Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saksi Terpilih untuk Munir

Membantah telah menolak, Presiden belum juga membentuk tim independen untuk kasus Munir. Penyelidikan polisi pun belum sampai nama tersangka.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selubung kain putih itu tersingkap, memperlihatkan wajah Munir dari perunggu yang membeku. Di depan patung karya kolaborasi Iriantine Karnaya, Helarius, dan Bambang W. itu, Suciwati mencoba tabah. ?Saya tak menyesali pilihan Munir,? katanya di atas panggung di pelataran kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Rabu pekan lalu itu mestinya Munir berulang tahun yang ke-39. Di antara ketabahannya dalam perayaan sore itu sebenarnya Suci sedang kecewa. Bukan karena patung cokelat itu, bukan pula karena suara Iwan Fals yang mengalunkan lagu Pulanglah bagi almarhum suaminya. Dadanya terasa sesak setelah mendengar pemerintah tak ada lagi minat membentuk tim independen untuk membantu mengusut pembunuhan terhadap Direktur Eksekutif Imparsial itu. ?Presiden memberikan harapan kosong pada kami,? katanya menahan tangis.

Ketika bertemu di Istana pada 24 November lalu, Presiden Yudhoyono memang memberikan isyarat kuat soal dukungan melalui tim seperti ini. Turut menyertai Suci dalam pertemuan itu Pengacara Todung Mulya Lubis, pengganti Munir di Imparsial Rachland Nashidik, Ketua Ikatan Orang Hilang Mugiyanto, dan pengurus Kontras Mufti Makarim. Konsep pun disusun berikut sederet nama untuk diusulkan kepada Presiden melalui juru bicara kepresidenan Andi Alfian Mallarangeng.

Teriakan kecewa Suci memang berjawab keesokan harinya melalui Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dan Andi. Panjang lebar mereka menjelaskan bahwa Presiden tetap pada posisinya untuk mendukung pengungkapan misteri kematian Munir. ?Presiden tak pernah menyatakan menolak,? kata Sudi. Hanya, saat ini mereka masih sangat percaya pada polisi yang sudah bekerja keras. Itu juga yang sebelumnya disebut Sudi dan Andi sebagai alasan mengapa Istana menganggap tim seperti yang diminta itu masih belum perlu dibentuk.

Dan di sinilah soalnya. ?Kami tidak menginginkan tim yang akan menggantikan tugas polisi,? kata Rachland. ?Tim lebih merupakan representasi dukungan Presiden atas penyelidikan polisi.? Para kolega dan kerabat Munir maklum, kasus ini sangat mungkin menjadi sensitif dan menjadi urusan yang tidak gampang bagi aparat hukum. ?Apalagi selama ini polisi gagal menyelesaikan kasus-kasus lain menyangkut pelanggaran hak asasi dan sejenisnya,? Rachland menambahkan. Bagi Suci, apa yang dilakukan Sudi dan Andi tak lebih dari sekadar permainan kata-kata. ?Kalau memang serius, bentuk secepatnya,? katanya Jumat lalu.

Koordinator Kontras Usman Hamid punya alasan lain untuk khawatir pada kesungguhan pemerintah. Ia menilai dari awal pemerintah sudah terlihat lamban menangani kasus ini. Ia mencontohkan lambatnya pemerintah menginformasikan hasil otopsi kepada keluarga Munir. ?Padahal, pada 28 Oktober lalu Menteri Luar Negeri Belanda menginformasikan kepada Menteri Hassan Wirajuda tentang kesimpulan hasil otopsi yang menyatakan Munir meninggal karena diracun arsenik,? katanya.

Dalam sebuah debat di parlemen Belanda awal bulan ini, Menteri Luar Negeri Bernard Rudolf Bot bahkan menyatakan bahwa dalam kunjungannya ketika itu dirinya juga menyampaikan informasi yang sama kepada Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai presiden baru yang belum dilantik. Pernyataan serupa kembali dijelaskan melalui surat Duta Besar Belanda R.J. Treffers kepada Dirjen Eropa dan Amerika Departemen Luar Negeri Indonesia Arizal Effendi, yang menyertai laporan tertulis berisi resume hasil otopsi pada 11 November.

Kerja polisi yang dinilai baik oleh Istana pun hingga kini masih berkutat pada pemeriksaan saksi. Menurut Kepala Polri Jenderal Da?i Bachtiar, jumlahnya mencapai 86 orang, dan ada kemungkinan bertambah. Mereka terdiri dari 41 karyawan maskapai Garuda Indonesia yang ikut dalam penerbangan yang ditumpangi Munir pada 6 September lalu dari Jakarta menuju Amsterdam. Selebihnya adalah para kerabat dan kolega Munir, para penumpang, dan para petugas di Bandara Soekarno-Hatta.

Pekan sebelumnya polisi juga telah menyisir 11 saksi untuk diperiksa lebih dalam. Yang sempat disebut polisi ketika itu adalah Dokter Tarmizi Hakim, yang memberikan perawatan medis di atas pesawat kepada Munir yang muntah-muntah akibat diare hebat. Nama lain yaitu Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot yang menjadi extra-crew di penerbangan GA-974 itu.

Nama pilot Airbus 330 yang sudah 17 tahun di Garuda ini belakangan paling banyak disebut karena ia sempat memberikan tempat duduknya di kelas bisnis kepada Munir, yang mengantongi tiket kelas ekonomi nomor 40G. Polly sendiri kemudian duduk di kelas premium dan turun di Singapura.

Saksi terpilih lainnya adalah para awak kabin yang melayani dan beberapa penumpang di sekitar tempat duduk Munir. Dari Jakarta menuju Singapura, penerbangan dipimpin Kapten Sabur Muhamad Taufik, dan Brahmanie Hastawati bertugas sebagai penyelia awak kabin. Brahmanie sempat bertemu Polly yang meminta izin memberikan kursi 03K miliknya untuk Munir. Bersama Oedi Irianto, Yetty Susmiarti bertugas melayani para penumpang di kelas bisnis. Yetty yang membawakan mi goreng dan jus jeruk pesanan Munir.

Jumat pekan lalu polisi menyebut ada tiga awak kabin yang diperiksa intensif. Meski tak disebutkan namanya, mereka diperiksa berkaitan dengan pelayanan seperti persiapan pemberangkatan pesawat dan makanan dan minuman yang diberikan kepada penumpang. Hasil otopsi memang belum bisa menentukan secara akurat waktu dan jenis makanan yang membawa racun arsenik ke tubuh Munir.

Tetapi, berdasarkan kadar arsenik dalam darah yang mencapai 3,1 miligram per liter, lalu di air seni 4,8 miligram, dan yang tersisa di lambung hingga 460 miligram, dapat dipastikan Munir meninggal akibat keracunan akut dalam jangka beberapa jam saja. Karena itulah semua yang dikonsumsi almarhum selama dalam pesawat menjadi fokus penting pemeriksaan.

Duduk di sebelah Munir di kursi 03J ketika itu adalah pria bernama Lie K. Penumpang yang ternyata seorang apoteker dan tinggal di Belanda inilah yang ikut membantu Tarmizi meramu obat untuk menenangkan dan menghentikan diare Munir. Menurut sumber yang ada di pesawat itu, Lie terbang bersama Lielay F., istrinya yang duduk di kelas premium nomor 11D. ?Saya melihat Polly sempat ngobrol dengannya di bar Premium,? kata sumber ini. Kepada Tempo dan belakangan media lain, Polly berkali-kali membantah soal keterlibatannya dalam kasus ini.

Dari resume hasil otopsi itu diketahui, di tubuh Munir ditemukan pula sisa obat-obatan yang diberikan Tarmizi melalui dua kali injeksi dan ditelan. Yang pertama adalah obat penghilang rasa sakit yang terdiri dari parasetamol dan asam mefenamik. Sedangkan untuk penghilang mual-mual itu Munir diberi metoclopramide merek Primperan untuk diminum. Injeksi kedua ditujukan untuk menenangkan Munir yang kelelahan, yakni diazepam yang berisi zat benzodiazepines. ?Hasil ini cukup dan bisa dipertanggungjawabkan,? kata Kapolri.

Di deretan belakang Munir duduk para awak Garuda yang akan bertugas di rute Singapura-Amsterdam. Masing-masing Kapten Pantun Matondang dan Kapten Widyo Kirono Kusumowidjojo di nomor 04A dan B. Kemudian flight officer bernama David Destinus dan Tumpal Hutapea di 04D dan E, serta penyelia awak kabin Madjib Radjab Nasution dan Sri Suharni di kursi 04J dan K.

Munir kembali ke kelas ekonomi dalam penerbangan Singapura-Amsterdam. Dan menurut Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Suyitno Landung, polisi akan memeriksa pula beberapa penumpang di sekitar kursi 40G. ?Semua nama dan alamat sudah ada,? katanya.

Memang, tak semua penumpang di kelas ekonomi mengetahui kejadian yang menimpa Munir selama penerbangan itu. Sebab, begitu mengeluh sakit, sekitar tiga jam setelah mengudara dari Singapura, Munir segera dipindahkan ke kelas bisnis lagi di bawah pengawasan Dokter Tarmizi. Dari 18 kursi yang tersedia, hanya ada tujuh penumpang di kelas itu untuk rute ini. Di deretan kursi nomor 4 yang kebetulan kosong itu Munir dilayani secara bergantian oleh Madjib, Tia Dewi Ambari, Muhammad Bondan Hernawa, Sri Suharni, dan Asep Rohman.

Menurut Madjib yang sudah diperiksa beberapa waktu lalu, ia masih sempat berpesan pada Asep dan Bondan agar menemani Munir bergantian. Terakhir ia melihat Asep masih memijit-mijit Munir yang sudah sangat lemas. Hanya selang 10-20 menit Madjib pergi untuk salat, dan ketika kembali ia memegang tangan Munir yang sudah dingin. ?Saya ambil senter dan melihat tangannya sudah membiru,? katanya. Tarmizi yang datang kemudian memastikan Munir sudah meninggal.

Empat bulan berlalu sudah. Selubung misteri itu masih jauh dari tersingkap.

Y. Tomi Aryanto, Indra Darmawan, Martha Warta Silaban

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus