GELAR kesarjanaan ternyata bisa ditawar. Suatu hari, demikian
cerita Hariadi Supangkat, rektor ITB, datang beberapa lulusan
FMIPA (Fakultas Matematik dan Ilmu Pengetahuan Alam). "Mereka
tanya, apakah boleh memakai gelar insinyur," kata rektor
bergelar doktor itu. Ternyata menurut alumni FMIPA-ITB itu, di
perusahaan tempat mereka bekerja yang bergelar insinyur mendapat
gaji lebih tinggi. Para lulusan FMIPA-ITB sendiri sejak dulu
memakai gelar Drs. atau Doctorandus itu.
Tapi para alumni FMIPA itu tak salah. Hampir 38 tahun merdeka
gelar-gelar kesarjanaan memang belum mempunyai ketetapan hukum.
Karena itu dalam pertemuan menteri P & K dan aparat Ditjen
Pendidikan Tinggi dua pekan lalu, dibicarakan pula rencana
"penertiban gelar kesarjanaan." Soalnya dari sejumlah gelar,
baru sarjana hukum (S.H.) yang berkekuatan hukum dengan
Keputusan Presiden No. 265 tahun 1962.
Memang harus diakui, pada awal kemerdekaan, perguruan tinggi di
Indonesia lebih kurang merupakan kelanjutan perguruan tinggi di
zaman Hindia-Belanda. "Dulu hanya dikenal empat gelar
kesarjanaan," kata Doddy Tisna Amidjaja Dirjen Pendidikan
Tinggi. "Dan penggunaannya sudah tertentu. Yaitu Mr. atau
Meester in de Rechten untuk lulusan fakultas hukum. Ir. atau
ingenieur, yang kemudian diindonesiakan menjadi insinyur, untuk
lulusan fakultas teknik. Dr. atau dokter untuk fakultas
kedokteran. Dan, Drs. atau doctorandus untuk lulusan fakultas
ekonomi." Dan itu semua, merupakan peniruan mentah-mentah gelar
yang ada di Negeri Belanda. Dan itulah yang kemudian sampai
sekarang dijadikan pedoman pemberian gelar oleh
fakultas-fakultas di Indonesia.
"Padahal gelar kesarjanaan tidak universal sifatnya," tambah
Doddy. "Masingmasing negara mempunyai gelar kesarjanaannya
sendiri. Di Jerman, misalnya, sarjana hukum disebut diplom yura.
Yang universal cuma gelar doktor."
Dan sebenarnya sudah sejak 1950-an para cerdik-pandai berupaya
mengindonesiakan gelar kesarjanaan. Prof. Notonegoro, almarhum,
guru besar Fakultas Hukum UGM, tahun 1949 pernah mengusulkan hal
itu. Lalu di zaman Menteri P & K Mashuri yang punya titel
sarjana hukum, gagasan itu kembali ramai dibicarakan. "Tapi
waktu itu banyak kalangan perguruan tinggi yang tidak setuju
mengindonesiakan gelar-gelar impor itu," tutur Pembantu Rektor I
UGM, Busono. "Maka, ya, gagasan itu mentah lagi."
Gelar impor atau domestik yang pasti bila gelar kesarjanaan
dipakai seenaknya, menurut Hariadi Supangkat, "bisa memberikan
indikasi yang kabur." Itulah mengapa rektor ITB ini menolak
permintaan alumni FMIPA yang minta gelar Ir. "Sebab FMIPA itu
menyiapkan calon ilmuwan untuk mengembangkan ilmu-ilmu dasar,
bukan mendidik calon insinyur yang lebih banyak mempelajari ilmu
terapan," tambahnya.
Pemberian gelar yang membingungkan itu bisa dilihat, misalnya,
pada Institut Ilmu Al-Quran di Jakarta yang memberi lulusannya
gelar Master of Art (M.A). Tapi institut yang berdiri sejak
tahun 1977 itu punya alasan. "Pendidikan di sini 6 tahun,
mengikuti sistem perguruan tinggi luar negeri," kata Prof. K.H.
Ibrahim Husen, Rektornya. "Maka kami memberikan gelar M.A. dan
bukan sekadar Drs. yang lama pendidikannya hanya sekitar 4« tahun
itu."
Tidak jelas apa hubungannya antara lamanya masa pendidikan dan
gelar. Tapi lulusan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK),
misalnya, praktis mereka menempuh pendidikan 6 tahun (di Akabri
Kepolisian 4 tahun, di PTIK 2 tahun). Toh, mereka cukup puas
memakai gelar Drs. Dan itu pun, seperti Drs-Drs. yang lain,
sebenarnya tak diketahui asal-usul pemakaiannya. Sebab dalam
ijazah PTIK, hanya dicantumkan istilah "sarjana ilmu
kepolisian". Kata Prof. Dr. Harsja Bachtiar, dekan PTIK: "Tapi
istilah 'sarjana ilmu kepolisian' dianggap kurang gagah, maka
dipakailah gelar Drs." Yang sebenarnya Drs. berarti calon doktor
-- alias gelar yang belum lengkap.
Jadi apa ceritanya kini, kalau Ditjen Pendidikan Tinggi berani
menyusun konsep "penertiban gelar" itu? Seperti diketahui, mulai
1968 perguruan tinggi Indonesia menyelenggarakan dua jalur
pendidikan. Yaitu jalur gelar dan jalur nongelar atau program
diploma.
Jalur pertama untuk menyiapkan tenaga yang berpotensi
mengembangkan ilmu dan teknologi. Yang kedua, lebih menyiapkan
tenaga ahli yang siap menangani segi-segi praktis ilmu dan
teknologi. "Untuk memberikan gambaran dua hal itulah perlunya
penertiban gelar," kata Doddy Tisna Amidjaja. Selain itu memang
ada tujuan-tujuan praktis yang lain, ialah untuk memudahkan
penggolongan dalam kepegawai-negerian.
Maka tahun ini diharapkan keluar Peraturan Pemerintah yang
mengatur gelar kesarjanaan. Akan tiada lagi Drs dan Ir. Cukup
dengan Sarjana Ekonomi, Sarjana Sastra, Sarjana Ilmu Komunikasi
Masa, Sarjana Teknik Sipil, dan lain sebagainya. Untuk gelar
doktor dan dokter, mungkin tak akan berubah. Dan bagi mahasiswa
program diploma akan ada empat kategori: ahli, ahli madya, ahli
muda, dan ahli pembantu. Jadi, misalnya, akan ada sebutan Ahli
Madya Arsitektur, atau Ahli Sastra Inggris. Yang masih menjadi
masalah ialah gelar lulusan fakultas pasca sarjana. Beberapa
perguruan tinggi, IPB misalnya, memberikan gelar lulusan fak.
pasca sarjananya dengan Magister. "Tapi itu kurang tepat, karena
magister di luar negeri sama dengan tingkat sarjana. Padahal
maksudnya di atas sarjana kata Doddy. Istilah yang disetujui,
untuk gelar jenjang di atas sarjana ini ialah Acaria. "Itu
usul para ahli bahasa, yang menurut mereka artinya kira-kira
'yang diatas sarjana' begitu," tambah Doddy lagi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini