Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Saran dari wapres

Bekas wakil presiden, menyarankan agar Indonesia mengadakan normalisasi hubungan diplomatik dengan RRC. (nas)

17 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAMA Adam Malik melejit lagi. Bekas wakil presiden ini pekan lalu ramai diberitakan media massa. Usulnya, yang dianggap "berani", mengejutkan banyak pihak: Indonesia perlu menormalisasikan hubungan diplomatik dengan RRC. Kisahnya dimulai di Hong Kon, 28 Februari lalu. Hari itu Adam Malik berbicara pada pertemuan tahunan Yayasan Pers Asia. Di situ antara lain ia mengusulkan diselenggarakannya pertemuan antara Uni Soviet, RRC, dan Vietnam untuk merampungkan krisis Kamboja. Saran ini mendapat cukup banyak tanggapan. Komentar Menlu Mochtar Kusumaatmadja, "Usul itu menarik, dan sebetulnya ada juga dalam pikiran kita. Yang dikatakan Pak Adam itu sejalan dengan posisi ASEAN." Kembali di Jakarta, Adam Malik rupanya menganggap perlu menJelaskan lebih lanjut sarannya itu. Kamis pekan lalu beberapa wartawan pun diundang makan siang sembari berbincang-bincang di Ruang Raja, Restoran Oasis, di Jalan Raden Saleh, Jakarta Pusat. "Saya bicara dari kawan untuk kawan. Karena itu, apa yang saya ucapkan di Hong Kong perlu penjelasan," katanya. Menurut bekas wapres itu, Indonesia harus tangkas dalam politik luar negerinya untuk mengatasi kemandekan penyelesaian masalah Kamboja. Situasi dunia sudah berubah. Rusia di bawah Chernenko melakukan pendekatan yang lebih bersifat politis daripada sekuriti. Sedangkan AS di bawah Presiden Reagan kini terasa makin tidak menghendaki pecahnya perang. Suasana baru ini sebaiknya dimanfaatkan. Menurut Adam Malik, dalam situasi inilah Indonesia harus cekatan. "Mumpung kita bisa menempa besi di waktu panas, Indonesia harus memprakarsai penyelesaian masalah Kamboja," katanya. Caranya: ASEAN hendaknya segera menghubungi Vietnam, RRC, dan Uni Soviet. Vietnam perlu diberi jaminan, termasuk dari Uni Soviet dan RRC, siapa pun yang nanti berkuasa di Kamboja tidak akan memusuhi Vietnam. Menlu Mochtar Kusumaatmadja, sebagai Ketua Panitia Tetap ASEAN, perlu datang ke Peking, dan atas nama ASEAN meminta RRC menyelesaikan masalah Kamboja bersama Vietnam dan Uni Soyiet. Sembari menyelesaikan masalah Kamboja, Mochtar, menurut Malik, bisa menyelam sambil minum air: Ia bisa menormalisasikan hubungan diplomatik RI-RRC. "Yang diperlukan Mochtar ialah selembar pernyataan pemerintah RI bahwa hubungan diplomatik dengan RRC cair kembali," kata Adam. Seusai diterima Presiden Soeharto Sabtu lalu di kediaman kepala negara di Jalan Cendana, Menlu Mochtar menegaskan, penyelesaian masalah Kamboja tak perlu dikaitkan dengan normalisasi hubungan RI-RRC. "Masalah Kamboja adalah masalah bersama ASEAN. Sedangkan pormalisasi hubungan dengan RRC adalah masalah bilateral yang langsung menyangkut kepentingan nasional Indonesia," katanya. Menurut Mochtar, sulit bagi Indonesia untuk menormalisasikan hubungan dengan RRC selama Beijing masih tetap membantu kegiatan partai-partai komunis di Asia Tenggara, termasuk PKI yang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang. "Selama RRC belum mencabut dukungannya itu, sulit bagi Indonesia untuk menormalisasikan hubungan," kata Mochtar. Ditemui di kediamannya Senin lalu, Adam Malik mengatakan tak bisa menerima alasan Menlu Mochtar. "Kalau saya bisa tanya, selama 20 tahun ini apakah ada fakta adanya subversi yang didalangi RRC? 'Kan kita tidak pernah menangkap orang di Glodok menyebarkan pamflet atau propaganda RRC. Apalagi yang kita tunggu?," katanya pada Toeti Kakiailatu dan A. Margana dari TEMPO. Permusuhan permanen, kata Adam Malik, tidak ada. Begitu juga persahabatan yang permanen. Yang ada hanyalah kepentingan nasional. Dengan status sekarang, hubungan diplomatik yang beku, kepentingan nasional kita dirugikan. "Kita memerlukan hubungan dengan RRC bukan untuk dagang atau politik. Kalau hubungan normal, banyak hal bisa diselesaikan. Misalnya soal Kamboja, atau soal Timor Timur di PBB. Belanda itu 350 tahun menjajah kita. Toh kita baik-baik dengannya," kata Adam. Ujarnya lagi, "Normalisasi berarti kita harus lebih waspada. Tidak adanya subversi selama ini berarti kewaspadaan kita sudah baik. Apa yang kita takutkan? Kita juga punya hubungan dengan negara komunis lain: Uni Soviet, Korea Utara, dan negara-negara Eropa Timur. Toh tidak ada masalah," kata Adam Malik. Adam Malik menganggap saat yang tepat sekarang jangan disia-siakan. "RRC sekarang sedan memburu waktu untuk konsolidasi membangun negerinya. Mereka tidak sempat lagi melakukan subversi ke luar negeri," katanya. Diakuinya, di Indonesia ada dua pihak di dalam negeri yang masih khawatir terhadap RRC: ABRI karena doktrinnya memang begitu, dan pihak ulama. "Saya ikut berdosa kalau diam saja, padahal ada keuntungan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa. Maka, saya mengingatkan agar kesempatan ini dimanfaatkan. Kalau besi sudah dingin tidak bisa dibuat apa pun," kata Adam Malik. Sikap Adam Malik yang pro-normalisasi dengan Peking sesungguhnya pernah dikemukakan sewaktu ia menjabat sebagai menlu. Kini, di tengah ramainya orang bicara soal Kamboja, ia merasa tergerak untuk bicara lagi. Tapi, sabarlah, Bung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus