SIAPA pun partai yang memenangkan pemilu pekan ini tentu akan bergirang hati. Namun, wajar juga kalau yang kalah akan merasa lega. Maklum, memenangkan pemilu bukan cuma berarti merenggut kekuasaan, melainkan juga menanggung kepusingan, terutama dalam mencari jalan untuk membayar utang yang, akibat krismon, telah melonjak jumlahnya.
Kenaikan itu memang tidak main-main. Pada Maret 1999, utang Indonesia naik Rp 12,9 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, menjadi Rp 150,9 triliun. Sebuah beban yang berat karena berarti debt service ratio (DSR/perbandingan cicilan utang terhadap ekspor) membengkak dari 50,7 persen menjadi 60 persen, alias devisa yang dipakai untuk membayar cicilan utang makin besar.
DSR setinggi ini akan membuat kinerja Indonesia menjadi lamban. Bahkan para ekonom Indonesia umumnya menganggap tingkat 30 persen saja sudah berbahaya.Apalagi indikator rasio ekonomi lainnya pun tidak menggembirakan. Perbandingan utang dengan produk domestik bruto (PDB), misalnya, juga sangat mengerikan. Menurut Kepala Balitbang PDI Perjuangan, Kwik Kian Gie, utang Indonesia sudah 2,8 kali PDB. Artinya, kalaupun semua hasil keringat bangsa Indonesia setahun ini disetor untuk membayar utang, tetap tidak akan cukup.
Lantas, sudah siapkah para partai menghadapi masalah ini? Partai Amanat Nasional (PAN) dan PDI Perjuangan dengan tegas mengatakan, pengampunan sebagian utang (debt relief) merupakan salah satu pilihan strategi yang bakal ditempuh, selain meminta restrukturisasi dan penjadwalan kembali utang luar negeri. Selain itu, kedua partai ini dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menolak usul mengemplang utang karena risikonya dianggap terlalu besar. "Ngemplang utang itu hasilnya hanya jangka pendek. Jangka panjangnya, kreditur tak akan mau lagi memberi utang," kata Yusuf Faishal, Koordinator Bidang Ekonomi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Padahal, utang masih sangat dibutuhkan Indonesia. Sekjen PAN yang juga ekonom Fakultas Ekonomi UI, Faisal Basri, mengatakan bahwa utang diperlukan untuk menambal APBN, terutama kalau hendak menaikkan gaji pegawai negeri dan menambah alokasi dana untuk daerah lebih banyak. Jadi, utang tetap jadi faktor penting yang sulit diabaikan. Sebab, untuk menggali dana lewat pajak juga masih sulit, terutama pada saat krisis. Tapi, untuk jangka panjang, PAN maupun PDI Perjuangan berpendapat, pajak harus dijadikan alternatif untuk menggantikan utang. "Ini kalau kita tak mau terperangkap utang," kata Faisal Basri.
Untuk menaikkan penerimaan pajak itu, langkah pertama yang akan dilakukan PAN dan PDI Perjuangan adalah menurunkan tingkat pajak penghasilan (PPh) badan usaha. Langkah ini, menurut kedua partai, diharapkan akan mendorong investasi. Pada gilirannya, industri akan tumbuh dan dapat menciptakan efek ganda yang semakin banyak dan luas, terutama untuk menyerap tenaga kerja. Pendapatan dari pajak penjualan juga akan naik seiring dengan berkembangnya produksi. Sebaliknya, PPh perorangan dinaikkan dan dibuat progresif untuk menghapus kesenjangan.
Kebijakan ekonomi makro ini dicantumkan kedua partai dalam agenda "100 hari pertama memerintah" yang mereka susun. Sayangnya, agenda ini tidak menjelaskan secara rinci bagaimana tujuan kebijakan ekonomi ini bisa dicapai. Soal menyusun anggaran yang memecahkan problem antara keinginan menaikkan gaji pegawai negeri dan mengurangi utang, misalnya, jelas bukan perkara gampang.
Ditambah lagi, proses penyelesaian utang luar negeri pemerintah selama ini berjalan lamban. Padahal, dalam jangka panjang, besarnya utang ini akan bisa mendorong naiknya pajak. "Dan ini akan membuat investor asing tak tertarik," kata Alex Wreksoremboko, Kepala Riset Merryll Lynch, kepada Mustafa Ismail dari TEMPO. Maka, diperlukan strategi baru untuk meringankan beban utang ini secepatnya.
Selama ini, jalan yang ditempuh pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah utang luar negerinya adalah melalui restrukturisasi dan penjadwalan utang. Tapi dampaknya tidak terlalu terasa meringankan. Pertengahan bulan lalu, misalnya, Indonesia hanya berhasil menjadwalkan utang senilai US$ 3,2 miliar, setelah sebelumnya melakukan hal yang sama senilai US$ 3 miliar.
Melihat itu, sejumlah pengamat menyarankan pemerintah yang baru nanti mengambil strategi yang lebih agresif daripada pendahulunya, antara lain dengan meminta pengampunan utang. Menurut ekonom Markus Dipo dan Sritua Arief, meminta pengampunan utang tak akan menjatuhkan kredibilitas Indonesia. "Mengapa kita gengsi mempertahankan predikat the good boy?" kata Sritua dalam berbagai kesempatan. Dia memberi contoh Meksiko ketika menghadapi krisis sepuluh tahun silam. Saat itu, Meksiko bisa mendapatkan pemutihan utang sampai US$ 21 miliar dari negara donor. Sedangkan dari bank-bank komersial, Meksiko memperoleh pemotongan pembayaran cicilan US$ 4,1 miliar setiap tahunnya sampai 1994. Dan terbukti, Meksiko aman-aman saja sampai sekarang.
Markus Dipo juga mengusulkan, pemerintah sebaiknya membayar profesional yang bisa mewakili kepentingan Indonesia dalam perundingan dengan negara donor. Dia menyebut Jeffry Sachs, ekonom Harvard Institute for International Development, sebagai orang yang termasuk mumpuni untuk mewakili kepentingan Indonesia. "Pemerintah yang lama kan mau gampangnya saja. Tutup saja utang dengan utang baru," kata Markus. Sikap ini, menurut Markus, "yang juga perlu direformasi."
M. Taufiqurohman, Agus S. Riyanto, Andari Karina Anom, Hani Pudjiarti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini