Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Mengapa menjadi gerakan politik

Umat islam di negeri-negeri jajahan terdesak oleh penguasa barat atau pribumi yang dekat dengan barat. bisa dipahami bila islam kemudian nampak lebih sebagai gerakan sosial politik melawan keterdesakan.

24 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM usia muda, 24, Jalaluddin Rumi menggantikan ayahnya: jadi guru theologi. Tapi pada tanggal 30 Nopember 1944, tiga belas tahun setelah itu, muncullah di daerah Rum (kini: Anatolia) di Asia Kecil itu seorang tokoh lain. Namanya Shamsuddin. Ia orang dari Tabriz. Lelaki yang datang tiba-tiba ini dua tahun kemudian menghilang pula tiba-tiba. Ia dibunuh. Ada yang mengatakan ia mirip Sokrates: mengguncang keyakinan orang dengan pertanyaan demi pertanyaan yang mendasar, agar orang bebas dari kebekuan doktrin. Ada yang mengatakan ia adalah darwish (sufi) pengembara, yang memikat Jalaluddin ke dalam persahabatan mistik. Jalaluddin memang ternyata tergerak olehnya. Mungkin ia sendiri telah punya kecenderungan sufi sejak lama. Apa pun sebabnya, setelah pertemuan dengan Shamsuddin dari Tabriz, Jalaluddin meninggalkan tugasnya mengajar theologi formal. Ia jadi penyair, sufi besar yang menulis sajak mistik berpuluh ribu kuplet. Orang mengatakan Rumi bersajak seraya menari. Orang mengatakan puisinya bangkit oleh nafiri dan gendang, bunyi palu pandai besi dan kincir air. Orang mengatakan Rumi sering berkunjung ke Meram, untuk menikmati alam bersama para muridnya. Yang menarik ialah bahwa di antara muridnya ada orang Nasrani dan Yahudi. Dalam Fihi ma fihi, kumpulan catatan percakapan Jalaluddin, ada satu bagian yang bercerita bagaimana orang-orang bukan Muslim ikut menangis, terbawa perasaan oleh kata-kata sang guru. Kenapa demikian, seorang murid bertanya. "Toh setiap orang mengakui ke-Esa-an Tuhan," jawab sang guru. "Tak tahukah engkau," tanyanya pula, "bahwa banyak jalan menuju Ka'abah?" Itu tak berarti bahwa "semua agama sama saja." Namun seperti dikatakan dalam Sufi Essays (1972) oleh Seyyed Hossein Nasr, "kunci yang diperlukan untuk membuka pintu ke arah suatu pertemuan sejati dengan agama-agama lain sudah disediakan oleh Sufisme." Itu sepanjang menyangkut tradisi Islam. Sayangnya, setidaknya menurut sarjana kelahiran Teheran yang banyak memperkenalkan Islam ke dunia Barat itu, sejak abad ke-18 Sufisme sering ditolak sendiri oleh gerakan Islam puritan yang rasionalis dan anti-mistik. Dunia Islam terdesak oleh peradaban Barat, dan semua itu -- menurut kalangan Islam modernis-akibat Sufisme. Maka gerakan anti-mistik itu pun, kata Nasr, mencoba menghidupkan kembali Islam dengan menanggalkan segi spirituil dan metafisiknya. Umat Islam di negeri-negeri bekas jajahan memang terdesak, baik oleh penguasa Barat atau "orang atas" pribumi yang lebih dekat dengan Barat itu. Atau Islam jadBtempat berhimpun gerakan rakyat yang tak puas dalam menghadapi para bendoro yang, bersama bir, bedil dan belanda, naik kereta megah kekuasaan. Sejarawan Sartono Kartodirdjo, misalnya, bisa bicara panjang tentang bagaimana para kiyai di Jawa memimpin protes si jelata. Maka bisa difahami jika Islam kemudian nampak lebih sebagai gerakan sosial politik, mencoba melawan keterdesakan. Maka bisa dicatat bagaimana kesatuan, kekuatan, massa, militansi -- semua itu jadi kebajikan baru. Yang agak pudar dalam suasana begitu ialah wajah kehidupan beragama yang tersenyum tulus, yang bisa mengerti -- seperti Rumi -- "banyak jalan menuju Ka'bah." Ketika perlawanan jadi hal terpenting, orang lazim bersikap: "siapa yang tak bersama kami adalah musuh kami." Ada semacam hawa totaliter di situ. Maka berdosakah yang mengingatkan, agar kehidupan beragama tidak digerakkan dengan hanya semangat'pakaian seragam"? Tidakkah di zaman ini diperlukan dialektik antara kecenderungan "gerakan massa" dengan kecenderungan yang sehat dari Sufisme -- yakni yang menekankan makna "pribadi" dalam perhubungan kita dengan Tuhan? Setidak-tidaknya karena di depan-Nya kita tak mempertanggungjawabkan dosa secara massal. "Kamu akan datang kepada Kami satu-satu, seperti Kami ciptakan kamu dahulu" --Qur'an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus