Untuk pergi ke RRC, tak perlu lagi minta exit permit ke Bakin. Namun, ada yang khawatir, pengunjung baru langsung "menghilang" di sini. KADO untuk ulang tahun pertama normalisasi hubungan RI-RRC sungguh istimewa. Indonesia membuka pintu imigrasinya, berupa kemudahan memperoleh visa bagi warga RRC yang mau ke sini dan orang Indonesia yang mau berkunjung ke Daratan Cina. Normalisasi pembukaan pintu imigrasi itu berupa Inpres 4 yang diumumkan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, Rabu pekan lalu. Dengan demikian prosedur bepergian ke RRC atau sebaliknya ke Indonesia tak serumit dulu. Mereka secara resmi bisa meminta visa lewat kedutaan di negaranya, seperti layaknya visa untuk kunjungan ke negara lain di dunia. Dulu, untuk pergi ke RRC ada beberapa saringan. Kecuali tak ada perwakilan RRC di sini sehingga visa harus diminta lewat kedutaan RRC di negara lain, ada Inpres 9/1985. Isinya, hanya sekelompok orang yang bisa menggunakan fasilitas berkunjung ke Cina. Mereka adalah olahragawan yang mau bertanding untuk kelas internasional. Kemudian misi dagang yang memperoleh rekomendasi dari Kadin Indonesia Komite Cina (KIKC). Dan terakhir, peserta seminar yang memperoleh sponsor dari PBB. Exit permit, ketika itu, bukan dikeluarkan Ditjen Imigrasi, tapi oleh Bakin (Badan Koordinas Intelijen Negara). Maka, tak heran jika skrining dilakukan dengan ketat. Seseorang boleh berangkat ke RRC, misalnya, harus bersih diri, bersih lingkungan, tak termasuk daftar cekal. Syarat lain, "Bukan termasuk orang-orang yang diperkirakan bisa membuat onar di luar negeri. Maka, kalau konduitenya memang jelek, merupakan taruhan besar untuk membiarkannya lolos," kata bekas deputi sekuriti merangkap Ketua Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) Bakin W.D. Soekisman. Sebaliknya, warga Cina juga tak mudah menginjakkan kakinya ke Indonesia. Permohonan visa yang hanya bisa diberikan di Konjen RI di Hong Kong dan KBRI (Kedutaan Besar RI) di Singapura harus lewat prosedur rumit dan makan waktu. Nama-nama pemohon visa harus dikirim dulu ke Bakin. "Bahwa orang itu punya potensi menyebar terorisme, hanya Bakin yang tahu. Bakin punya mata dan telinga di mana-mana," tambah Soekisman. Memang, sejak hubungan RI-RRC memburuk, tahun 1967, Cina masuk daftar negara yang diawasi, bersama -- pada waktu itu -- Korea Utara, negara-negara Timur Tengah dan Eropa Timur. Namun, keadaan sedikit demi sedikit berubah. Setelah seperempat abad "bermusuhan", baik RRC maupun RI mulai menunjukkan itikad berbaikan. Ini barangkali bisa dilihat dari kunjungan misi dagang kedua negara. Dari catatan KIKC, pada periode Juli-Desember 1988, warga RRC yang datang ke Indonesia baru 401 orang, sedang orang Indonesia ke Cina "hanya" 342 orang. Tahun ini, sampai dengan Mei 3.595 orang datang dari Cina sedang orang Indonesia yang pergi ke RRC 966 orang. Dengan adanya ketentuan baru itu, kini warga kedua negara bisa lebih bebas untuk saling mengunjungi. Tak perlu lagi clearance dari Bakin. Visa bisa diperoleh di KBRI di negara mana saja. Bahkan, Ditjen Imigrasi sudah bersedia memberi exit- permit bagi WNI yang mau pergi ke RRC. Izin itu efektif berlaku sejak Inpres diturunkan tanggal 29 Juli. Dalam hal pri dan nonpri, keduanya mendapat perlakuan sama untuk bisa melihat negeri Cina. "Kami tak boleh membeda-bedakan ras," kata Dirjen Imigrasi Roni Sikap Sinuraya. Hanya, bagi para eks PP 10 maupun yang stateless (orang Cina yang belum menjadi WNI) kalau mau pergi ke Cina, harus mengurus paspor ke Kedubes Cina. Sebab, menurut Roni, mereka itu masuk kategori orang asing. Meski gerbang sudah dibuka lebar-lebar, tak berarti semua pintu internasional terbuka bagi pengunjung dari RRC. Warga RRC hanya diperkenankan masuk dari tiga pelabuhan udara, yakni Medan, Jakarta, dan Bali serta empat pelabuhan laut, yaitu Belawan, Tanjungperak, Tanjungpriok, dan Ujungpandang. Penunjukan itu, kata Roni lebih lanjut, semata-mata karena teknis pengamanan di pelabuhan-pelabuhan itu lebih memadai. "Semua orang asing yang masuk ke Indonesia mesti diawasi. Kalau orang Amerika menyelinap ke Glodok bisa ketahuan, tetapi kalau orang Cina kan susah. Ini Cina asli atau Cina Glodok," kata Roni. Ditjen Imigrasi memang sudah "membekali" semua KBRI dengan daftar tangkal warga RRC, yang kata Roni, "Cukup banyak, tetapi jumlahnya rahasia, karenanya bukan untuk diumum-umumkan." Garuda Indonesia, meski sudah mempersiapkan jadwal penerbangan Jakarta-Singapura-Beijing dan Jakarta-Medan- Guangzhou, baru beroperasi sekitar dua bulan mendatang. Pesawat DC-10 menurut Direktur Niaga Garuda Soenarjo, akan terbang dua kali seminggu ke Cina, dengan tarif kira-kira US$ 800. Membludaknya kedatangan warga RRC, menurut pengamat politik Kwik Kian Gie, yang tak pernah berminat menelusuri leluhurnya di tanah Cina itu, mungkin saja terjadi. Tetapi untuk menjadi WNI, "Kecil kemungkinannya karena Indonesia sudah dikenal ketat imigrasinya. Kalau mau lebih longgar, mestinya mereka memilih Amerika atau Kanada. Apalagi di sana ada China Town," katanya. Indonesia masih punya peraturan yang melarang pendatang Cina menjadi warga negara di sini. Namun, ada yang mengkhawatirkan bila mereka langsung "menghilang" begitu saja. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini