Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sejarah Dari Bawah Tanah

Kaum Syi'ah di Iran yang mengagungkan Saidina Ali, tak pernah mendapat kekuasaan. Tapi kemudian menjadi organisasi yang kuat, baik di pemerintahan, agama & merupakan 1/10 jumlah muslimim di dunia.(ag)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sejak abad pertama nasib Syi'ah ditentukan hitam. Ali bin Abi Thalib, kemenakan dan menantu Nabi, diangkat menjadi khalifah ke-4 menggantikan Utsman bin Affan yang terbunuh oleh huru-hara kesukuan yang bangkit lagi sepeninggal Rasulullah. Tak kuasa menolak, Ali justru diangkat oleh pihak teroris -- dan dengan sendirinya tak kuasa mengambil tindakan kepada mereka. Mu'awiah bin Abi Sufyan menjadikan hal itu sebagai alasan membentuk pemerintah tandingan -- dan akhirnya mengobarkan perang berkelanjutan. Ali pun terbunuh pada waktu keluar untuk shalat subuh oleh bekas pengikutnya sendiri. Adalah Mu'awiah yang menegakkan sistim monarki turun-temurun yang sebenarnya tidak pernah dimaksud Nabi -- sementara para pengikut Ali kemudian menabahkan putera Ali pula, Hasan, sebagai khalifah tandingan. Hasan digantikan saudaranya, Husain. Dan Husain berhasil ditipu oleh pihak Umaiyah kemudian dibantai dengan keji di Karbala di pinggir Sungai Tigris -- peristiwa yang tiap tahun ditangisi umat Syi'ah sambil meraung-raung. Untuk berabad-abad kemudian Syi'ah (kata ini berarti pengikut, yakni pengikut Ali) tak pernah mendapat kekuasaan. Mereka bahkan menjadi obyek kejaran sampai ke liang-liang. Dan karena itu kaum Syi'ah mengenal satu prinsip yang bernama taqiwah (menjaga diri, yakni dengan menyembunyikan apa yang sebenarnya dikandung). Mereka jadi kaum underground yang pada akhirnya, pelan-pelan, berobah dari sifatnya sebagai golongan politik, menjadi sebuah sekte agama. Terpisah dari kaum muslimin yang berusaha memegangi Sunnah (Prilaku) Nabi -- yang disebut kaum Sunni -- dan menyerap demikian banyak unsur-unsur Persia serta agama-agama lokal, mereka kemudian menjadi golongan agama yang penuh dongeng, penuh hal gaib dan colorful. Mereka mengagungkan Saidina Ali bukan lagi sebagai tokoh historis. Melainkan sebagai imam dengan sifat-sifat ketuhanan. Setidak-tidaknya golongan moderat, seperti yang makin lama makin dominan, menyifati imam-imam keturunan Ali sebagai saluran 'Nur Muhammad' dan dengan itu mempunyai kekuasaan superhuman. Ciri messianistik Syi'ah terletak dalam keimanan yang turun-temurun itu. Syi'ah yang mempercayai 12 imam misalnya, yakni mayoritas di Iran sekarang, yakin bahwa imam terakhir, Muhammad Al Muntazhar (wafat 878 M) naik ke langit dan akan turun pada hari terakhir sebelum kiamat sebagai Imam Mahdi, untuk menghukum para durjana dan menegakkan keadilan. Mereka mempunyai kodifikasi hadis sendiri (bukan Bukhari dan Muslim misalnya). Punya fiqh sendiri. Syahadat mereka ditambah dengan kalimat ketiga: . . . wa anna 'aliyvan waliyyullah (dan bahwa Ali adalah wali Allah). Pergi haji bisa diganti dengan mengunjungi tempat-tempat suci para imam Saidina Ali di Najaf, Husain di Karbala, Ali Ridha di Masyhad, Fathimah di Qumm. Shalat jama'ah tak ada, karena untuk jama'ah harus ada imam, sedang imam justru sudah gaib. Yang ada ialah shalat berbarengan, dengan seorang memberi komando (tidak perlu di depan. Shalat hari Jum'at tak ada oleh penafsiran mereka yang khas terhadap ayat Qur'an dalam Surah Jum'ah. Ada perkawinan mut'ah (berjangka), baik untuk setahun, seminggu atau sehari. Lebih dari itu mereka menganggap Qur'an sebenarnya tak lengkap: ada bagian-bagian pujian tentang Ali yang dulu tak dimasukkan oleh Utsman waktu pengumpulannya sepeninggal Nabi. Tapi yang terpenting ialah kenyataan, betapa pengharapan kepada Imam Mahdi alias Ratu Adil memenuhi hasrat gelombang besar rakyat -- satu semangat yang anasirnya sebenarnya terdapat di segala bangsa. Ini menjadikan Syi'ah organisasi yang kuat -- dan kaya. Di beberapa tempat di Iran misalnya terdapat dua penning dari pemerintah dan dari organisasi agama. Dan betapapun mungkin sebagian orang mengeluh, pada masa-masa kacau mereka justru akan kembali ke dalam pelukan agama. Demikianlah lewat abad-abad yang panjang, Syi'ah mendapat tempatnya di Iran sejak dijadikan satu-satunya agama negara di masa Dinasti Shafawi (Safavid), awal abad 16. Sejak itu tradisi Persia sebagai penghasil para ulama klasik Sunni, sebagaimana para penyair besar angkatan Firdausi, Rumi, Atthar, Khaiyam dan sejenisnya, berhenti. Memang terdapat gerak-mendekat antara Sunni dan Syi'ah sekarang. Semangat solidaritas Islam yang bangkit abad ini, juga pengaruh para penulis dan pembaharu Islam sendiri, pelanpelan memendekkan jarak. Bila diingat salah-satu tuntutan mereka di Iran kepada Syah tempo hari adalah untuk menghentikan penjualan minyak ke Israel, dan bila diingat peranan Saudi Arabia, Kuwait, Libia, dalam percaturan dunia sekarang, orang akan bisa melihat syi'ah zaman ini, 1/10 dari jumlah muslimin di dunia, tidak terpisah dari saudara-saudaranya selebihnya. Dan siapa tahu banyak pemerintah di dunia ini akan mendapat tambahan pelajaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus