Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mari Uji Bahasa Indonesia Kita

Tes akan digunakan dalam perekrutan pegawai. Juga menjadi syarat bagi orang asing yang akan belajar atau bekerja di Indonesia.

7 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ruang kelas hening. Seluruh siswa kelas satu, Jurusan Penjual-an 1 SMK (Sekolah Mene-ngah Kejuruan) Negeri 1 Surabaya, berkonsentrasi mendengarkan sebuah ka-set rekaman. Isinya perbincangan dua orang yang tak mampu melafalkan e lemah (seperti dalam telah) dan e keras (seperti dalam enak) dengan baik. Ibu Guru, Erlina Piliang, bertanya, ”Orang dari suku mana yang sedang berbincang-bincang?” Segera para siswa berteriak, ”Batak!”

Mendadak kelas jadi riuh. Ruddy Widjanarko, Kepala Sekolah SMK 1, menyatakan muridnya selalu bersemangat saat membahas materi Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI). Sekolah ini memang sudah tiga tahun terakhir menjadi lahan uji coba pelaksanaan uji kemahiran bahasa Indonesia. Siti, seorang siswa kelas satu, menilai metode UKBI cukup membantu untuk mengenali bahasa Indonesia secara lengkap. ”Tidak membosankan. Tidak selalu harus guru yang menjelaskan,” katanya.

Secara umum, UKBI adalah sebuah model tes yang mirip TOEFL (Tes Bahasa Inggris sebagai Bahasa Asing). Pekan lalu, pemerintah secara resmi meluncurkan penggunaan UKBI. Tujuannya, ”Untuk mengukur kemampuan berbahasa Indonesia,” ujar Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Apa sih pentingnya tes ini? Menurut Dendy, UKBI penting karena bahasa Indonesia memang harus terus-menerus dikembangkan. Melalui UKBI, sejauh mana pemahaman kita terhadap bahasa Indonesia akan diketahui. Dengan demikian, perbaikan bisa dilakukan, dan mutu penggunaan bahasa juga akan terus meningkat.

Sejauh ini, banyak lembaga telah diminta atau menawarkan diri menjadi penyelenggara uji kemahiran. Ada sekolah menengah kejuruan, balai bahasa di 22 provinsi, juga beberapa perguruan tinggi. ”Bahkan ada lembaga di Si-ngapura yang menawarkan diri untuk melakukan uji kemahiran bagi orang asing yang akan ke Indonesia,” kata Dendy.

Sosialisasi keberadaan UKBI memang perlu dilakukan. Pada masa mendatang, kata Dendy, uji kemahiran ini diharapkan akan menjadi instrumen penting dalam penerimaan pegawai, baik ne-geri maupun swasta. Bahkan, UKBI juga bisa menjadi syarat bagi orang a-sing yang akan belajar atau bekerja di Indonesia. Standar nilai yang diperlukan akan diserahkan kepada institusi yang bersangkutan.

Pusat Bahasa pun telah berbincang dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang hal ini. Mereka akan mengupayakan penerapan UKBI sebagai persyaratan bagi orang asing yang akan bekerja di Indonesia ketika perdagangan bebas Asia-Pasifik dimulai, tahun 2010 mendatang. Selain untuk kepentingan profesionalisme, ”Supaya bahasa Indonesia tidak hilang karena globalisasi,” Dendy mengungkapkan. Namun, untuk sekarang ini, UKBI belum ditetapkan sebagai persyaratan apa pun. ”Terserah kepada institusi masing-masing,” kata Dendy.

James Teo, mahasiswa Fakultas Tek-nik Universitas Nasional Singapura, se-tuju dengan adanya tes ini. ”Mahasis-wa asing yang mau kuliah di Indonesia tapi tidak bisa berbahasa Indonesia pasti akan mengalami kesulitan,” kata pria yang sedang mengikuti pelatihan baha-sa Indonesia di Inculs (Indonesian La-nguage and Cultural Learning Service), Fa-kultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, ini. Tapi, ada say-rat-nya. ”Pelaksanaan dan standar UKBI ha-rus dibuat sebaik-baiknya,” kata Teo.

Lalu, apakah hanya pegawai baru, orang asing, pelajar, dan mahasiswa yang membutuhkan UKBI? Tentu tidak. ”Tes ini juga penting untuk semua orang,” Dendy memaparkan. Para pejabat, tokoh partai, dan kalangan profesional termasuk yang wajib meningkatkan kemampuan berbahasa. Perkelahian di kalangan anggota DPR, Dendy mencontohkan, adalah akibat kurangnya kemampuan menggunakan bahasa verbal dengan baik.

Joko Nurkamto, Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Pengembangan Bahasa, Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, juga sependapat. ”Saya banyak bergaul dengan mahasiswa pascasarjana, peja-bat, dan tokoh-tokoh lainnya. Ketika membuat tulisan,” kata Joko, ”bahasa mereka pating pletot (berantakan).”

Purwani D. Prabandari, Sunudyantoro, Syaiful Amin, Imron Rosyid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus