Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Merintis Bisnis Bikin Sekrup

6 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zaman berubah. Dulu, Presiden RI Soekarno bersem-boyan, "Inggris kita linggis. Amerika kita setrika." Kini motto itu sudah kuno. Segala macam produk dari seluruh penjuru dunia boleh masuk Indonesia. "Sekarang zaman perdagangan bebas," kata Kwik Kian Gie, ekonom senior dari PDI Perjuangan. Dan bukan cuma Kwik yang bersuara free market. Faisal Basri, ekonom Partai Amanat Nasional (PAN), Fadel Muhammad dari Partai Golkar, dan Yusuf Faisal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga sepakat. Pilihan propasar bebas sebenarnya bukan ide orisinal parpol-parpol. Sudah lama langkah free trade dirintis, antara lain melalui skema ASEAN Free Trade Area (AFTA) tahun 2003. Krisis ekonomi, yang mengharuskan kita mengundang IMF, memaksa keran liberalisasi dibuka lebih cepat. Di setiap letter of intent, IMF merancang secara detail pembukaan pintu-pintu sektor industri. Mau tak mau, kita kejeblos ke arena pasar bebas. Celakanya, persiapan pasar bebas selama ini cuma basa-basi. Pilihan kebijakan industrialisasi tidak berlandaskan pada visi yang jauh ke depan. Dengan alasan memperbesar kue pembangunan, berbagai insentif investasi asing diundang. Tapi, lantaran tanpa visi, yang datang cuma industri tukang jahit atau juru rakit. Di sisi lain, industri berbasis alam—seperti agribisnis dan kelautan—tidak dilirik serius. Alih-alih diberi insentif, kelapa sawit, misalnya, justru dibebani pajak ekspor. Akibatnya, ketergantungan impor sangat tinggi. Lebih parah lagi, belitan kolusi telah membuat kelompok-kelompok yang dekat dengan penguasa menikmati berbagai keistimewaan. Konglomerasi merajalela sehingga yang menikmati kue pembangunan hanya "golongan istimewa" tadi. Lantas, datanglah badai krisis ekonomi. Dolar melejit lebih dari tiga kali lipat. Industri yang kental komponen impor terbanting. Kredit macet pun menggelembung. Secara tak terduga, sektor agrobisnis justru mengalami masa panen raya. Pendapatan BUMN agrobisnis, yang pada 1997 senilai Rp 5,02 triliun, meningkat menjadi Rp 9,94 triliun pada 1998. Dengan gambaran di atas, sudah selayaknya bila pola kebijakan industrialisasi harus diubah. PDI Perjuangan, dalam hal ini, bertekad menumbuhkan industri yang tidak sekadar tukang jahit. Sektor manufaktur, mau tak mau, harus dibangun mulai dari dasar. Otomotif, misalnya, harus mulai merintis industri pembuat spion, ban, sampai sekrup. Sehingga, nantinya otomotif tak bergantung total pada komponen impor. Sedangkan sektor agribisnis disepakati keempat parpol—PDI Perjuangan, Golkar, PAN, dan PKB—untuk digenjot habis-habisan. Menggenjot sektor manufaktur dan agribisnis tentu bukan pekerjaan gampang di tengah gelombang pasar bebas. Arus liberalisasi bisa membuat barang impor jauh lebih murah sekaligus lebih bagus. Nah, untuk bisa kompetitif, pasti butuh nilai tambah yang betul-betul khas. "Kalau sekadar agrobisnis seperti sekarang, lima tahun lagi sudah tidak laku," kata Markus Dipo, ekonom dari Universitas Indonesia. Sayangnya, belum ada partai yang punya konsep pola industrialisasi secara utuh. Nilai tambah apa yang harus diraih guna mendongkrak citra industri belum tergambar. Padahal, idealnya pola industrialisasi dirancang bagus dengan wawasan jauh ke depan. Misalnya, Indonesia tahun 2010 dicita-citakan seperti Singapura saat ini. Nah, semua program ekonomi dirancang untuk meraih model ideal itu. Ternyata, tidak satu pun partai politik yang punya visi semacam itu. "Ibarat main catur, platform ekonomi partai baru satu atau dua langkah ke depan," kata Markus. Program jangka panjang memang ada. Semua indah-indah, tapi tidak membumi dan tanpa target waktu yang tegas. Markus juga mencatat adanya kontradiksi pada platform ekonomi Golkar. Fadel Muhammad tegas mendukung free market tetapi sekaligus mengajukan konsep ekonomi kerakyatan. Di dalamnya ada dekonglomerasi, keberpihakan pada pengusaha kecil dan menengah, serta intervensi pasar. Markus menilai, free market dan ekonomi kerakyatan tak bisa bersanding mulus. "Pasar bebas, sekalipun kejam, masih tetap proses yang efektif," katanya. Pemerintahlah yang bertugas mengurangi dosis kekejaman free market. Caranya, siapkan aturan main dan hukum yang berwibawa. Tanpa hukum, pasar bebas akan memangsa mereka yang tidak punya akses uang dan kekuasaan. Kalau begitu, apa bedanya dengan Orde Baru? Mardiyah Chamim, Ali N.Y., Agus S.R., A. Karina, Hani P.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus