Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Semoga Koruptor Lebih Efisien

Bagi seorang pengusaha, masalah korupsi bukan soal. Yang penting pekerjaan beres dan cepat selesai sehingga tak mengganggu usahanya. Ia hanya berharap semoga para koruptor bekerja dengan baik dan efisien.

9 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TARIIIK . . . " Bis kota melaju dijejali penumpang yang tambah sarat dan tambah berkeringat. "Sarinah . . . Sarinah . . . " Bis mem-mtahkan beberapa penumpang pada pelhentian di muka Sarinah. "Wanitaa . . . Wanitaa . . . " Suara kondektur bernada simpatik. Seorang wanita gemuk setengah baya tersendat-sendat menyela jepitan manusia yang berkeringat. Seruan itu membuat sopir mengurangi ketergesaannya. "Tariiik . . . ".Setelah menyeka keringat dari keningnya. kondektur lalu menghitung jumlah uang dan menghitung jumlah karcis. Nampaknya sudah beres. Saya tidak diberi karcis. Korupsi 50 sen? Tidak saya hiraukan. Saya tidak tahu berapa kebutuhan pokoknya, berapa pendapatan resminya, lalu berapa perlu ditambal dengan cara tak resmi. Yang jelas, dia melakukan tugasnya dengan baik. Dengan caranya sendiri dihargainya wanita, walau barangkali tak insyaf kini sedang gencarnya usaha mendongkrak status wanita. Kalau dia digolongkan ke dalam koruptor, mengingat tindak tanduknya, saya memberanikan diri menggolongkan ke dalam koruptor yang efisien. Kasus ini berbeda dengan korupsi tak kentara oleh penjaga palang rel kereta api, yang dituturkan oleh Syed Hussein Alatas The sociology of corruption, 1975). Konon, seorang penjaga palang dengan sengaja terlalu awal menurunkan palang. Siasatnya ini sulit diketahui umum karena kereta api memang sering terlambat lewat. Nah, antri kendaraan menjadi lama dan panjang. Banyak di antara mereka yang tertahan, di antaranya sopir dan kernet truk, memarkir kendaraannya lalu jajan di warung-warung tepi jajan. Dan di sinilah letak kongkalikongnya. Penjaga palang mendapat komisi dari pemilik warung. Keterlaluan. Akibatnya terhadap efisiensi, penghambatan transportasi, kekacauan jadwal orang, bukan main. Di bawah kolong langit ini seribu satu macam kupsi halus berlangsung dengan mulus dari zaman ke zaman. Wujudnya bukan sogok-menyogok yang telanjang. Tersebutlah di zaman kolonial sogok terselubung menyelinap lewaaa, lang. Bule yang pindah ke lain tempat melelangkannya. Untuk menunjukkan penghargaan yang tinggi bagi buie yang berangkat pemilik perkebunan membayar lebih dari 100 gulden untuk sebuah pena. Bukan sembarang pena tentunya, tapi pena yang menulis hukuman berat bagi kuli perkebunan yang membangkang. Tempat tinta mencapai harga 500 gulden dan sebuah pemotong cerutu dilelang 350 gulden. Perlihal sogok menyogok yang telanjang sudah sama kita maklumi, dipungut lewat koran atau sumber lain. Maklumlah, kita bergelimang dalam zaman yang belum tergolong normal. Zaman di mana diperlukan sogokan untuk mendapatkan karcis (bioskop, kereta api, kapal), mengisi bermacam lowongan dan kedudukan (sekolah dan pekerjaan) dan untuk memperoleh berbagai hak (surat izin usaha, surat izin mengendara). Namanya aneka ragam: uang kopi, uang rokok, uang semir, komisi, hadiah, oleh-oleh, pelicin, ongkos konsultasi, uang administrasi, uang titipan, tau sama tau (TST), uang takut atau pemerasan. Atau tanpa nama, cuma dana melayang entah ke mana, tidak tersalur kepada tujuan: korban paceklik, korban banjir, korban gempa bumi, guru yang menunggu gaji atau petani Bimas. Mengapa bangsa yang berperasaan halus, berbudi luhur dan tidak materialistis seperti Indonesia terjerat korupsi". Sumber korupsi, menurut Wang An Shih (abad ke-11), ialah hukum yang buruk dan manusia-manusia kotor. Itu jelas tidak betul buat Indonesia masa kini. Kita punya berbagai peraturan dan undang-undang yang mulus cuma, sebab satu dan lain soal, tidak berfungsi sebagai semestinya. Pungli sudah berulang diberantas dan 20 tahun yang silam telah lahir Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi. Pasalnya 25 buah, diletapkan Penjabat Presiden Djuanda, diundangkan Menteri Kehakiman Sahardjo. Manusia-manusia kotor? Wah, itu teramat kasar. Teori Ibu Khaldun sedikit lebih halus. Katanya, sebab musabab korupsi berakar pada keinginan hidup mewah para penguasa. Mereka berfoya-foya. Munafik. Tapi teori itu cuma menerangkan sebagian fenomena yang kita amati. Mengapa kondektur bis dan penjual karcis yang lugu juga korupsi? Adakah korupsi ini seperti kangker, yang sebabnya tak diketahui dengan pasti dan penyembuhannya masih meraba-raba? *** -- Selamat jalan Pak. Tapi mengap.a Bapak pindah dari sini? Soalnya perusahaan saya tidak bisa lancar di daerah ini. Malah bisa bangkrut. Kurang langganan? - Oo, bukan. Permintaan tidak kurang. Tapi menyemir di sini rumit sekali. Kami maklum di mana-mana perlu uang pelicin untuk melancarkan usaha ini, walaupun 100 persen halal dan diperlukan untuk pembangunan. Tapi di sini, wah. - Tak mau disemir? --Mau, tapi caranya berliku-liku. Kalau ditanya tarifnya, katanya "gampang", tidak mau terus terang. Diberi sejumlah uang. Belum lancar, surat-surat belum beres, artinya pelicin perlu ditambah. Ditambah lagi, tapi belum lancar juga. Artinya, jumlah uang pelicin belum mencukupi. Nah, pekerjaan menjadi tertunda-tunda dan kalkulasi menjadi meleset. Dan yang diketuk bukan dua tiga pintu saja. Rencana semula berantakan. Di tempat lain tarifnya jelas. Urusan bisa segera selesai. Demi perusahaan, kami memutuskan pindah. -- Kapan korupsi bisa hilang? -- Tidak tahu. Teori Gunnar Myrdal tentang korupsi tokh tidak menolong saya. Saya cuma pengusaha. Dari sudut saya uang pelicin tidak soal, apa boleh buat, asal urusan lancar. Tapi kalau kita dimakan korupsi lalu pekerjaan mereka tidak baik, macetlah semuanya seperti yang saya alami. Harapan saya semoga koruptor bekerja dengan baik, terus terang dan efisien. Cuma itu. -- Sekali lagi, selamat jalan Pak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus