Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berharap Krapyak Meredam Buntet

Abdurrahman Wahid membatalkan rencana membentuk NU tandingan. Beberapa posisi penting ditawarkan Hasyim Muzadi kepada kubu Abdurrahman Wahid.

13 Desember 2004 | 00.00 WIB

Berharap Krapyak Meredam Buntet
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Setelah tiga jam ditunggu, Abdurrahman Wahid akhirnya datang. Teh manis yang disajikan untuk 42 kiai sudah kadung dingin. Para ulama sepuh Nahdlatul Ulama itu juga merelakan diri melewati makan siang meski jam telah menunjukkan pukul 12.30. Bolu kukus dan rengginang untuk sementara dijadikan penganan pengganjal.

Di Pesantren Buntet, Cirebon, Jawa Barat, Selasa pekan lalu, Gus Dur membuka omongan. Sambil lesehan, dia angkat bicara tentang kekecewaannya melihat hasil Muktamar Nahdlatul Ulama yang berlangsung di Asrama Haji Donohudan, Boyolali, Jawa Tengah, empat hari sebelumnya. Calon yang paling tidak dikehendakinya, K.H. Hasyim Muzadi, terpilih kembali sebagai Ketua Umum Tanfidziyah Pengurus Besar NU.

Rencana membuat NU tandingan tampaknya kurang mendapat sambutan. Beberapa kiai berpengaruh NU kurang sreg dengan rencana tersebut. Akibatnya, kiai-kiai yang siang itu hadir di Buntet?antara lain K.H. Mohammad Subadar dari Pesantren Raudlatul Ulum Pasuruan, Jawa Timur, K.H. Muhaiminan Gunardho dari Pesantren Parakan, Jawa Tengah, dan K.H. Gus Zaim Maksum dari Lasem, Jawa Tengah?harus menyiapkan resep baru untuk mempertahankan NU tanpa Hasyim.

Pertemuan itu menghasilkan dua keputusan. Pertama, tetap memberikan amanah kepada Abdurrahman untuk memimpin NU. Kedua, tidak mengakui NU di bawah kepemimpinan Hasyim Muzadi. Adapun pembentukan NU tandingan batal. Menurut K.H. Ubaidillah Faqih putra K.H. Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban, Jawa Timur, mereka akan menggalang kekuatan NU di tingkat rakyat jelata terlebih dahulu. "Kemudian akan menggelar muktamar luar biasa," kata Ubaidillah.

Meskipun tanggal pelaksanaan Muktamar Luar Biasa NU belum diputuskan, mereka sudah pasang ancar-ancar. Muktamar itu paling lambat akan digelar Juli tahun depan, usai Musyawarah Besar Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)?partai yang kelahirannya dibidani NU.

Kiai sepuh juga sepakat tidak akan mendukung jajaran kepengurusan PB NU di bawah Hasyim Muzadi, dan bertekad akan berada di luar sistem.

Soal orang-orang yang selama ini mendukung Abdurrahman tapi ikut membelot ke kubu Hasyim, Ayip Abbas, putra sulung Kiai Abdullah Abbas, tak mau ambil pusing. "Bukan urusan Buntet," katanya. Yang pasti mereka menginginkan NU kembali ke Khitah 1926 sebagai organisasi sosial dan keagamaan.

Nama-nama dari kubu Abdurrahman yang masuk dalam bursa pengurus NU di antaranya K.H. Mustafa Bisri dari Pesantren Klelet (Rembang, Jawa Tengah), K.H. Masdar Farid Mas'udi (intelektual NU), dan mantan Menteri Agama K.H. Tholchah Hasan. Ketiga nama itu saat muktamar lalu diusung Abdurrahman untuk menyaingi Hasyim Muzadi. Tholchah bahkan menjadi tim penyusun jajaran pengurus bersama K.H. Sahal Mahfudz dari Pesantren Maslakhul Huda, Pati, Jawa Tengah. Satu nama lagi adalah K.H. Salahuddin Wahid, adik Abdurrahman.

Susunan baru yang melibatkan kubu Abdurrahman ini merupakan upaya menggembosi gerakan anti-Hasyim, meski sang ketua umum tidak mengakui adanya perkubuan di NU. "Kubu itu tidak riil, sementara, dan berdasar kepentingan saat itu saja," katanya. Dia memilih orang-orang berdasarkan profesionalisme dan akomodatif terhadap semua unsur di NU. Hasyim tak terlalu peduli jika calon-calon tersebut ternyata menolak. "Kita sudah menyiapkan gantinya," katanya.

Hasyim meragukan Abdurrahman Wahid bisa menggelar muktamar luar biasa. Apalagi gagasan yang muncul dari pertemuan di Buntet itu dibuat kiai PKB yang tak ada sangkut pautnya dengan NU. Sehingga dia memilih tak mau banyak berkomentar. "Gus Dur itu setiap hari berubah. Kalau saya tanggapi jadinya saya yang setiap hari berubah-ubah," katanya.

Masuknya nama-nama dari kelompok Abdurrahman ini, menurut salah seorang pengurus, merupakan usul Kiai Sahal. "Bukan usul Hasyim," kata sumber tersebut. Nama-nama itu disusun melalui rapat yang diikuti tujuh anggota tim formatur di Hotel Pandanaran, Semarang, Rabu pekan lalu. Mereka adalah Kiai Sahal, Tholchah Hasan, Hasyim Muzadi, serta perwakilan dari empat pulau, yakni Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa.

Salahuddin Wahid, mengaku telah dihubungi sejak Jumat pagi pekan lalu. Menurut Gus Solah, dia tak perlu meminta izin Abdurrahman, yang dua pekan terakhir berada di Australia.

Adapun Mustafa Bisri, saat dihubungi Tempo Jumat malam lalu, mengaku banyak hal yang harus dipertimbangkan. Sejak meninggalnya K.H. Cholil Bisri, kakaknya, waktu Mustafa banyak terkuras untuk mengurus pesantren. Tetapi dia yakin Abdurrahman tak akan memusuhi orang-orangnya yang menerima pinangan Hasyim. "Walah, Gus Dur wae diajak ngomong kan gampang," kata Mustafa.

Gampang bagi Mustafa Bisri tapi tidak bagi Hasyim Muzadi. Buktinya, sejumlah kiai terpandang yang ada di kubu Hasyim harus berupaya keras mendekati kelompok Abdurrahman. Lihat saja safari yang dilakukan K.H. Idris Marzuki dan K.H. Anwar Mansyur dari Lirboyo (Kediri), K.H. Sadid Jauhari dari Pesantren As-Syurriyyah (Jember), K.H. Fahruri (Malang), K.H. Mas Subadar dari Pesantren Raudlatul Ulum (Pasuruan). Selasa pekan lalu, mereka datang ke Pesantren Krapyak di Yogyakarta untuk meminta K.H. Attabik Ali menjadi penengah.

Attabik, putra mendiang K.H. Ali Maksum (mantan Rais Am PBNU), dianggap netral menanggapi perselisihan di NU. Menurut Attabik, para kiai cemas dengan ancaman Abdurrahman yang mengklaim mendapat mandat dari sejumlah kiai sepuh untuk membuat NU tandingan. Dia kemudian diminta membujuk Salahuddin Wahid agar menasihati Abdurrahman. "Saya ini hanya adiknya, mana bisa ngandani (menasihati) dia," kata Salahuddin saat dihubungi Attabik.

Gagal lewat Gus Solah, para kiai meminta Attabik menemui K.H. Abdullah Faqih di Langitan, Tuban. Para kiai itu paham betul kedekatan Attabik dengan Kiai Faqih selama ini. Kiai Faqih dipilih karena kiai ini paling disegani Abdurrahman, sehingga petuahnya diharapkan akan lebih didengar Abdurrahman.

Keesokan harinya Attabik bertandang ke Kiai Faqih. Dalam pertemuan selama dua jam itu, Kiai Faqih menyatakan tidak setuju dengan rencana pendirian NU tandingan. "Kalau memang tidak setuju dengan Hasyim, silakan berpisah atau mufaroqoh, tidak dengan mendirikan organisasi NU tandingan," kata Faqih.

Kiai Faqih mengaku menerima dan menghormati hasil muktamar karena telah dipilih oleh muktamirin. Dia juga telah menghubungi semua kiai yang hadir dalam pertemuan di Buntet. Saat itu Kiai Faqih menegaskan sikapnya yang tidak setuju dengan adanya NU tandingan.

Meskipun akhirnya Faqih tak bisa sepenuhnya menghentikan langkah Abdurrahman, setidaknya keputusan Buntet melunak. Menurut Masdar F. Mas'udi, saat ini kuncinya ada di tangan Kiai Sahal. Kepemimpinan Kiai Sahal diuji untuk bisa menyelesaikan konflik di tubuh NU. "Semua pihak (kubu Abdurrahman maupun Hasyim) menginginkan islah, kok," kata Masdar.

Kini kaum nahdliyin menunggu kedua kubu duduk bersama menyelesaikan pertikaian di tubuh organisasi berlambang bumi dikitari sembilan bintang ini. Dalam suasana penuh canda khas para kiai NU, dengan bolu kukus, rengginang, dan teh manis yang tak lagi dingin.

Agung Rulianto, Syaiful Amin (Yogyakarta), Ivansyah (Cirebon), Bibin Bintariadi (Malang), Sohirin (Semarang), Dwijo U. Maksum (Kediri)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus