MENEMBUS abad-abad panjang dalam sejarah, kaum Syi'ah tiba-tiba
muncul ke pusat perhatian. Bendera mereka yang hanya secarik
kain hitam, yang sudah mereka pakai segera sesudah junjungan
mereka, Saidina Ali bin Abi Thalib (kemenakan dan menantu Nabi
s.a.w.) terbunuh oleh tentara dinasti Umaiyah dahulu kala,
sekarang muncul kembali di pusat-pusat kekuatan Islam di seluruh
daratan Iran.
Di sini memang hampir semua dari 95% warganegaranya yang memeluk
Islam kaum Syi'ah. Di Qumm, kota kuno yang dianggap suci di mana
diyakini terdapat peninggalan Fathimah, puteri Nabi dan isteri
Ali, dan secara tradisionil merupakan sumber kekuatan Syi'ah,
bendera hitam dipancangkan di pucuk kubah mesjid raya yang
keemasemasan. Sementara itu di dinding-dinding yang mengelilingi
mesjid, slogan-slogan ditulis dengan warna darah: "Mati Untuk
Syah . "
Di kota itulah berdiam Ayatullah Syari'at Madari (81 tahun),
salah satu dari beberapa ayatullah (gelaran ini berarti: bukti
atau pertanda Tuhan), yakni ulama puncak bagi muslimin Syi'ah.
Tokoh tua yang paling terpandang dan cukup lunak ini (dibanding
misalnya dengan Ayatullah Khumaini, yang oleh Syah Iran
diasingkan ke Irak sejak 1963), sekarang ini sudah berkata:
"Perjuangan akan berlanjut. Pemerintah harus melaksanakan
konstitusi secara utuh(termasuk ketentuan untuk menghormati
Ajaran Islam red). Bila mereka tak menemukan jalan
penyelesaian, dan bila kami ternyata tidak punya harapan lagi,
kami akan izinkan rakyat memasuki jalan-jalan dan berjuang."
Itu dinyatakannya 1« bulan yang lalu. Dan ledakan besar kemudian
terdengar di Kota Isfahan, 10 Agustus atau malam Jum'at tanggal
7 Ramadhan-setelah pagi harinya Syah Iran Mohammad Ridha Pahlawi
memperingatkan para ekstrimis, lewat wawancara dengan wartawan
Barat, bahwa ia akan menumpas mereka yang menghadang langkahnya
ke arah liberalisasi politik.
Di tempat kediaman Ayatullah Husain Khadami (diketahui sebagai
kawan akrab Ayatullah Khumaini yang diasingkan), ribuan umat
berkumpul mendengarkan ceramah Ramadhan dari para mullah yang
penuh kutukan kepada Pemerintah. Mereka praktis memblok
jalanjalan yang menuju tempat pengajian. Satuan-satuan keamanan
mengelilingi mereka, dan elltah bagaimana kemudian mulai
memuntahkan gas air mata. Gerombolan besar manusia buyar --
lantas menyerang beberapa polisi. Beberapa tembakan terdengar,
dan seseorang terlihat rubuh di tingkat kedua rumah Ayatullah,
sementara beberapa yang lain terguling di jalanjalan. Tentara
masuk dengan tank-tank dan mobil lapis baja setelah polisi
gagal mengendalikan massa.
Setelah keadaan tenang mulai subuh tiba-tiba huru-hara bangkit
kembali menjelang tengah hari. Ratusan demonstran membikin onar
di kota industri dan wisata ini: membakar instalasi jalan raya,
beberapa buah bank dan toko-toko. Mobil pemadam kebakaran
simpang-siur, dan kota yang cantik dengan mesjid-mesjid megah
yang tak ternilai arsitekturnya ini, berobah menjadi sebuah
kancah.
Pemerintah memang segera memberlakukan jam malam di sini -- dan
juga, hebatnya, larangan berkumpul lebih dari tiga orang
walaupun untuk acara ibadah bulan puasa. Tapi justru dari kota
berpenduduk 680.000 inilah perlawanan terhadap Pemerintah
menyebar ke kota-kota lain dalam bentuk lebih keras dari yang
sdah terjadi sejak Nopember 1977. Bahkan huru-hara.di kota
minyak Abadan terhitung mengerikan 377 orang dibakar hidup-hidup
dalam gedung bioskop yang dikunci.
Pada hari yang sama di Syiraz, kota yang hanya beberapa
kilometer dari peninggalan Cyrus Yang Agung -- Persopolis yang
dibangga-banggakan -- dan tempat kelahiran ulama klasik Ushul
Fiqh Syirazi, demonstran juga membakar sebuah gedung bioskop di
tengah kota dan sebuah restoran.
Juga di Tabriz, tempat kelahiran Ulama Tabrizi. Beberapa hari
sebelumnya di Masyhad, kota yang diyakini sebagai tempat
berkuburnya junjungan kaum Syi'ah, Saidina Ali, dan di Teheran
sendiri, massa membakar tiga buah gedung bioskop, sebuah
restoran dan gedung klab malam paling mewah di Ibukota bernama
Bacara.
PEMERINTAH sendiri menyatakan bahwa bioskop maut di Abadan itu
merupakan gedung keenam yang dibakar sejak aival Ramadhan,
alias dalam jangka setengah bulanan. Gabungan pengusaha bioskop
di seluruh Iran kemudian menyatakan menutup seluruh gedung
komidi itu, sampai "sampai Pemerintah mampu melindungi kami."
Dan hari demi hari jumlah bank yang dibakar melewati angka
belasan, kebanyakan cabang-cabang kecil. Klab malam serentak
pada menutup pintu dan menurunkan papan-papan nama. Toko-toko
minuman keras didobrak dan diamuk, beberapa kantor pemerintah
dan beberapa hotel mahal tak luput dirusak. Dan sebuah bom
meledak di sebuah restoran orang-orang kaya di Ibukota.
Demikianlah para ayatullah telah mengizinkan umat "memasuki
jalan-jalan dan berjuang". Pemerintah sendiri serta-merta
menuduh "kaum ekstrimis slam" sebagai pembuat setori. Atau
lebih persis 'Islam-Marxis' -- istilahnya 'persekongkolan merah
(komunis) dan hitam (Islam, yakni Syi'ah)." Syah sendiri
menyatakan bahwa seluruh huru-hara yang bermula sejak Nopember
1977 ini digerakkan "100% oleh komunis" -- sambil secara tak
langsung menuding Rusia yang menjadi pangkalan Pak tai Tudeh
Iran (terlarang) yang dahulu menunjang Mushaddiq untuk melakukan
kudeta sebentar.
Sudah tentu para pemimpin "Islam fanatik" -- yang oleh para
pejabat pemerintah dikatakan "ditunggangi komunis" -- takkan mau
disuruh bertanggungjawab bila kasusnya adalah teror biadab
seperti peristiwa bioskop maut di Abadan itu. Seluruh pemimpin
Syi'ah sendiri mengutuk pembantaian tersebut -- kecuali pihak
Ayatullah Khumaini di pengasingan, yang diketahui tetap
berhubungan dengan umatnya lewat pesanpesan tertulis dan
berbagai rekaman. Para wartawan di Abadan sendiri cenderung
menyimpulkan perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang
profesional tekniknya yang demikian cepat dan sempurna
memerlukan rancangan dan tak mungkin dilakukan secara spontan
oleh massa.
Berbeda dengan demonstrasi dan perkelahian biasa, di mana
semangat mati syahid terlihat jelas. Ketika tank-tank atau para
polisi datang dan mengacungkan senjata untuk menyerah, tak
jarang bahkan para pemuda maju dan menyerang terang-terangan
dari hadapan. Suara letusan terdengar. Dan sebuah tubuh akan
digotong beramai-ramai -- dan Segera sesudah itu potret si
korban akan dipasang di mesjid-mesjid, disertai teks panjang
lebar yang menerangkan keutamaannya sebagai pahlawan.
Para wartawan setempat juga melihat kebanyakan mereka
orang-orang dari klas paling bawah. Dan bila ini benar, maka
gabungan para pemuda yang menginginkan syahid dan pemuda miskin
-- bila mereka bukan justru berasal dari satu kalangan -- adalah
khas. Kenyataan bahwa yang terutama diserang adalah
tempat-tempat maksiat atau hiburan, kemudian bank, dan juga
televisi, sudah menunjukkan perasaan apa yang selama ini
terpendam. Klab malam (sambil mengingat jurang kaya miskin yang
sangat lebar di negeri yang pendapatan per kapitanya US$ 2.250
per tahun ini) selamanya dibenci baik oleh mereka yang alim
maupun yang lapar.
Kebencian kepada televisi belum jelas motifnya. Adakah karena ia
"alat setan", seperti anggapan para pemimpin suku Badui Jazirah
Arab ketika mereka menyerang kabel-kabel telepon dan stasiun TV
di zaman Raja Su'ud ayah Almarhum Faisal dan Khalidi Ataukah
karena TV di Iran agaknya lebih nampak di muka para ulama
sebagai media maksiat, pameran film-film yang menyajikan pria
dan wanita "bertingkah bagai kafir"?
Tetapi kebencian kepada bank adalah yang paling membingungkan --
bila ukurannya diambil dari dunia muslimin di luar Iran sekarang
ini. Bukan hanya karena organisasi-organisasi Islam sedunia
telah membentuk Bank Pembangunan Islam -- dengan
aturan-aturannya mengenai bunga yang memang berbeda. Tapi
setidak-tidaknya karena bagi banyak organisasi murni-keagamaan
Islam sendiri, masalah bank umumnya dihadapi dengan dua
kesimpulan: dianggap mauquf (ditangguhkan pembicaraannya dan
diserahkan kepada pribadi masing-masing) atau dianggap dharurat
(dipaksakan kepada mereka oleh lingkungan yang berkuasa) dan
praktis akhirnya dihadapi secara biasa.
MAKA kalau penentangan kepada bank merupakan reaksi resmi,
agaknya karena kurang adanya penggodogan fikiran keagamaan
mengenai hal-hal modern di kalangan Syi'ah di sana.
Setidak-tidaknya itu dikesankan oleh penentangan mereka terhadap
program emansipasi wanita yang akan diefektifkan Syah, sepanjang
berarti persamaan kesempatan kerja, pendidikan dan hak memilih.
Bahkan tuntutan muslimin di sini agar wanita tidak menanggalkan
purdah yang menutup seluruh muka, yang sering dituding sebagai
lambang perbudakan perempuan oleh laki-laki -- meski sama sekali
tidak berarti lambang kesengsaraan mereka -- barangkali hanya
bisa disamakan daya kejutnya dengan tuntutan kelompok kecil
ekstrim di Mesir beberapa waktu yang lalu, At-Takfir wal Hijrah,
agar Parlemen mengeluarkan undang-undang hukuman mati bagi orang
muslim yang murtad.
Untuk melihat ini mungkin perlu ditengok sejarah. Ketika di awal
1925 Dinasti Qajar di Persia berada di titik keruntuhannya,
Ridha Khan bekas perwira tentara Kosak, mengangkat dirinya
sebagai Perdana Menteri untuk menyelamatkan keadaan. Ia tampil
dengan dukungan Majlis, yakni MPR yang dibentuk 1906 di zaman
Nashiruddin Syah, dan lestari sampai sekarang. Waktu itu.
terdapat arus ,7an kuat untuk menjadikan Persia sebuah
republik, dengan Ridha sebagai presiden. Tetapi tantangan keras
datang dari para ulama.
Dikejar oleh bayangan Kemal Attaturk di Turki yang menumbangkan
khalifah Dinasti Utsmani (dan dengan demikian menghabisi sistim
khilafat dalam sejarah), dan serentak dengan itu "menghapuskan
Islam,"kaumulama Iran memilih untuk tetap tinggal dalam sebuah
kerajaan -- dengan Ridha Khan sebagai raja.
Demikianlah pada Oktober tahun itu Majlis mengumumkan
berakhirnya daulat Wangsa Qajar dan berikutnya, April 1926,
muncul raja baru dengan nama Ridha Syah Pahlawi -- ayah Syah
Muhammad Ridha yang sekarang, penegak wangsa ke-10 sejak Cyrus
Yang Agung 2.000 tahun lalu.
Tak urung yang terjadi adalah halhal yang ditakutkan ulama. Di
tahun 1928 Syah yang mereka dukung itu mengganti peradilan agama
yang berlaku dengan sistim peradilan Perancis-dan diefektifkan
sejak 1935. Kekuasaan para mullah dikebiri bersama dengan para
kepala suku. Di tahun 1935 juga dibuka kantor-kantor perkawinan
sipil. Purdah bagi kaum perempuan dihapuskan secara drastis.
Seluruh negeri dibuka dan pembangunan dilancarkan besar-besaran
terpenting misalnya pembukaan jalan kereta api lintas Iran. Syah
memerintah dengan kekuatan tentara, dan dalam praktek ia adalah
perluasan dari Kemal Attaturk dalam skala besar.
Barangkali itu juga sebabnya mengapa para ayatullah menolak
liberalisasi politik yang ditawarkan Syah sekarang. Syah sendiri
menganggap monarki otokratis yang digenggamnya selama ini tidak
akan dapat dipertahankan untuk kurun selanjutnya. Memang ada
putera mahkota, juga bernama Ridha, yang sekarang berumur 21 dan
diharapkannya tetap memegang kendali dinasti yang tidak
terganggu gugat. api masa depan perlu diberikan kekuasaan lebih
besar kepada rakyat untuk ikut memerintah.
Namun para ulama mungkin tidak percaya. Atau tidak mengerti.
Atau lebih tepat sudah serta merta menolak sistim Barat apapun
namanya, sementara mereka sendiri tidak boleh dikatakan siap
memasuki kompetisi terbuka.
Ajaibkah bahwa di Iran, di mana yang bisa ikut memerintah
hanyalah mereka yang berada di dalam atau dekat dengan lingkaran
putih (Istana), di mana suara oposisi selama ini dibungkam,
hingga seorang pejabat dari Partai Rastakhiz (satu-satunya
partai politik yang diakui sampai beberapa waktu yang lalu)
menyatakan keheranannya mengapa rakyat ribut, sementara
pembangunan berjalan pesat? Memang, mereka tak punya alat
penduga.
Sampai beberapa waktu yang lalu Syah masih mengatakan
kedudukannya terlalu tinggi untuk "melayani tuntutan para
pembuat onar". Sementara itu diteriakkan bahwa yang dihadapi
rakyat sebenarnya adalah korupsi, kebruta]an tentara,
kecongkakan penguasa dan immoralitas. Penggantian kalender
Hijrah dengan Kalender Kerajaan misalnya (sejak dua tahun lalu,
di bawah Perdana Menteri Amir Abbas Huwaidah), yang sudah tentu
menyinggung perasaan kaum ulama, dilakukan dengan paksa.
Hampir-hampir tak ada pilihan, Pemerintah sama sekali abai untuk
memberi kesempatan warganegaranya sendiri tetap menggunakan
tanggal-tanggal yang banyak hubungannya dengan ibadat itu.
Bahkan koran-koran, selain kantor-kantor, diwajibkan hanya
memakai kalender imperial yang bermula dari Maharaja Cyrus,
entah dengan tujuan apa.
Dan pengangkatan Ja'far Syarif Imami, yang menggantikan Jamsyid
Amuzegar sebagai Perdana Menteri, memperlihatkan hal-hal yang
memang dirasakan banyak orang. Selain memberi banyak konsesi
kepada umat Muslimin (dan terpenting adalah pengembalian
kalender), ia berjanji untuk menilldas korupsi dan membatasi
pengeluaran boros berbagai departemen.
Tetpi jalan-jalan sudah bergolak. Pikiran-pikiran moderat, yang
biasanya mencoba mengerti keadaan lebih dari satu segi dan
menjadi jembatan antar kalangan, dan istimewa adalah fikiran
Islam modern, tak punya iklim tumbuh dalam negeri di mana pers
dikekang dengan kuat. Sekarang bahkan gadis-gadis mahasiswa
banyak yang mengenakan purdah penutup muka kembali. Mungkin
karena tekanan "dari bawah". Tapi sebagiannya karena memang
sengaja mengidentikkan diri dengan rakyat bawah yang tak diakui.
"Islam sangat kuat," kata Ayatullah Syari'at Madari akhirnya, di
pangkalannya di mana bendera hitam dipancangkan di kubah mesjid,
"lebih kuat dari yang diduga Pemerintah." Dall itulah sebabnya
Pemerirrtah merasa pcrlu menghadapi kericuhan dengan membuka
mahkamah-mahkamah militer dan menggiring tank ke jalanjalan
raya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini