SURAT keterangan dokter, yang menyatakan terdakwa sakit dan
perlu perawatan, sering-sering membuat petugas pengusut atau
penuntut "gigit jari". Beberapa tersangka penyeludupan, tahanan
"902", termasuk mendiang Liem Keng Eng menikmati "fasilitas
itu". Penyelundup lain malah sempat buron ke luar negeri dengan
meninggalkan kursi roda serta surat dokternya. Dan tiba-tiba,
bulan ini, kejaksaan merasa kehilangan seorang tersangka perkara
korupsi reboisasi: Kepala Dinas Pertanian Yogyakarta, Ir. Yusri
Zakaria, yang diizinkan berobat ke dokter.
"Saya akan melacak ke mana pun ia pergi," kata Asisten Operasi
Kejaksanaan Tinggi DI Yogyakarta, H. Sianturi, awal bulan ini.
Ternyata orang yang akan dilacaknya tidak berada jauh -- masih
berada di Yogyakarta. Tapi untuk mengusutnya, tunggu dulu. Yusri
tengah dirawat para psikiater karena gangguan jiwa. Sampai pekan
lalu, ia masih dalam status berobat jalan.
Bekas kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan itu, "merasa takut
kepada orang berseragam cokelat-cokelat atau yang bertampang
seram," ujar psikiater dr. Soemardi Prawirodiprojo, yang pernah
merawat Yusri di RS Puri Nirmala, Sleman, Yogyakarta.
Yusri dituduh bersama penggantinya, Ir. Hadi Martono yang
sekarang tengah diadili di Ujungpandang, ikut bertanggung jawab
atas menguapnya anggaran reboisasi di Sul-Sel, sebesar Rp 7
milyar. Untuk pengusutan itu, ia diperiksa Asisten Intel Kajati
Sul-Sel, Sarman Damanik, 14 Maret lalu di Kejaksaan Agung.
Selesai diperiksa, Yusri jatuh sakit, kemudian dirawat di RS
Puri Nirmala. Hampir sebulan kemudian Yusri diizinkan
beristirahat di rumah oleh para dokter yang merawatnya.
Sekarang, "ia sudah sembuh sosial," ujar dr. Soeyono
Prawirohardjo, ketua tim dokter yang merawatnya.
Tapi, di pihak lain, ternyata kejaksaan merasa sulit menghubungi
Yusri -- bahkan kehilangan jejak. Kejaksaan merasa dirintangi
para dokter untuk menemui Yusri di rumah sakit. Setelah
tersangka istirahat di rumah pun, Sianturi, petugas kejaksaan,
tidak diperkenankan untuk menemui oleh keluarganya. "Rumahnya
tertutup terus," ujar Sianturi kepada Kompas.
Tim dokter membantah keras. "Pasien itu masuk ke rumah sakit
karena sakit, bukan mau bersembunyi. Kalau mau bersembunyi ia
bisa ke masjid atau ke DPR, di tempat itu menurut KUHAP, ia
tidak bisa diganggu," ujar Soeyono Prawirohardjo.
Soeyono menyatakan, selama Yusri dalam perawatannya, sering
didatangi petugas yang ingin memeriksanya. "Karena pasien itu
bukan tahanan, saya melarang mereka menemui. Apalagi mereka
datang tanpa surat tugas," ujar Soeyono lagi. Menurut Soeyono,
bagi yang memahami KUHAP seharusnya tidak usah kaget menghadapi
sikapnya, karena ada ketentuan untuk menangguhkan pemeriksaan
terhadap tersangka yang menderita gangguan fisik dan mental.
Anggota tim dokter lainnya, Soemardi, menerangkan bahwa Yusri
menderita anxiety depression, kecemasan jiwa, yang dikhawatirkan
bisa bunuh diri. Ketika dalam perawatan, katanya, Yusri hanya
menunjukkan gejala mengalami trauma: takut kepada orang-orang
berseragam cokelat.
Soemardi mengenal Yusri, pertama kali, ketika pasien itu datang
ke tempat prakteknya awal Maret, lima hari menjelang diperiksa
jaksa. Pasien itu mengaku susah tidur, tidak enak makan, dan
merasa lemah. "Pria itu matanya berkaca-kaca ketika menceritakan
penderitaannya," kata Soemardi. Saat itu, Soemardi hanya
memberikan obat penenang dan antidepresi, sebelum Yusri
berangkat memenuhi panggilan Kejaksaan Agung.
Sekembali dari Jakarta, Yusri datang lagi. Kali ini pasien itu
didampingi pembelanya, Azhar Achmad, serta surat pengantar dari
dr. Mikail Bharja, direktur RS Saraf dan Jiwa Dharmasakti,
Jakarta. Menurut surat Mikail, pasien itu menderita agitated
depression, yaitu perasaan susah, bingung, dan sedih.
Mempertimbangkan keterangan sejawatnya itulah kemudian yang
memperkuat putusan Soemardi merawat Yusri di RS Puri Nirmala.
Secara hukum, apa boleh buat, tersangka berada "di bawah
perlindungan" surat dokter.
Dengan demikian Azhar Achmad pun punya alasan menyesali
cara-cara jaksa mengusut kliennya itu: Yusri diperiksa Jaksa
Sarman Damanik dalam keadaan sakit. Bahkan Sarman, menurut
Azhar, memeriksa Yusri selama enam jam terus menerus dengan
istirahat hanya untuk makan siang dan salat. Lalu, tanpa setahu
kejaksaan, Azhar membawa Yusri ke Yogya dan menyerahkannya ke RS
Puri Nirmala, 18 Maret. Pengacara itu merasa tidak bersalah atas
tindakannya itu dan juga tidak merasa menyembunyikan kliennya
itu. "Ia kan bukan tahanan," katanya.
Yusri Zakaria, 50 tahun, yang sekarang beristirahat di rumahnya
di Jalan Melati Yogyakarta, kepada TEMPO mengaku tidak pernah ke
mana-mana. "Saya hanya keluar untuk kontrol dokter tiga kali
seminggu," kata ayah dari 4 orang anak itu. Bertubuh agak gemuk,
kulit kuning, ia kelihatan pucat. Ia, katanya, tidak masuk kerja
karena sakit, sejak 28 Februari, beberapa hari setelah dilantik
menjadi kepala Dinas Pertanian Yogyakarta.
Pernah kuliah di Fakultas Pertanian UGM, Yusri menamatkan
pendidikannya di Kanada, 1961. Ia tidak bersedia mengungkapkan
kasus korupsi reboisasi di bekas tempat tugasnya itu. "Kalau
saya ungkapkan, ceritanya panjang dan bisa membuka front," ujar
Yusri yang mengharapkan suatu ketika masyarakat melihat bukti
bahwa ia tidak bersalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini