SUDAH sejak abad pertama nasib Syi'ah ditentukan hitam. Ali bin
Abi Thalib, kemenakan dan menantu Nabi, diangkat menjadi
khalifah ke-4 menggantikan Utsman bin Affan yang terbunuh oleh
huru-hara kesukuan yang bangkit lagi sepeninggal Rasulullah. Tak
kuasa menolak, Ali justru diangkat oleh pihak teroris -- dan
dengan sendirinya tak kuasa mengambil tindakan kepada mereka.
Mu'awiah bin Abi Sufyan menjadikan hal itu sebagai alasan
membentuk pemerintah tandingan -- dan akhirnya mengobarkan
perang berkelanjutan. Ali pun terbunuh pada waktu keluar untuk
shalat subuh oleh bekas pengikutnya sendiri.
Adalah Mu'awiah yang menegakkan sistim monarki turun-temurun
yang sebenarnya tidak pernah dimaksud Nabi -- sementara para
pengikut Ali kemudian menabahkan putera Ali pula, Hasan, sebagai
khalifah tandingan. Hasan digantikan saudaranya, Husain. Dan
Husain berhasil ditipu oleh pihak Umaiyah kemudian dibantai
dengan keji di Karbala di pinggir Sungai Tigris -- peristiwa
yang tiap tahun ditangisi umat Syi'ah sambil meraung-raung.
Untuk berabad-abad kemudian Syi'ah (kata ini berarti pengikut,
yakni pengikut Ali) tak pernah mendapat kekuasaan. Mereka bahkan
menjadi obyek kejaran sampai ke liang-liang. Dan karena itu kaum
Syi'ah mengenal satu prinsip yang bernama taqiwah (menjaga diri,
yakni dengan menyembunyikan apa yang sebenarnya dikandung).
Mereka jadi kaum underground yang pada akhirnya, pelan-pelan,
berobah dari sifatnya sebagai golongan politik, menjadi sebuah
sekte agama. Terpisah dari kaum muslimin yang berusaha memegangi
Sunnah (Prilaku) Nabi -- yang disebut kaum Sunni -- dan
menyerap demikian banyak unsur-unsur Persia serta agama-agama
lokal, mereka kemudian menjadi golongan agama yang penuh
dongeng, penuh hal gaib dan colorful. Mereka mengagungkan
Saidina Ali bukan lagi sebagai tokoh historis. Melainkan sebagai
imam dengan sifat-sifat ketuhanan. Setidak-tidaknya golongan
moderat, seperti yang makin lama makin dominan, menyifati
imam-imam keturunan Ali sebagai saluran 'Nur Muhammad' dan
dengan itu mempunyai kekuasaan superhuman.
Ciri messianistik Syi'ah terletak dalam keimanan yang
turun-temurun itu. Syi'ah yang mempercayai 12 imam misalnya,
yakni mayoritas di Iran sekarang, yakin bahwa imam terakhir,
Muhammad Al Muntazhar (wafat 878 M) naik ke langit dan akan
turun pada hari terakhir sebelum kiamat sebagai Imam Mahdi,
untuk menghukum para durjana dan menegakkan keadilan.
Mereka mempunyai kodifikasi hadis sendiri (bukan Bukhari dan
Muslim misalnya). Punya fiqh sendiri. Syahadat mereka ditambah
dengan kalimat ketiga: . . . wa anna 'aliyvan waliyyullah (dan
bahwa Ali adalah wali Allah). Pergi haji bisa diganti dengan
mengunjungi tempat-tempat suci para imam Saidina Ali di Najaf,
Husain di Karbala, Ali Ridha di Masyhad, Fathimah di Qumm.
Shalat jama'ah tak ada, karena untuk jama'ah harus ada imam,
sedang imam justru sudah gaib. Yang ada ialah shalat
berbarengan, dengan seorang memberi komando (tidak perlu di
depan. Shalat hari Jum'at tak ada oleh penafsiran mereka yang
khas terhadap ayat Qur'an dalam Surah Jum'ah. Ada perkawinan
mut'ah (berjangka), baik untuk setahun, seminggu atau sehari.
Lebih dari itu mereka menganggap Qur'an sebenarnya tak lengkap:
ada bagian-bagian pujian tentang Ali yang dulu tak dimasukkan
oleh Utsman waktu pengumpulannya sepeninggal Nabi.
Tapi yang terpenting ialah kenyataan, betapa pengharapan kepada
Imam Mahdi alias Ratu Adil memenuhi hasrat gelombang besar
rakyat -- satu semangat yang anasirnya sebenarnya terdapat di
segala bangsa.
Ini menjadikan Syi'ah organisasi yang kuat -- dan kaya. Di
beberapa tempat di Iran misalnya terdapat dua penning dari
pemerintah dan dari organisasi agama. Dan betapapun mungkin
sebagian orang mengeluh, pada masa-masa kacau mereka justru akan
kembali ke dalam pelukan agama.
Demikianlah lewat abad-abad yang panjang, Syi'ah mendapat
tempatnya di Iran sejak dijadikan satu-satunya agama negara di
masa Dinasti Shafawi (Safavid), awal abad 16. Sejak itu tradisi
Persia sebagai penghasil para ulama klasik Sunni, sebagaimana
para penyair besar angkatan Firdausi, Rumi, Atthar, Khaiyam dan
sejenisnya, berhenti.
Memang terdapat gerak-mendekat antara Sunni dan Syi'ah sekarang.
Semangat solidaritas Islam yang bangkit abad ini, juga pengaruh
para penulis dan pembaharu Islam sendiri, pelanpelan memendekkan
jarak. Bila diingat salah-satu tuntutan mereka di Iran kepada
Syah tempo hari adalah untuk menghentikan penjualan minyak ke
Israel, dan bila diingat peranan Saudi Arabia, Kuwait, Libia,
dalam percaturan dunia sekarang, orang akan bisa melihat syi'ah
zaman ini, 1/10 dari jumlah muslimin di dunia, tidak terpisah
dari saudara-saudaranya selebihnya. Dan siapa tahu banyak
pemerintah di dunia ini akan mendapat tambahan pelajaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini