Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gempa yang mengguncang Yog-ya-karta dan Jawa Tengah sudah dua bulan berlalu, tapi kerusakan yang ditimbulkannya belum sirna. Reruntuhan masih terlihat di kanan-kiri jalan yang menghubungkan Kecamatan Pundong dan Imogiri di Bantul, Yogya. Warga korban gempa masih tinggal di rumah-rumah darurat berdinding anyaman bambu yang berderet sepanjang jalan.
Di sudut jalan, seorang pemuda bercu-curan keringat mengais-ngais puing ru-mahnya. Pagi itu Nurya berusaha mengumpulkan batu bata, kusen dan genting yang masih bisa dipakai. Dia berharap bantuan pemerintah segera turun sehingga rumahnya bisa dibangun lagi. Sehari-hari warga Pundong ini masih tinggal di gubuk bambu yang didirikan persis di depan reruntuhan rumahnya.
Tidak ada kepastian apakah Nurya akan mendapat bantuan dari pemerintah. Apalagi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (Bakornas) dan pemerintah Kabupaten Bantul masih bersengketa soal berapa jumlah rumah rusak yang perlu dibangun kembali di kabupaten itu. Persoalan muncul setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Bakornas membeberkan ada-nya kejanggalan jumlah rumah yang rusak, dua pekan lalu.
Bupati Bantul, Idham Samawi, mencatat jumlah rumah rusak di wilayah-nya yang berhak mendapat dana re-ha-bilitasi mencapai 144 ribu lebih. Se-bagian runtuh, sisanya rusak berat. Ang-ka itu disetujui Sekretaris Daerah Provinsi Yogyakarta, Bambang Susanto Priyohadi, yang membubuhkan tanda tangannya di data rekapitulasi korban gempa Yogyakarta per 24 Juli. Adapun rumah yang rusak ringan di kabupaten itu mencapai 63 ribu.
Persoalannya, Bakornas punya hitung-an berbeda. Menurut Deputi Ketua Bakornas, Budi Atmadi Adiputro, jumlah rumah roboh dan rusak berat di Kabupaten Bantul hanya sekitar 78 ribu. ”Angka itu yang akan dapat bantuan dana pembangunan rumah,” katanya di Jakarta pekan lalu.
Dari mana selisih 66 ribu rumah itu muncul? Menurut Budi, perbedaan angka korban versi berbagai instansi adalah hal yang lumrah dalam penanganan bencana alam. ”Pendataan awal biasa-nya agak tergesa karena situasi darurat menuntut tindakan cepat,” katanya.
Selisih itu bisa pula timbul karena tenggat pendataan tidak ditaati. Awal Juni lalu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie sudah meminta pendataan rumah korban gempa rampung pada 10 Juni. ”Tenggat itu dipatuhi pemerintah Jawa Te-ngah, tapi Yogya tidak menaatinya,” kata Budi. Akibatnya, data kerusakan akibat bencana jadi simpang-siur.
Penyebab lain, kriteria rumah yang dikategorikan rusak ringan, rusak berat dan roboh tak dipahami secara seragam di lapangan. Ambil contoh rumah Satria Adinugraha, warga Desa Pendowoharjo, Kecamatan Sewon, Bantul. Ketika pertama kali didata petugas kelurahan, rumahnya dikategorikan rusak berat. Atap teras rumahnya memang ambrol, juga langit-langit di bagian dalam. Sebagian dindingnya pun retak.
Selang dua pekan, saat diperiksa ulang tim Bakornas yang membagikan dana jaminan hidup, rumahnya turun tingkat masuk kategori rusak ringan. Dia tak lagi berhak dapat dana rehabilitasi rumah. Mengingat kantongnya sudah cekak, ”Ya sudah, sementara rumah saya cukup ditopang batang bambu,” kata Satria.
Kerusakan rumah Satria memang tidak memenuhi kriteria rumah rusak berat yang dirilis Bakornas. Menurut Budi, rumah dikategorikan rusak berat jika sebagian komponen struktur rumah patah sehingga rumah tidak layak huni sama sekali. ”Ada indikasi pendataan rumah rusak di lapangan digampangkan begitu saja,” katanya.
Sebelumnya, pemerintah pusat dan para bupati di Yogyakarta juga sempat tak akur soal data jumlah korban yang berhak mendapat dana jaminan hidup. Angka 2,1 juta korban versi pemerintah daerah dipangkas Bakornas jadi 1,6 juta. Masalah ini selesai setelah peme-rintah daerah setuju ikut menanggung dana jaminan hidup.
Tinggallah data jumlah rumah r-usak berat yang belum beres. Gubernur Yog-yakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengakui data kerusakan akibat gempa Yogya terus merangkak naik, tapi itu bukan tanpa alasan. ”Misalnya ada rumah yang sudah didata, lalu kena gempa susulan, ya kerusakan tambah berat,” katanya pada wartawan Tempo, Heru Catur Nugroho, di kantornya pekan lalu. Sekarang, dia menjamin tak akan ada perubahan lagi. ”Kalau ada data baru, dananya akan jadi beban pemerintah daerah,” katanya.
Kendati telah ada jaminan gubernur, Nurya tidak mau terlalu banyak berharap pada pemerintah. Orang Bantul ini sudah menanti terlalu lama. ”Kini saya mulai mengumpulkan uang sendiri untuk memperbaiki rumah,” ujarnya.
Wahyu Dhyatmika, Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo