenomena yang kita amati. Mengapa kondektur bis dan penjual
karcis yang lugu juga korupsi? Adakah korupsi ini seperti
kangker, yang sebabnya tak diketahui dengan pasti dan
penyembuhannya masih meraba-raba?
***
-- Selamat jalan Pak. Tapi mengap.a Bapak pindah dari sini?
Soalnya perusahaan saya tidak bisa lancar di daerah ini. Malah
bisa bangkrut.
Kurang langganan?
- Oo, bukan. Permintaan tidak kurang. Tapi menyemir di sini
rumit sekali. Kami maklum di mana-mana perlu uang pelicin untuk
melancarkan usaha ini, walaupun 100 persen halal dan diperlukan
untuk pembangunan. Tapi di sini, wah.
- Tak mau disemir?
--Mau, tapi caranya berliku-liku. Kalau ditanya tarifnya,
katanya "gampang", tidak mau terus terang. Diberi sejumlah
uang. Belum lancar, surat-surat belum beres, artinya pelicin
perlu ditambah. Ditambah lagi, tapi belum lancar juga. Artinya,
jumlah uang pelicin belum mencukupi. Nah, pekerjaan menjadi
tertunda-tunda dan kalkulasi menjadi meleset. Dan yang diketuk
bukan dua tiga pintu saja. Rencana semula berantakan. Di tempat
lain tarifnya jelas. Urusan bisa segera selesai. Demi
perusahaan, kami memutuskan pindah.
-- Kapan korupsi bisa hilang?
-- Tidak tahu. Teori Gunnar Myrdal tentang korupsi tokh tidak
menolong saya. Saya cuma pengusaha. Dari sudut saya uang pelicin
tidak soal, apa boleh buat, asal urusan lancar. Tapi kalau kita
dimakan korupsi lalu pekerjaan mereka tidak baik, macetlah
semuanya seperti yang saya alami. Harapan saya semoga koruptor
bekerja dengan baik, terus terang dan efisien. Cuma itu.
-- Sekali lagi, selamat jalan Pak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini