Ketua IGGI, Jan Pronk, berbicara khusus kepada TEMPO. Katanya, Indonesia masih dimanjakan oleh IGGI. Mengapa? MUNGKIN, tak ada menteri dari negeri lain yang bisa menandingi popularitas Jan Pieter Pronk di Indonesia. Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda ini paling tidak setahun sekali muncul dan jadi berita utama di berbagai media massa. Sebagai Ketua IGGI, Pronk memang rutin bertandang kemari. Namun, yang lebih penting, ia mudah berkawan dan tak begitu suka protokol. Satu lagi yang paling disenangi wartawan, Pronk orang yang suka bicara lepas. Namun kunjungannya kali ini punya warna agak lain. Dua hari setelah tiba di Jakarta, Pronk segera terbang ke Maluku selama seminggu. Ia menjelajah. Mulai dari pabrik kayu lapis milik Prajogo Pangestu sampai ke tempat bekas tahanan politik yang masih tersisa di Pulau Buru. Akibatnya, koran ramai menulis, kunjungan Pronk dirasakan sebagai "inspeksi" dari seorang pejabat negara donor. Jumat pekan lalu, Pronk berbicara panjang lebar kepada wartawan TEMPO, Fikri Jufri dan Yopie Hidayat, di suite-nya tingkat 18, Hotel Borobudur, tempatnya menginap selama di Jakarta. Pronk mencoba menjelaskan mengapa kali ini ia suka melangkah jauh ke pedalaman Indonesia Timur. "Tampaknya, ada salah pengertian jika kunjungan saya dianggap seperti inspeksi. Sebagai Ketua IGGI, saya mesti mengadakan dialog bagaimana menjalankan pembangunan di sini. Saya tentu saja ingin tahu dengan tepat bagaimana pandangan Indonesia. "Selain itu, saya juga perlu mengidentifikasi, kemungkinan bantuan apa yang bisa diberikan untuk periode berikut. Jangan salah paham lagi, pemerintah Indonesia juga diberi kesempatan menentukan prioritasnya sendiri. Tugas saya yang lain adalah meninjau proyek yang dibantu oleh Belanda. Apakah berjalan baik, atau perlu diperbaiki. Ini juga saya lakukan di negara lain yang menerima bantuan Belanda. Kenapa ke Indonesia Timur. Apakah Anda melihat ada ketimpangan pemerataan di sana? Kalau melihat angka-angkanya, wilayah Indonesia Timur memang lebih miskin. Itu sebabnya saya sependapat dengan beleid pemerintah Indonesia untuk memberi perhatian lebih ke kawasan ini. Hanya, perlu dicatat, model pembangunan yang diterapkan jangan sampai salah. Tentu lebih baik jika pembangunan di sana lebih banyak melibatkan penduduk setempat daripada hanya mengundang investor untuk mendirikan proyek besar yang padat modal, yang sesungguhnya tak punya banyak hubungan dengan peningkatan pendapatan penduduk di sana. Apakah pembangunan di Indonesia sekarang terasa banyak yang kurang pas? Begini, dalam berbagai laporan Bank Dunia, Anda bisa membaca bahwa Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Namun, harus diingat, kami juga menyampaikan peringatan, bahwa masa 1980-an akan sangat berbeda dengan tahun 90-an ini. Dalam waktu dekat, Indonesia bisa jadi akan menghadapi banyak pertanyaan. Mulai dari soal pemerintahan yang baik, lingkungan hidup, sampai ke soal hak asasi manusia. Namun, selama ini, Laporan Bank Dunia dan sidang-sidang IGGI tampaknya terus memuji arah pembangunan di Indonesia. Indonesia memang dimanjakan oleh negara donor. Salah satu contohnya, setiap kali saya sebelum berpidato pada sidang IGGI, draft pidato itu selalu saya konsultasikan dengan menteri- menteri dari Indonesia. Ketua IGGI yang lain juga melakukan ini. Sebaliknya, kalau Anda sempat menghadiri sidang-sidang konsorsium negara donor untuk negara Asia lain, seperti Sri Lanka atau Bangladesh, Anda barangkali tak akan mempercayai apa yang Anda dengar. Banyak kritik pedas dilontarkan oleh para anggota konsorsium. Mengapa? Salah satu sebab utama adalah beleid pembangunan yang ditempuh oleh Indonesia dalam era '80-an sangat cocok dengan selera negara donor. Indonesia melakukan deregulasi dan bergerak ke arah ekonomi yang berorientasi ke pasar bebas. Tapi jangan lupa, saya sudah mengatakan tadi, era '90-an ini akan jauh berbeda. Tentang kebijakan ini, pandangan Anda sendiri bagaimana? Indonesia memang sudah memilih. Ini memang bagus, bisa mendorong pertumbuhan. Tapi ada risikonya. Munculnya ketimpangan yang berakibat pada dualisme ekonomi. Saya sudah melihat ketidakseimbangan itu di kota-kota besar. Selain itu, pembangunan di sini terasa lebih mementingkan investasi yang berorientasi pada swasta. Bagaimana memperkuat sektor informal, misalnya, lebih sedikit mendapat perhatian. Dan yang jelas, Indonesia tak bisa lagi terus mengandalkan bantuan asing untuk pembangunannya. Tahun '90-an ini kurang lebih Indonesia sudah berada pada puncaknya. Setahun, sekarang Indonesia mendapat lebih dari lima milyar dolar. Itu sudah sampai ke langit- langit. Anda tak bisa lagi minta lebih dari itu. Kami melihat Anda berubah. Ketika menduduki posisi yang sama di awal '70-an, Anda sering mengkritik Indonesia. Semua orang berubah. Indonesia juga berubah. Dulu, ada masalah besar yang selalu masuk agenda utama negara donor, soal tahanan politik. Juga masih banyak soal hak asasi. Masa itu kan masih belum lama dari peristiwa pergolakan di tahun 1965. Masalah itu harus saya angkat, itu sebabnya suara saya terasa sangat keras. Jadi, sekarang Anda sudah puas dengan soal hak asasi? Dalam soal hak asasi, saya sebenarnya tidak sepenuhnya puas. Tapi, paling tidak, sekarang ini kita bisa berdiskusi tentang soal ini. Bahkan, di dalam negeri pun, Anda bisa ramai berdebat tentang ini secara terbuka. Bagi saya, persoalannya bukanlah apakah sudah tidak ada lagi pelanggaran hak asasi, tapi bagaimana kecenderungannya. Di sini, saya melihat banyak terjadi kemajuan. Ada kritik, kunjungan Anda kemari sebenarnya lebih untuk kepentingan politis Anda sendiri di Belanda. Semacam kampanye lah. Kalau memang maksud saya begitu, saya lebih baik ke Afrika. Anda tahu, di Belanda, liputan media tentang kunjungan saya ke Indonesia hampir tak ada. Pers, di Belanda, lebih suka menulis tentang bantuan Belanda ke Afrika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini