Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bendera Hitam Di Seluruh Iran

Pemerintah Iran memberlakukan jam malam di kota Is fahan, tapi perlawanan terhadap pemerintah menyebar ke kota lain. Pemerintah menuduh Islam-Marxis yang di dalangi komunis, yang membuat kerusuhan. (ag)

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENEMBUS abad-abad panjang dalam sejarah, kaum Syi'ah tiba-tiba muncul ke pusat perhatian. Bendera mereka yang hanya secarik kain hitam, yang sudah mereka pakai segera sesudah junjungan mereka, Saidina Ali bin Abi Thalib (kemenakan dan menantu Nabi s.a.w.) terbunuh oleh tentara dinasti Umaiyah dahulu kala, sekarang muncul kembali di pusat-pusat kekuatan Islam di seluruh daratan Iran. Di sini memang hampir semua dari 95% warganegaranya yang memeluk Islam kaum Syi'ah. Di Qumm, kota kuno yang dianggap suci di mana diyakini terdapat peninggalan Fathimah, puteri Nabi dan isteri Ali, dan secara tradisionil merupakan sumber kekuatan Syi'ah, bendera hitam dipancangkan di pucuk kubah mesjid raya yang keemasemasan. Sementara itu di dinding-dinding yang mengelilingi mesjid, slogan-slogan ditulis dengan warna darah: "Mati Untuk Syah . " Di kota itulah berdiam Ayatullah Syari'at Madari (81 tahun), salah satu dari beberapa ayatullah (gelaran ini berarti: bukti atau pertanda Tuhan), yakni ulama puncak bagi muslimin Syi'ah. Tokoh tua yang paling terpandang dan cukup lunak ini (dibanding misalnya dengan Ayatullah Khumaini, yang oleh Syah Iran diasingkan ke Irak sejak 1963), sekarang ini sudah berkata: "Perjuangan akan berlanjut. Pemerintah harus melaksanakan konstitusi secara utuh(termasuk ketentuan untuk menghormati Ajaran Islam red). Bila mereka tak menemukan jalan penyelesaian, dan bila kami ternyata tidak punya harapan lagi, kami akan izinkan rakyat memasuki jalan-jalan dan berjuang." Itu dinyatakannya 1« bulan yang lalu. Dan ledakan besar kemudian terdengar di Kota Isfahan, 10 Agustus atau malam Jum'at tanggal 7 Ramadhan-setelah pagi harinya Syah Iran Mohammad Ridha Pahlawi memperingatkan para ekstrimis, lewat wawancara dengan wartawan Barat, bahwa ia akan menumpas mereka yang menghadang langkahnya ke arah liberalisasi politik. Di tempat kediaman Ayatullah Husain Khadami (diketahui sebagai kawan akrab Ayatullah Khumaini yang diasingkan), ribuan umat berkumpul mendengarkan ceramah Ramadhan dari para mullah yang penuh kutukan kepada Pemerintah. Mereka praktis memblok jalanjalan yang menuju tempat pengajian. Satuan-satuan keamanan mengelilingi mereka, dan elltah bagaimana kemudian mulai memuntahkan gas air mata. Gerombolan besar manusia buyar -- lantas menyerang beberapa polisi. Beberapa tembakan terdengar, dan seseorang terlihat rubuh di tingkat kedua rumah Ayatullah, sementara beberapa yang lain terguling di jalanjalan. Tentara masuk dengan tank-tank dan mobil lapis baja setelah polisi gagal mengendalikan massa. Setelah keadaan tenang mulai subuh tiba-tiba huru-hara bangkit kembali menjelang tengah hari. Ratusan demonstran membikin onar di kota industri dan wisata ini: membakar instalasi jalan raya, beberapa buah bank dan toko-toko. Mobil pemadam kebakaran simpang-siur, dan kota yang cantik dengan mesjid-mesjid megah yang tak ternilai arsitekturnya ini, berobah menjadi sebuah kancah. Pemerintah memang segera memberlakukan jam malam di sini -- dan juga, hebatnya, larangan berkumpul lebih dari tiga orang walaupun untuk acara ibadah bulan puasa. Tapi justru dari kota berpenduduk 680.000 inilah perlawanan terhadap Pemerintah menyebar ke kota-kota lain dalam bentuk lebih keras dari yang sdah terjadi sejak Nopember 1977. Bahkan huru-hara.di kota minyak Abadan terhitung mengerikan 377 orang dibakar hidup-hidup dalam gedung bioskop yang dikunci. Pada hari yang sama di Syiraz, kota yang hanya beberapa kilometer dari peninggalan Cyrus Yang Agung -- Persopolis yang dibangga-banggakan -- dan tempat kelahiran ulama klasik Ushul Fiqh Syirazi, demonstran juga membakar sebuah gedung bioskop di tengah kota dan sebuah restoran. Juga di Tabriz, tempat kelahiran Ulama Tabrizi. Beberapa hari sebelumnya di Masyhad, kota yang diyakini sebagai tempat berkuburnya junjungan kaum Syi'ah, Saidina Ali, dan di Teheran sendiri, massa membakar tiga buah gedung bioskop, sebuah restoran dan gedung klab malam paling mewah di Ibukota bernama Bacara. PEMERINTAH sendiri menyatakan bahwa bioskop maut di Abadan itu merupakan gedung keenam yang dibakar sejak aival Ramadhan, alias dalam jangka setengah bulanan. Gabungan pengusaha bioskop di seluruh Iran kemudian menyatakan menutup seluruh gedung komidi itu, sampai "sampai Pemerintah mampu melindungi kami." Dan hari demi hari jumlah bank yang dibakar melewati angka belasan, kebanyakan cabang-cabang kecil. Klab malam serentak pada menutup pintu dan menurunkan papan-papan nama. Toko-toko minuman keras didobrak dan diamuk, beberapa kantor pemerintah dan beberapa hotel mahal tak luput dirusak. Dan sebuah bom meledak di sebuah restoran orang-orang kaya di Ibukota. Demikianlah para ayatullah telah mengizinkan umat "memasuki jalan-jalan dan berjuang". Pemerintah sendiri serta-merta menuduh "kaum ekstrimis slam" sebagai pembuat setori. Atau lebih persis 'Islam-Marxis' -- istilahnya 'persekongkolan merah (komunis) dan hitam (Islam, yakni Syi'ah)." Syah sendiri menyatakan bahwa seluruh huru-hara yang bermula sejak Nopember 1977 ini digerakkan "100% oleh komunis" -- sambil secara tak langsung menuding Rusia yang menjadi pangkalan Pak tai Tudeh Iran (terlarang) yang dahulu menunjang Mushaddiq untuk melakukan kudeta sebentar. Sudah tentu para pemimpin "Islam fanatik" -- yang oleh para pejabat pemerintah dikatakan "ditunggangi komunis" -- takkan mau disuruh bertanggungjawab bila kasusnya adalah teror biadab seperti peristiwa bioskop maut di Abadan itu. Seluruh pemimpin Syi'ah sendiri mengutuk pembantaian tersebut -- kecuali pihak Ayatullah Khumaini di pengasingan, yang diketahui tetap berhubungan dengan umatnya lewat pesanpesan tertulis dan berbagai rekaman. Para wartawan di Abadan sendiri cenderung menyimpulkan perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang profesional tekniknya yang demikian cepat dan sempurna memerlukan rancangan dan tak mungkin dilakukan secara spontan oleh massa. Berbeda dengan demonstrasi dan perkelahian biasa, di mana semangat mati syahid terlihat jelas. Ketika tank-tank atau para polisi datang dan mengacungkan senjata untuk menyerah, tak jarang bahkan para pemuda maju dan menyerang terang-terangan dari hadapan. Suara letusan terdengar. Dan sebuah tubuh akan digotong beramai-ramai -- dan Segera sesudah itu potret si korban akan dipasang di mesjid-mesjid, disertai teks panjang lebar yang menerangkan keutamaannya sebagai pahlawan. Para wartawan setempat juga melihat kebanyakan mereka orang-orang dari klas paling bawah. Dan bila ini benar, maka gabungan para pemuda yang menginginkan syahid dan pemuda miskin -- bila mereka bukan justru berasal dari satu kalangan -- adalah khas. Kenyataan bahwa yang terutama diserang adalah tempat-tempat maksiat atau hiburan, kemudian bank, dan juga televisi, sudah menunjukkan perasaan apa yang selama ini terpendam. Klab malam (sambil mengingat jurang kaya miskin yang sangat lebar di negeri yang pendapatan per kapitanya US$ 2.250 per tahun ini) selamanya dibenci baik oleh mereka yang alim maupun yang lapar. Kebencian kepada televisi belum jelas motifnya. Adakah karena ia "alat setan", seperti anggapan para pemimpin suku Badui Jazirah Arab ketika mereka menyerang kabel-kabel telepon dan stasiun TV di zaman Raja Su'ud ayah Almarhum Faisal dan Khalidi Ataukah karena TV di Iran agaknya lebih nampak di muka para ulama sebagai media maksiat, pameran film-film yang menyajikan pria dan wanita "bertingkah bagai kafir"? Tetapi kebencian kepada bank adalah yang paling membingungkan -- bila ukurannya diambil dari dunia muslimin di luar Iran sekarang ini. Bukan hanya karena organisasi-organisasi Islam sedunia telah membentuk Bank Pembangunan Islam -- dengan aturan-aturannya mengenai bunga yang memang berbeda. Tapi setidak-tidaknya karena bagi banyak organisasi murni-keagamaan Islam sendiri, masalah bank umumnya dihadapi dengan dua kesimpulan: dianggap mauquf (ditangguhkan pembicaraannya dan diserahkan kepada pribadi masing-masing) atau dianggap dharurat (dipaksakan kepada mereka oleh lingkungan yang berkuasa) dan praktis akhirnya dihadapi secara biasa. MAKA kalau penentangan kepada bank merupakan reaksi resmi, agaknya karena kurang adanya penggodogan fikiran keagamaan mengenai hal-hal modern di kalangan Syi'ah di sana. Setidak-tidaknya itu dikesankan oleh penentangan mereka terhadap program emansipasi wanita yang akan diefektifkan Syah, sepanjang berarti persamaan kesempatan kerja, pendidikan dan hak memilih. Bahkan tuntutan muslimin di sini agar wanita tidak menanggalkan purdah yang menutup seluruh muka, yang sering dituding sebagai lambang perbudakan perempuan oleh laki-laki -- meski sama sekali tidak berarti lambang kesengsaraan mereka -- barangkali hanya bisa disamakan daya kejutnya dengan tuntutan kelompok kecil ekstrim di Mesir beberapa waktu yang lalu, At-Takfir wal Hijrah, agar Parlemen mengeluarkan undang-undang hukuman mati bagi orang muslim yang murtad. Untuk melihat ini mungkin perlu ditengok sejarah. Ketika di awal 1925 Dinasti Qajar di Persia berada di titik keruntuhannya, Ridha Khan bekas perwira tentara Kosak, mengangkat dirinya sebagai Perdana Menteri untuk menyelamatkan keadaan. Ia tampil dengan dukungan Majlis, yakni MPR yang dibentuk 1906 di zaman Nashiruddin Syah, dan lestari sampai sekarang. Waktu itu. terdapat arus ,7an kuat untuk menjadikan Persia sebuah republik, dengan Ridha sebagai presiden. Tetapi tantangan keras datang dari para ulama. Dikejar oleh bayangan Kemal Attaturk di Turki yang menumbangkan khalifah Dinasti Utsmani (dan dengan demikian menghabisi sistim khilafat dalam sejarah), dan serentak dengan itu "menghapuskan Islam,"kaumulama Iran memilih untuk tetap tinggal dalam sebuah kerajaan -- dengan Ridha Khan sebagai raja. Demikianlah pada Oktober tahun itu Majlis mengumumkan berakhirnya daulat Wangsa Qajar dan berikutnya, April 1926, muncul raja baru dengan nama Ridha Syah Pahlawi -- ayah Syah Muhammad Ridha yang sekarang, penegak wangsa ke-10 sejak Cyrus Yang Agung 2.000 tahun lalu. Tak urung yang terjadi adalah halhal yang ditakutkan ulama. Di tahun 1928 Syah yang mereka dukung itu mengganti peradilan agama yang berlaku dengan sistim peradilan Perancis-dan diefektifkan sejak 1935. Kekuasaan para mullah dikebiri bersama dengan para kepala suku. Di tahun 1935 juga dibuka kantor-kantor perkawinan sipil. Purdah bagi kaum perempuan dihapuskan secara drastis. Seluruh negeri dibuka dan pembangunan dilancarkan besar-besaran terpenting misalnya pembukaan jalan kereta api lintas Iran. Syah memerintah dengan kekuatan tentara, dan dalam praktek ia adalah perluasan dari Kemal Attaturk dalam skala besar. Barangkali itu juga sebabnya mengapa para ayatullah menolak liberalisasi politik yang ditawarkan Syah sekarang. Syah sendiri menganggap monarki otokratis yang digenggamnya selama ini tidak akan dapat dipertahankan untuk kurun selanjutnya. Memang ada putera mahkota, juga bernama Ridha, yang sekarang berumur 21 dan diharapkannya tetap memegang kendali dinasti yang tidak terganggu gugat. api masa depan perlu diberikan kekuasaan lebih besar kepada rakyat untuk ikut memerintah. Namun para ulama mungkin tidak percaya. Atau tidak mengerti. Atau lebih tepat sudah serta merta menolak sistim Barat apapun namanya, sementara mereka sendiri tidak boleh dikatakan siap memasuki kompetisi terbuka. Ajaibkah bahwa di Iran, di mana yang bisa ikut memerintah hanyalah mereka yang berada di dalam atau dekat dengan lingkaran putih (Istana), di mana suara oposisi selama ini dibungkam, hingga seorang pejabat dari Partai Rastakhiz (satu-satunya partai politik yang diakui sampai beberapa waktu yang lalu) menyatakan keheranannya mengapa rakyat ribut, sementara pembangunan berjalan pesat? Memang, mereka tak punya alat penduga. Sampai beberapa waktu yang lalu Syah masih mengatakan kedudukannya terlalu tinggi untuk "melayani tuntutan para pembuat onar". Sementara itu diteriakkan bahwa yang dihadapi rakyat sebenarnya adalah korupsi, kebruta]an tentara, kecongkakan penguasa dan immoralitas. Penggantian kalender Hijrah dengan Kalender Kerajaan misalnya (sejak dua tahun lalu, di bawah Perdana Menteri Amir Abbas Huwaidah), yang sudah tentu menyinggung perasaan kaum ulama, dilakukan dengan paksa. Hampir-hampir tak ada pilihan, Pemerintah sama sekali abai untuk memberi kesempatan warganegaranya sendiri tetap menggunakan tanggal-tanggal yang banyak hubungannya dengan ibadat itu. Bahkan koran-koran, selain kantor-kantor, diwajibkan hanya memakai kalender imperial yang bermula dari Maharaja Cyrus, entah dengan tujuan apa. Dan pengangkatan Ja'far Syarif Imami, yang menggantikan Jamsyid Amuzegar sebagai Perdana Menteri, memperlihatkan hal-hal yang memang dirasakan banyak orang. Selain memberi banyak konsesi kepada umat Muslimin (dan terpenting adalah pengembalian kalender), ia berjanji untuk menilldas korupsi dan membatasi pengeluaran boros berbagai departemen. Tetpi jalan-jalan sudah bergolak. Pikiran-pikiran moderat, yang biasanya mencoba mengerti keadaan lebih dari satu segi dan menjadi jembatan antar kalangan, dan istimewa adalah fikiran Islam modern, tak punya iklim tumbuh dalam negeri di mana pers dikekang dengan kuat. Sekarang bahkan gadis-gadis mahasiswa banyak yang mengenakan purdah penutup muka kembali. Mungkin karena tekanan "dari bawah". Tapi sebagiannya karena memang sengaja mengidentikkan diri dengan rakyat bawah yang tak diakui. "Islam sangat kuat," kata Ayatullah Syari'at Madari akhirnya, di pangkalannya di mana bendera hitam dipancangkan di kubah mesjid, "lebih kuat dari yang diduga Pemerintah." Dall itulah sebabnya Pemerirrtah merasa pcrlu menghadapi kericuhan dengan membuka mahkamah-mahkamah militer dan menggiring tank ke jalanjalan raya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus