DI ujung Timur Indonesia, dua kapal jenis LST akan berada di
tengah laut lepas pekan ini. Berlayar antara P. Buru dan
Surabaya, isinya 1.500 tahanan G-30-S. Mereka telah dibebaskan.
Mereka menuju Jawa.
Di ujung Barat Indonesia, hari Selasa yang sauna ketika kapal
itu bertolak, suatu upacara pembebasan berlangsung pula.
Kaskopkamtib Sudomo, disaksikan oleh sejumlah dutabesar asing
dan wartawan yang datang di Tanjung Kasau, Asahan menyambut
kira-kira 500 tahanan yang dilepas di Sumatera Utara.
Serentak dengan itu di seluruh Indonesia sejumlah besar tahanan
pun dikeluarkan dari kurungan mereka yang lama setelah rata-rata
10 tahun. Di Sumatera ada 2.968 orang, di Kalimantan 2 177,
Sulawesi 1615, Jawa 904, Maluku 513, Nusa Tenggara 299 dan Irian
Jaya 24.
20 Desember mungkin akan tercatat sebagai hari paling
spektakuler untuk urusan ini. Jumlah 10.000 adalah angka
tertinggi yang pernah sekaligus dibebaskan selama ini, bagi
tahanan yang disebut sebagai "golongan B". Setahun yang silarn,
menurut keterangan resmi, hanya 2.500 yang dilepas. Di tahun
1975 lebih sedikit lagi: 1309. Kini sisa tahanan G-30-S tinggal
19.791.
Statistik, dalam perkara ini, meman suatu soal yang perlu
direpotkan. Di luar negeri, lewat siaran gerakan Amnesti
Internasional, Indonesia dituduh sebagai negeri yang punya
"tahanan politik" berjumlah terbesar di dunia. Dalam taksiran
Amnesti Internasional sampai pertengahan tahun ini, banyaknya
orang yang ditahan tanpa proses pengadilan di Indonesia mungkin
mencapai 100.000.
Tak jelas bagaimana Amnesti menemukan angka gajah itu.
Barangkali, untuk dapat dukungan luas pendapat umum, jumlah itu
telah mereka dramatiskan. Dalam kenyataan, mengumpulkan
statistik tahanan G-30-S sama sekali tidak mudah. Bekas Jaksa
Agung Sugih Arto pernah dikutip mengatakan, kepada para wartawan
asing di Jakarta, September 1971: "Mustahil untuk menyebut
berapa persisnya jumlah tahanan politik. Angka itu mengapung,
seperti kurs yen terhadap dolar".
Tapi kurs yen pun sewaktu-waktu dapat diukur, dan demikian
jumlah tahanan. Apalagi, seperti dikatakan Presiden Soeharto,
masalah tahanan adalah "salah satu masalah nasional". Untuk
penyelesaiannya, suatu angka yang akurat harus ada. Untunglah
akhirnya pemerintah berhasil menyatakan secara pasti bahwa
jumlah itu ada sekitar 30.000 -- setelah di antara 1971-1972
lebih dari 500.000 tahanan "golongan C" dibebaskan. Betapapun
sulitnya mengetahui angka-angka tahanan yang ada pada pelbagai
penguasa lokal di seluruh Indonesia, kini satu patokan tentang
besarnya masalah nampaknya telah dapat dijadikan pegangan.
Kemudian soalnya ialah apa yang bisa dilakukan dengan sisa-dari
yang sekitar 30.000 itu. Menurut siaran pers Kopkamtib 17
Desember yang lalu. 10.000 orang lagi akan dibebaskan tahun
depan. Sisanya akan dilepas tahun 1979.
Agak lanjut ialah keterangan Let.Kol. Marsigit dari G-S
(Teritorial) Hankam kepada TEMP0 dalam perjalanan untuk upacara
pembebasan di P.Buru akhir pekan lalu. Menurut Let.Kol. Marsigit
sisa tahanan yang ada terdiri dari "golongan "A", "B" dan "Y",
tahanan baru yang belum diklasifikasikan. Dari "golongan A" -
sekitar 1600 - ada yang akan dimajukan ke pengadilan. Diharap
akhir 1978 proses pengadilan itu bisa selesai. Yang tak
memenuhi syarat untuk ke pengadilan, akan "diturunkan ke
klasifikasi B", kata Marsigit pula.
Dengan penjelasan semacam itu buat pertama kalinya tampak secara
lebih jelas bagi masyarakat Indonesia dan luar negeri, jalan apa
yang akan ditempuh Pemerintah untuk penyelesaian soal tahanan
ini. Dan terutama bagi para tahanan sendiri serta keluarga
mereka. Bagi mereka ini, istilah "penyelesaian" selama
bertahun-tahun sering mereka dengar - tapi artinya bisa
macam-macam. "Penyelesaian," kata seorang bekas tahanan, "bisa
berarti dibebaskan atau cuma dipindah ke tempat lain."
Pemerintah, khususnya yang mengurusi bidang keamanan. nampaknya
memang harus mencoba "penyelesaian" yang macam-macam itu
terlebih dulu. Ada kekhawatiran yang kuat dan meluas bahwa bila
penyelesaian itu berarti pembebasan risiko keamanan terlampau
berat. Jika para tahanan "golongan B" dibebaskan begitu saja
jauh-jauh hari dulu, karena tak cukup bukti untuk dihukum lewat
pengadilan. mereka -banyak di antaranya tokoh - dikhawatirkan
dapat membentuk gerakan baru.
Setelah Peristiwa Madiun dan 17 tahun kemudian Peristiwa
(estapu, begitu alasan yang lazim dikemukakan, kita tak mau
gerakan komunis timbul lagi dan menguasai Indonesia - apalagi
dengan dendam. Seorang perwira Hankam pekan lalu bahkan
mengingatkan pengalaman negara-negara tetangga di Asia Tenggara
belakangan ini.
Di saunping itu ada juga alasan sempitnya lapangan kerja bagi
mereka jika dibebaskan. Alasan ini mungkin tak begitu kuat,
mengingat jumlah seluruh tahanan sejak 1965 - katakanlah lebih
dari setengah juta - secara relatif tak banyak berpengaruh pada
jumlah angkatan kerja yang di Jawa saja selama tahun ini sudah
bertambah kira-kira 11 juta. Betapa pun, tiadanya lapangan kerja
bagi bekas tahanan itu memang bisa menimbulkan masalah keamanan
juga - siapa tallu bukan sekedar dalaun bentuk kriminalitas.
Mungkin karena itu Pemerintah kemudian membangun '~tempat-tempat
pemukiman". Menurut siaran resmi Kopkamtib, telah disiapkan
16 pemukiman di seluruh Indonesia. Buat seorang bekas tahanan
dan keluarganya disediakan sebuah rumah dan 20.00n MÿFD tanah
untuk pertanian.
Kaskopkamtib Sudomo sendiri dalam bulan Nopember yang lalu
datang meninjau tempat pemukiman di Sibira, Sidikalang, Sumatera
Utara dan ke Ambarawang (40 Km dari Balikpapan) di Kal-Tim dan
Buntok di Kal-Teng. Dalam satu kesempatan, kepada Camat
Balikpapan Timur yang dikunjunginya secara mendadak, Sudomo
bertanya: "Siapkah saudara-saudara menerirna mereka?" Camat,
didampingi Koramil dan Dansek, secara serempak menjawab sanggup.
Tapi Gubernur Wahab Syahrani, yang hadir dalam pertemuan itu,
segera menyambung: "Yah, kalau jumlahnya sedikit gampang."
MASALAHNYA, kata Gubernur, ialah soal lapangan kerja. "Di
sini banyak perusahaan yang takut menerima pegawai dari bekas
tahanan," katanya pula, "karena tak mau dapat kesulitan
akibatnya."
Syahrani benar, dan mungkin justru sebab itu ia perlu
melaksanakan pesan Sudomo bahwa penolakan seperti itu tak boleh
terjadi (lihat Wawancara). Masalahnya ialah dari Kopkamtib
sendiri ada ketentuan bahwa masuknya mereka ke tempat kerja
tertentu tak diizinkan. Mereka dilarang dari kepegawaian negeri
dan ABRI, dan juga dari perusahaan swasta "yang vital". Sampai
sejauh mana sebuah perusahaan disebut "vital", nampaknya belum
jelas. Hampir semua bekas tahanan yang diwawancarai TEMPO, yang
sudah bekerja di perusahaan swasta, merasa bahwa posisinya belum
pasti.
Di Yogya, misalnya, seorang insinyur berumur 47 tahun bebas dua
tahun yang lalu. Ia kini bekerja di sebuah perusahaan batik.
Waktu ia dibebaskan setelah 10 tahun ditahan ("Mengapa saya
ditahan, tanyakan pada penguasa," katanya), ia tak merasa
canggung. Teman dan famili menyambutnya gembira. Tapi ia minta
agar narnanya jangan disebut-sebut: demi kelangsungan hidup. Ia
punya 3 anak.
Di Yogya pula ada seorang bekas tahanan "golongan C" kini buruh
perusahaan kayu - yang tetap ingin menyembunyikan riwayatnya.
Dan di Jakarta, seorang penulis bekas anggota LEKRA yang ditahan
hampir 10 tahun dan kini ahli tusukjarum tetap masih ragu buat
mengungkapkan status bekas tahanan yang melekat pada dirinya. Ia
malah belum mau mengirimkan karya sastranya dengan memakai
namanya sendiri. Padahal sastrawan bekas tahanan seperti Dodong
Djiwapradja dan Sitor Situmorang bisa menulis tanpa larangan.
Memang berat nampaknya rintangall psikologis bagi seorang yang
pernah ditahan begitu lamg untuh merasa jadi orang yang terjamin
tak akan digusur dari lapangan kerjanya. Tapi, sementara itu
seperti diakui si ahli tusukjarum, "sebenarnya masyarakat tak
sulit menerima bekas tahanan kembali." Ia sendiri misalnya
dengan lancar mengurus KTP-nya.
Tapi sambutan paling dermawan kepada para bekas tahanan agaknya
ditunjukkan di tarik ke di Lau Sibira, desa dikecamatan
Sidikalang, kabupaten Dairi di Sumatera Utara. Desa ini 27 Km
dari kecamatan, dan 200 Km dari Medan, setelah lewat jalan
sepanjang di kabupaten Tanah Karo. Di daerah dingin ini, yang
terletak di dataran tinggi Bukit Barisan di bagian bumi yang
subur kopi 600 hektar tanah disiapkan untuk para bekas tahanan
yang mau tinggal. 250 hektar di antaranya sudah ditraktor buat
daerah pertanian. Dan nampaknya, seperti dilihat oleh
koresponden TEMPO Zakaria M. Passe, "Sibira bukanlah Siberia".
Laporannya:
Sampai saat ini di Sibira hanya ada 7 kepala keluarga. Ketuanya
seorang kepala lorong, Alfons M. Sagala, 55 tahun. Atas nama
keluarga ia beberapa waktu yang lalu sepakat untuk menyerahkan
sebagian tanah mereka buat penampungan bekas tahanan G-30-S.
Desa itu minus manusia. Sagala, yang mengepalai "marga silima",
berharap sanak familinya terbuka hati menampung kedatangan warga
baru itu. Alfons yang sederhana itu meyakinkan kepada
Kaskopkamtib Sudomo yang berkunjung ke sana 16 Nopember yang
lalu, bahwa tanah di Parikke subur. "Di sini kita bisa panen
kopi 2 kali setahun, pak," katanya. "Rata-rata dari hasil kopi
sebulan bisa kumpul duit Rp 20.000." Sudomo gembira. Ia
mengundang Sagala dengan tiket gratis ke Jakarta.
Itu tidak berarti bahwa penerimaan serupa saja di seluruh
Indonesia. Koresponden TEMPO di Samarinda, Dahlan Iskan, punya
cerita agak lain dari Ambarawang Laut (penduduk: 1020), Kal-Tim.
Kompleks pemukiman yang disiapkan oleh para tahanan untuk mereka
yang bebas kelak terletak 4 Km dari sini. Menurut Kepala
Kampung, Syahran, 46 tahun, kedatangan para bekas tahanan itu
tak akan merupakan masalah. Tapi ia merlgatakan kini masyarakat
tak bisa lagi mengambil kayu ulin atau kayu sirap untuk bahan
bangunan. Karena itu Syahran mengusulkan kepada Camat agar
ditentukan segera batas lokasi pemukiman itu.
DI desa tetangganya. Ambara wang Darat (penduduk: 592),
masalah yang mirip dialami rakyat. Kata Damid Haji, kepala
kampung: "Dulu 60% penduduk pekerjaannya cari kayu, kini beralih
jadi petani." Damid bahkan prihatin kalau terjadi iri hati di
hati rakyatnya, setelah melihat warga pemukiman "dibina", sedang
mereka sendin tidak. "Kalau di sini bikin tambak," kata Damid
waktu ia mengunjungi pusat pemukiman "di kampung juga harus
bikin tambak - mestinya begitu."
Damid mengaku pernah diminta oleh Camat agar memberi tanu
warganya bahwa di daerah yang termasuk HPH Inhutani ini sekarang
ditempati "tahanan PKI". Menurut Damid, ini dimaksudkan agar
penduduk jangan ke daerah itu. Kalau ke sana harus dengan izin.
Penduduk umumnya memang tak berkepentingan ke sana. Bagaimana
kelak? Damin dan Syahran berharap nantinya industri
penggergajian yang dimiliki tempat pemukiman para bekas tahanan
itu bisa ikut membantu karnpung sekitarnya yang umumnya memang
terdiri dari rumah rumbia dengan papan tak beraturan .
Singkatnya, ada semacam rasa iri di samping keinginan bekerja
sama. Hal itu mungkin karena tak seluruh masalah sosial bisa
dipersiapkan oleh Pemerintah dalam menghadapi pembebasan para
tahanan itu. Bahkan di beberapa daerah. DPRD setempat tidak
sampai diberi tahu. "Seyogyanya." kata Sutardjo Surjogaritno,
Wakil Ketua II DPRD Daerah Istimewa Yogya, "karena masalah eks
tapol itu menyangkut masyarakat, maka DPRD perlu diberitahu."
Sutardjo bahkan herpendapat, bahwa pembebasan tahanan itu jangan
dilakukan Desember ini, melainkan setelah Sidang Umum MPR Maret
1978. Pendapat yang sama terdengar di Surabaya. Ketua Umum
Majelis Ulama Daerah Tingkat II Surabaya, K.H. Moenawar
Djaelani, juga menilai pilihan waktu pembebasan itu tak tepat.
Ia juga menyarankan penglepasan itu setelah Maret tahun depan.
AGAK berbeda ialah pendapat Ketua DPRD Tk. I Jawa Timur, Blegoh
Soemarto. Meskipun seperti halnya Majelis Ulama setempat, DPRD
juga belum pernah diajak berunding tentang kembalinya bekas
tahanan G-30-S, namun Blegoh menganggap "baik saja" penglepasan
20 Desember ini. Harus ada pembedaan yang tegas antara ideologi
komunis dan orangnya, katanya. Ideologi komunis itu yang
merupakan bahaya "latent", namun penganutnya harus kita usahakan
menyadari kesalahannya. Sebab, kata Blegoh pula, "kalau tidak
begitu sentimen itu habisnya kapall'?" Ia-tak menghendaki
"sentimen" (rasa benci -- Red.) turun temurun.
Di Jakarta, anggota DPR Yusuf Hasyim (Fraksi PPP) juga
mengatakan: "Bagaimana pun mereka adalah keluarga kita juga."
Keluar dari seorang tokoh lslam yang di hari-hari sekitar
Peristiwa G-30-S dulu harus banyak bentrok dengan orang-orang
PKI, ucapan Yusuf Hasyirm agaknya menunjukkan gejala yang
disebut K.H. Moenawar Djaelani: "masyarakat umumnya telah hampir
dapat melupakan peristiwa buruk tahun 1965 yang lalu itu."
Yusuf Hasyim bahkan menginginkan agar hak-hak para tahanan itu
dipulihkan sebagai warganegara, diberi perlindungan agar jangan
jadi alat atau diperas wltuk tujuan politik serta komersiil.
"Dan kalau memang tah ada alasan dibawa ke pengadilan, harus
dibebaskan," katanya lagi. Sebagai tokoh pesantren, ia juga
menawarkan kepada pemerintah: lembaga masyarakat seperti
pesantren perlu diajak serta, sebab "kami bersedia menerima
mereka yang berkepala batu."
Ringkasnya, ia setuju pembebasan tahanan G-30-S kini. Sebab,
menurut Yusuf, mereka tak blsa ditahan terus menerus tanpa
penyelesaian hukum. Penahanan itu sendiri merupakan beban yang
cukup berat buat rakyat: biaya makan, uang petugas, tempat
penahanan dan lain-lain. Dan akhirnya: image atau gambaran wajah
Indonesia di luar negeri juga jadi buruk, seolah-olah republik
ini adalah sebuah penjara besar.
Semua itu memang sudah agak lama merisaukan kalangan pemerintah.
Seorang diplomat senior Indonesia yang banyak menyaksikan
kecaman tentang pelaksanaan hak-hak asasi di Indonesia dalam
tugasnya di luar negeri berkesimpulan: "Semakin lama, masalah
tahanan G-30-S itu semakin kontra-produktif."
Ketika Indonesia harus membangun dengan bantuan luar negeri,
kecerewetan Carter mengenai jaminan akan hakhak asasi rakyat
memang merepotkan. Meskipun tidak berarti bahwa karena desakan
orang luarlah maka Pemerintah kali ini tergerak membebaskan
tahanan G-30-S. Setidaknya, kalangan Pemerintah dengan keras
membantah hal itu.
Bagi orang Indonesia, memang lebih baik begitu. Hak-hak asasi
akan lebih terjamin jika cukup kuat komitmen dari pemerintah dan
masyarakat sendiri untuk menjaganya -- bukan karena todongan
dari luar. Dan tumbuhnya komjtmen itu nampak belakangan ini.
Para mahasiswa memperingati hari Hak-Hak Asasi Manusia antara
lain dengan mendalangi penjara (lihat hal. 10). Dan pemerintah
sendiri misalnya dapat pujian dari Liga Internasional bagi
Hak-hak Asasi Manusia dua pekan yang lalu: Indonesia termasuk
dalam 6 negara yang telah membuat kemajuan.
Kemajuan itu nampak juga dalam perlakuan di ruman-rumah tahanan,
selama dua tiga tahun terakhir. Di tahuntahun sebelumnya, karena
biaya terbatas, kondisi makanan misalnya cukup menyedihkan.
Seorang bekas tahanan di Jakarta bercerita betapa tanpa kiriman
nasi dan lauk dari luar, hidup bisa gawat betul. "Daging tikus
ternyata enak," katanya. Seorang tahanan dari Pekalongan yang
pernah di Nusa Kambangan, Abu, 47 tahun, juga bisa bercerita
tentang pengalamannya: "Saya pernah makan klabang, kera, ular
dan segala daun. Yang paling enak biji pohon karet."
Rumah tahanan di Indonesia nampaknya memang tempat pembuktian
bagaimana manusia bisa meneruskan hidup dari kondisi yang paling
celaka. Namun banyak hal tergantung pada kebijaksanaan komandan
setempat. Syachran R., pembantu TEMPO di Banjarmasin, yang
mengunjungi tempat tahanan "golongan B " di Pleihari, Kab. Tanah
Laut, melaporkan bahwa keadaan cukup lumayan di situ:
Di sini ada pesawat TV. Dari situ para tahanan dapat hiburan.
Mereka hanya tak boleh mendengarkan warta berita, terutama Dunia
Dalam Berita. Yusuf, 37, salah seorang tahanan, bekas guru dari
Lampihong, telah berada di sini 12 tahun. "Selama di tahanan ini
saya dapat dua anak," katanya. Bagaimana mungkin? Rupanya,
seperti diterangkan Let.Kol. Ateng Wahyudi, Asisten V dari
Lambung Mangkurat, pihak Laksusda memahami kebutuhan biologis
tahanan. Mereka boleh "dengan" isteri mereka.
Para tahanan tak jarang dapat pesanan pekerjaan bertukang
membuat rumah untuk penduduk di Pleihari. Dari situ mereka dapat
uang belanja dan sesekali ganti pakaian. Mereka bebas pergi ke
pasar. Ijin sudah, sonder pengawal. Untuk lari, mereka tahu apa
akibatnya. Di bulan-bulan pertama dalam tahanan mereka
menyatakan kenyang di "permak" -- kata lain untuk "dipukuli"
tapi kini tak ada lagi.
Tapi yang nampaknya disukai Laksamana Sudomo sebagai tempat yang
baik -- hingga dipilih jadi tempat upacara penglepasan 20
Desember yang lalu ialah tempat tahanan di Tanjung Kasau. Di
sini ada 1.311 tahanan, di antaranya 38 wanita. Terletak di
kabupaten Asahan, di tahun 50-an ini dulu asrarna pendidikan
kepolisian. Komandannya Kepala Inrehab, adalah Letda Munirsyah.
Di luas 5,4 hektar, ada 31 buah barak di sini, kebanyakan
beratap genteng sebagian lagi seng. Salah satu barak
dipergunakan untuk tempat menginap keluara tahlan yang
berkunjung. Meski hanya diurus oleh 14 tenaga para tahanan
nampak tertib. Mereka mengukir kerajinan tangan dari kayu
jelatung. Melalui sebuah toko yang disediakan dibarak, hasil
kerajinan itu dijual keluar lewat agen-agen yang datang ke sana.
Tak jelas berapa jumlah uang yang beredar di dalam Inrehab ini.
Tapi sebuah meja ukiran kabarnya bisa berharga sampai Rp 30
ribu. Ada pula barak tukang jahit, penjual kopi, dan orang yang
beternak ayam. Seorang tahanan mengaku pada TEMPO bahwa ia
bisa menabung dan mengirim uang ke keluarga. Ada yang menabung
dengan membeli emas.
Yang unik. di sini ada 42 anak-anak. Paling tinggi usianya 14
tahun. Mereka anak dari suami-isteri yang bercerai karena salah
satu ditahan, dan kini ikut dengan orangtua yang dalam kamp.
Anak-anak ini bersekolah. Biaya? Dari hasil penjualan kerajinan
tangan orang tua.
Yang agak sukar ialah pengobatan. Seorang tahanan berbisik:
"Pengobatan di sini agak gawat, pak." Seorang tahanan yang
sakit. tanpa dibantu dari luar oleh famili, bisa parah. Tapi
menurut Munirsyah, dalam laporan kepada Sudomo yang berkunjung
Nopember yang lalu, seorang dokter belum lama ini ditugaskan di
sana di samping seorang mantri.
Suatu tempat tahanan yang ideal? Sedikitnya, dibandingkan
dengan rumah tahanan di Medan, yang di Jl. Gandhi, misalnya.
Tanjung Kasau bukanlah tempat seram. Seorang tahanan mengakui,
tempo hari pemukiman masih ada. "Kalau salah sedikit,
paaaanggg!", katanya. Tapi sejak ganti komandan tak ada lagi
pemukulan.
Tapi betapapun baiknya sebuah rumah tahanan, tak dengan
sendirinya ia bisa menghapuskan ketidak-adilan manakala seorang
yang tak bersalah ditahan selama bertahun-tahun. Tentu saja
orang harus berhati-hati untuk memakai kata "tak bersalah". Tapi
begitu juga perlu berhati-hati untuk menilai seorang manusia
sebagai "bersalah". Seorang bekas tahanan misalnya, bercerita,
bahwa pembantunya - anak belasan tahun dari udik - ikut ditahan
selama 10 tahun. Anak itu cuma terdapat mengantarkan surat, atas
suruhan majikannya."
Sulit, tentu, untuk membuktikan benar atau tidaknya cerita itu.
Dan mungkin juga tak penting lagi. Kini pemerintah telah setahap
demi setahap membebaskan para tahanan yang tak bisa dibawa ke
pengadilan. Mereka diberi keleluasaan untuk tinggal di tempat
pemukiman, secara sukarela, kalau mau. Dengan itu dibuktikan,
bahwa selain pertimbangan keamanan, pertimbangan hukum dan
perikemanusiaan masih berlaku di sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini