Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Satu Pemilu Belum Cukup?

Lima partai besar diramalkan bakal meraih suara imbang. Sejumlah agenda berjajar di depan mata. Apa saja langkah penguasa anyar?

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANTUNG siapa tak akan berdetak kencang pada titik genting ini?setelah dag-dig-dug di masa rawan kampanye. Bayangkan, coba, seratus juta warga negara berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara pada hari yang bersamaan. Peristiwa mahapenting ini serentak terjadi di ratusan ribu kawasan di seantero Republik. Pagi, siang, sore, petang, bahkan hingga larut malam, semua pandangan, pendengaran, dan mungkin juga perasaan bakal tertuju pada arena pencoblosan.

Bolehlah sejarah mencatat: pemilu yang dipercepat kali ini makin banyak dipedulikan orang. Itu tak hanya rakyat biasa yang mulai cerdik mengintai kalau-kalau terjadi kecurang_an, tapi juga mahasiswa, wartawan lokal dan asing, serta ratusan ribu relawan pemantau pemilu, dari dalam dan luar negeri. Format politik bisa jadi daya tarik tersendiri bagi maraknya kepedulian tadi. Peserta pemilu bukan lagi tiga partai hasil rekayasa penguasa, melainkan 48 parpol bentukan dari ??bawah? yang siap bertanding secara demokratis?meski disisipi ??politik main uang? yang masih kental di mana-mana.

Daya pikat lainnya mungkin ada pada segepok harapan baru yang menyertai pilihan rakyat. Bukankah momentum ini berlangsung seusai Soeharto turun dari kursi kepresidenan setelah berkuasa 30 tahun lebih? Era kabinet masa transisi berakhir, lalu terbentuklah pemerintahan baru, kepemimpinan baru, yang memberikan roh suci, tarikan napas kuat, dan darah segar pada tubuh reformasi. Pada babak berikutnya, harapan itu digantungkan buat mengobati negeri yang sempat tercabik-cabik ini.

Di sini, sejak pemilu 7 Juni itu, suara dukungan rakyat pada partai segera dihitung. Perlu waktu sekitar sebulan untuk sampai pada kepastian jumlah suara yang kemudian diumumkan secara resmi. Itu bukan berarti peluang bermain curang tertutup rapat. Masa penghitungan suara ini merupakan salah satu titik rawan yang tak mustahil bisa mengundang gejolak baru. Apalagi jika sampai terjadi di kawasan luar Jawa, yang masih susah diamati, yang sudah dijangkau khalayak luas. Padahal, suara rakyat dalam hajatan tusuk partai ini amat menentukan pembagian kursi para wakilnya di DPR, baik di tingkat pusat, provinsi, kabupaten, maupun kota madya.

Siapa pemenangnya mungkin bisa diduga. Hampir semua pakar politik berkalkulasi dengan hitungan berikut: PDI Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akan bercokol dalam puncak klasemen lima besar. Hitung-hitungan selanjutnya menghasilkan kesimpulan logis, yakni tak ada satu partai pun yang unggul dengan suara mutlak. Idiom mayoritas tunggal yang selama ini diagung-agungkan Golkar agaknya sudah menjadi catatan bisu di masa lalu. Tapi kejutan bisa saja terjadi meski peluangnya kecil. Pendek kata, perolehan suara berjajar dalam persentase hampir seimbang di antara kelimanya.

Kehebohan tampak jelas di depan mata pada masa kampanye lalu. PDI Perjuangan sukses besar ??memerahkan? banyak kota besar di Tanah Air?fans banteng berbibir putih ini kerap disebut oleh aparat sebagai ??cabai merah??tak terkecuali Jakarta. Megawati mendapat sambutan luar biasa dari pendukung dan pengagumnya. Fenomena Mega diimbangi dengan munculnya sosok Amien Rais, kandidat presiden unggulan PAN, yang tak kalah ikut membirukan Ibu Kota dan sejumlah kawasan kantong muslim lainnya. Jakarta dan lumbung tradisional lain di Jawa diramaikan pula oleh barisan partai hijau, yang kali ini (setidaknya) dipecah dalam dua kutub: Partai Ka?bah dan PKB.

Partai Golkar? Jangan berharap banyak di Jawa. Partai kuning ini terus saja dimusuhi di mana-mana. Di Jakarta, partai Habibie-Akbar ini boleh dibilang babak-belur saat kampanye arak-arakan, sehingga mereka cuma mengandalkan bentuk dialogis. Dan memang para elite Beringin punya cipoa lain: menang telak, setidaknya 50 persen suara, yang didulang dari basis-basis tradisionalnya di luar Jawa. Di sana, cengkeraman akar pohon tua itu memang kuat menghunjam, terutama di kawasan timur Indonesia?selain Timor Timur.

Jika situasi kasatmata ini benar terbukti, kekuatan tentu akan menyebar secara merata. ??Di posisi satu dan dua, bersaing ketat PDI Perjuangan dan Golkar,? kata Eep Saefulloh Fatah, pengamat politik. Berikutnya, giliran tertuju pada PAN, PPP, dan PKB. Katakanlah suara final sudah didapat pada akhir Juni atau awal Juli nanti, sekitar sebulan setelah pencoblosan, lalu bagaimana langkah politik selanjutnya? Katakanlah 100 hari kemudian, apa gerangan manuver mereka? Koalisi? Jawabannya sampai sejauh ini masih samar-samar.

Kalau diukur menurut jadwal, babak berikutnya, pertengahan Juli nanti, akan diisi dengan bagi-bagi kursi. Di sini akan ditentukan berapa banyak kursi yang diraup setiap partai untuk duduk di DPR Pusat, DPRD I, dan DPRD II. Stembus accord akan dimainkan pada sesi ini. Sejauh ini, baru delapan partai berasaskan Islam yang sudah bersepakat mengatur sisa suara?dan diarahkan kepada partai yang memperoleh suara terbanyak. Di barisan hijau ini berderet Partai Keadilan, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan Umat, dan lainnya.

Cikal-bakal ??koalisi? itu ternyata begitu susah dilakukan antara PAN, PDI Perjuangan, dan PKB. Padahal, ketiga partai babon yang mengklaim diri reformis ini sudah bikin front bersama, menelurkan Komunike Paso, untuk menekuk kekuatan Partai Golkar, yang dituding sebagai biang status quo. Stembus accord? Nanti dulu. ??Kami memilih berada di tengah dan menjadi penyeimbang,? kata Ketua Umum PAN Amien Rais kepada TEMPO. Perkara kelak sisa suara partai matahari tersebut diambil sesama partai segaris, itu tak jadi soal. Ia khawatir melihat gejala baru yang menjurus pada disintegrasi bangsa: grup partai Islam versus kelompok partai nasionalis (lihat rubrik Opini dan Kolom Amnesia Reformasi).

Babak penting berikutnya berupa pelantikan anggota DPR/MPR. Jika tak ada aral melintang, para wakil rakyat itu sudah duduk manis di 700 kursi yang disediakan?termasuk 38 kursi gratis untuk TNI. Harap diingat, ingar-bingar kampanye tempo hari hanya untuk merebut 462 kursi atau sekitar 60 persen dari jatah di MPR. DPRD akan menentukan siapa gerangan yang ditunjuk untuk mengisi jatah 165 utusan daerah dan 35 utusan golongan?yang terakhir ini harus sepersetujuan Habibie. Mereka akan dilantik pada awal Oktober nanti?dan tentunya siaga penuh saat mengomentari pidato pertanggungjawaban Presiden Habibie.

Di sinilah arena pertempuran yang sebenarnya baru akan terjadi. Saat mereka mulai bersidang, tentunya Senayan akan dihangatkan dengan perdebatan seru menyangkut jadwal sidang umum, yang dipatok membahas dua perkara besar: menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih presiden dan wakilnya. Soal GBHN tentulah akan terbenam oleh haru biru pergulatan soal RI-1 dan RI-2. Megawati, Amien Rais, Habibie, Wiranto, dan mungkin juga Gus Dur serta Sri Sultan akan menjadi nama besar yang sama-sama dijagokan. Banyak jajak pendapat yang mengunggulkan tiga nama pertama tadi.

Siapa gerangan pemenangnya? Sabarlah kita tunggu. Tapi, siapa pun yang bakal menjadi orang nomor satu, yang akan memerintah, niscaya akan dihadapkan pada serentetan masalah serius di berbagai sektor: politik, hukum, dan ekonomi. Kapling politik masih menyisakan ihwal sensitif: pengadilan mantan presiden Soeharto, soal dwifungsi ABRI (termasuk nasib kursinya di DPR/MPR), status Timor Timur, keamanan dalam negeri, perdebatan bentuk negara, sistem pemerintahan, dan otonomi daerah, serta amandemen UUD 1945 (lihat Langkah Politik Calon Pemerintah Anyar).

Kelima partai kakap tadi sudah punya agenda tersendiri. Mereka hampir sepakat menyebut keamanan dalam negeri sebagai prioritas garapan. ??Akan kami lakukan pada minggu pertama,? kata Amien Rais. Partai Mas Amien ini siap menghimpun aparat untuk bersatu padu menghentikan kejadian berdarah-darah yang telah menewaskan ribuan manusia itu. Diharapkan, tak ada lagi kasus misterius seperti yang terjadi di Banyuwangi, Sambas, Ketapang, dan Ambon. ??Kami merasakan soal ini masih rapuh,? kata Akbar Tandjung, Ketua Umum Golkar.

Kwik Kian Gie idem dito. Tokoh pemikir di PDI Mega ini malah mengedepankan polisi sebagai tulang punggung keamanan. Bahkan, ??Penguasan tertinggi di daerah berada di tangan kapolda, bukan pangdam,? katanya. Militer cukup untuk keamanan keluar. Ratih dan kamra? Jika PDI Perjuangan berkuasa, tak mustahil bakal dilebur. Sebab, ribuan rakyat terlatih ini bukanlah warga negara dengan status istimewa, bukan juga polisi. ??Jika untuk memperkuat polisi, ini menyesatkan dan berbahaya,? ujarnya.

Semua partai besar ini sepakat dengan bentuk negara kesatuan. Hanya PAN yang masih membuka celah diskusi. Sekretaris Jenderal PAN Faisal Basri malah menganggap tak relevan mempertentangkannya. Ia lebih tertarik pada substansi masalahnya: ketidakadilan pusat dan daerah. ??Maka, yang perlu diciptakan, ya, keadilan itu,? katanya. Jika wacana negara federasi tak mendapat sambutan, partainya juga tak akan memforsir. Jadi, sementara ini, lupakan dululah isu ini. Kabinet pun, dengan begitu, masih presidensial, bukan parlementer.

Pengadilan Soeharto menjadi perhatian serius. PDI Perjuangan, PAN, PPP, dan PKB sepakat untuk menyeret bekas presiden yang kini tinggal aman di Cendana itu ke pengadilan. Kwik menekankan perlunya melibatkan semua komponen yang jujur dan adil, termasuk hakim dan pengacara. Prinsipnya, semua sepakat pengadilan dulu, baru kemudian dipikirkan tindakan politis berupa pengampunan, misalnya?asalkan semua kekayaan dikembalikan untuk negara. ??Kami sudah mengatakan kepada pemerintahan Habibie agar segera menyelesaikannya,? kata Akbar kepada TEMPO.

Yang terakhir, tapi tak kalah pentingnya, menyangkut dwifungsi ABRI, yang kini disebut TNI. PDI Perjuangan, PAN, PKB, dan PPP setuju jika mereka sudah tak boleh lagi menduduki kursi DPR/MPR dalam Sidang Umum MPR 2004 mendatang. PAN menegaskan, dalam sidang umum tahun ini militer tak usah punya hak suara, harus netral. Sedangkan PDI Perjuangan mencanangkan TNI yang tak bisa berdiri sendiri. Ia harus tunduk kepada pemerintah yang mendapat mandat dari MPR. ??Dwifungsi di dalam tubuhnya juga mengandung potensi menjadi fasis. Dari segi keamanan, ini berbahaya karena mereka memegang senjata,? kata Kwik.

Yang agak lunak suara Golkar. ??Suatu saat, kursinya cuma ada di MPR. Tapi kita lihat saja perkembangan politik kelak,? kata Akbar. Intinya: terserah kehendak TNI. Saking dominannya peran militer, ada kelakar menarik: di Indonesia kini yang terjadi bukanlah general election, melainkan election of the general?bukanlah pemilu, melainkan pemilihan jenderal. Walhasil, perubahan itu agaknya susah jika terjadi seketika. Harus bertahap. Kata orang, borok Republik selama 40 tahun tak bisa ditebus hanya dengan satu pemilu.

Wahyu Muryadi, Andari K. Anom, Darmawan Sepriyossa, dan Hani Pudjiarti


Agenda Pasca-Pemilu
Senin, 21 Juni 1999
Kamis, 8 Juli 1999
Senin, 12 Juli 1999
Kamis, 15 Juli 1999
Senin, 19 Juli 1999
Senin-Kamis, 26-29 Juli 1999
Kamis-Sabtu, 19-28 Agustus 1999
Jum'at-Minggu, 1-3 Oktober 1999
Perhitungan suara selesai
Oengumuman penghitungan suara secara nasional
Penentuan calon terpilih DPRD II
Penentuan calon terpilih DPRD I
Penentuan calon terpilih DPR
Pelantikan anggota DPRD II
Pelantikan anggota DPRD I
Pelantikan anggota DPR/MPR

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus