Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Agama (Wamenag) Muhammad Syafi’i mengatakan, terdapat kemungkinan sekolah diliburkan selama bulan puasa pada Ramadan 2025. Namun, dia menyebut wacana itu belum dibahas secara lebih lanjut di internal Kementerian Agama (Kemenag).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sudah ada wacana,” kata Syafi’i kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin, 30 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, Syafi’i mengatakan, wacana meliburkan sekolah selama satu bulan pelaksanaan ibadah puasa umat Muslim itu belum dibahas dalam Kemenag.
Sebelumnya, para siswa akan mendapat libur selama tiga hari pertama Ramadan. Libur awal puasa untuk anak sekolah diatur oleh Dinas Pendidikan dan kebijakan masing-masing sekolah.
Sementara itu, berdasarkan Surat Keputusan Bersama atau SKB 3 Menteri, pada 2025 mendatang akan ada 27 hari libur, terdiri dari 17 hari untuk tanggal merah/libur nasional dan 10 hari untuk libur cuti bersama. Tidak tercantum adanya libur puasa Ramadan 2025.
Merujuk Kalender Hijriyah Global Tunggal 1446 H Muhammadiyah, 1 Ramadhan 1446 Hijriah atau awal puasa Ramadan diperkirakan akan jatuh pada Sabtu, 1 Maret 2025. Sementara berdasarkan SKB 3 Menteri, 1 Syawal 1446 H atau Idulfitri 2025 diperkirakan akan jatuh pada Senin, 31 Maret 2025.
Di era kolonial
Melansir laman museumkepresidenan.id, kebijakan meliburkan sekolah selama bulan Ramadan pernah diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Saat itu, mereka meliburkan sekolah binaannya dari tingkat dasar atau Hollandsch Inlandsche School (HIS) hingga tingkat menengah ke atas, yakni Hogere Burgerschool (HBS) dan Algemeene Middelbare School (AMS).
Kebijakan ini terus dijalankan hingga masa pemerintahan Presiden Sukarno. Saat itu, pemerintah menjadwalkan ulang serta menghentikan sementara kegiatan-kegiatan resmi dan tidak resmi. Hal ini bertujuan agar umat Muslim dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusyuk.
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto, pemerintah menghentikan kebijakan libur satu bulan penuh saat puasa.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan masa itu, Daoed Jusuf, berpendapat bahwa pelaksanaan libur puasa secara penuh merupakan kebijakan pembodohan yang dilakukan pemerintah kolonial. Dia pun mengeluarkan Surat Keputusan P dan K Nomor 0211/U/1978 yang berisi imbauan pada masyarakat untuk tetap mengisi kegiatan pada waktu libur.
Kebijakan yang dikeluarkan Daoed Jusuf ini menuai protes dari sejumlah pihak, salah satunya Majelis Ulama Indonesia (MUI). Akibatnya, di masa itu sebagian sekolah Islam tetap meliburkan siswanya selama satu bulan.
Libur selama satu bulan penuh selama bulan puasa juga pernah dirasakan oleh para siswa pada masa pemerintahan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Kebijakan ini dikeluarkan Gus Dur pada Ramadan 1999.
Selain meliburkan sekolah selama sebulan penuh, Gus Dur juga mengimbau sekolah-sekolah membuat kegiatan pesantren kilat. Tujuannya, agar para siswa dapat lebih fokus untuk belajar agama Islam. Pada momen ini, para sekolah juga meminta siswanya untuk melaporkan kegiatan ibadah selama Ramadan, seperti tadarus hingga tarawih.
Rizki Dewi Ayu dan Alfitria Nefi P berkontribusi dalam penulisan artikel ini.