KAMIS sore 14 Mei sekitar pukul 16.00 itu telepon di kantor
Dansek Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang Jawa Timur,
berdering. Peneleponnya Pos Sentral Pengawas Banjir Semeru di
Gunung Sawur. "Mereka memberitahu air Kali Besuksat naik
setinggi 2 meter," Dansek Lettu A. Bastari mengisahkan.
Dua jam kemudian datang berita lanjutan: hujan tetap deras dan
air Kali Besuksat telah naik setinggi 4,5 meter. "Saya curiga.
Masak belum sampai 2 jam air naik sampai 2,5 meter," tutur
Bastari. Segera dihubunginya Mansjur, Camat Candipuro. Keduanya
kemudian berkeliling mengamati kemungkinan bahaya banjir.
Tatkala pada sekitar pukul 19.00 mereka sampai Dukuh Sumbersari
yang terletak di baratlaut Candipuro, tampak banyak penduduk
berlarian. Camat Mansjur yang belum mengerti situasi
menghentikan mereka dan menasihati supaya tenang. "Tenang
bagaimana Pak, lha suara di atas bergemuruh begitu," sebagian
penduduk membantah dengan sengit.
"Ya, suaranya seperti ratusan tank datang menyerbu," ujar
Bastari. Suara itulah yang rupanya menyadarkan penduduk akan
bahaya. Dan daltm suasanapanik pengungsian pun terjadi.
Misdi, 50 tahun, penduduk Dukuh Sumbersari termasuk yang pertama
mengungsi. Mula-mula digendongnya anaknya Sutiman, 10 tahun,
kemudian diajaknya istrinya serta beberapa tetangga menyeberang
Kali Gelapan ke daerah yang lebih tinggi di sebelah selatan
Sumbersari. Dua kali ia kembali lagi untuk mengajak tetangga
yang lain mengungsi.
Ia nyaris terhanyut oleh lumpur yang membanjir datang tatkala
kembali untuk ketiga kalinya guna menyelamatkan sapinya yang
seekor. Beruntung ia berhasil memanjat pohon nyiur. Ceritanya:
"Hujan masih deras dan angin bertiup kencang. Ketika banjir
lumpur datang tubuh saya berguncang-guncang keras karena
nyiurnya bergoyang-goyang."
Misdi melihat bagaimana banjir lumpur itu dalam tiga kali
gelombang menyerbu dan mengubur desanya. Sekitar pukul 01.00
tatkala keadaan dirasanya sudah aman, barulah Misdi turun dan
melintasi lumpur setinggi lehernya untuk tiba di daerah yang
aman.
Akibat bencana itu dahsyat: sampai Senin siang lalu 192 orang
dinyatakan tewas, 186 hilang, 39 luka berat, 370 rumah hancur,
sekitar 2.500 penduduk diungsikan. Ada 15 desa di 4 Kecamatan
Candipuro, Pasirian, Tempeh dan Sendugo yang tersapu bah. Yang
terparah Dukuh Sumbersari, Desa Penggal, Kecamatan Candipuro.
Tanggul Leces dan Kertosari yang melindungi Kota Lumajang jebol
dan sekitar 8,5 km saluran tersier di daerah Kertosari teruruk
lumpur. Ratusan hektar sawah, kebun kopi kelapa dan cengkih
amblas.
Lapuk
Banjir lumpur yang melanda lereng timur Gunung Semeru itu memang
tak diduga sebab biasanya yang terserang adalah lereng tenggara.
Namun ini bukan bencana yang pertama. Banjir pernah pula melanda
lereng timur ini. Pada 1909 banjir bandang melanda Kali Besuksat
dan mengakibatkan 208 orang tewas dan 1.449 dinyatakan hilang.
Hujan lebat dituding sebagai penyebab bencana pekan lalu. "Curah
hujan lokal di lereng timur Semeru yang mencapai 300 mm lebih
setiap empat jam Kamis sore lalu itu merupakan penyebab banjir,"
tutur Soeparman, pimpinan Proyek Semeru. Biasanya air hujan yang
menggenang di sisi atas Bukit Leker, anak Gunung Semeru, di
ketinggian 2.500 meter merembes dan mengalir ke Kali Besuksat di
bawahnya.
Namun akibat konsentrasi hujan yang tinggi Kamis sore lalu,
kedudukan Bukit Leker menjadi labil, daya rembes lebih kecil
dibanding aliran hujan dari atas. Lantas longsorlah bukit yang
luasnya sekitar 150 hektar itu. Untung 3,3 juta meter kubik
endapan lahar di hulu penyalur lahar paling timur Gunung Semeru
-- yang pernah dikhawatirkan longsor -- tidak terjadi.
Menurut Dirjen ' Pertambangan Umum Prof. Dr. J.A. Katili bencana
yang terjadi pekan lalu itu merupakan gejala alamiah yang tidak
bisa dihindari. "Di Bukit Leker itu ada pohon-pohonan yang lapuk
akar-akarnya dalam periode 50 sampai 70 tahunan dan bisa
mengakibatkan longsor," ujarnya Senin lalu. Bencana terakhir
terjadi pada 1909 dan rupanya setelah sekitar 70 tahun akar
pohon-pohon di Bukit Leker lapuk, lebih lagi karena hujan deras
yang pekan lalu melanda.
Sejak Sabtu siang lalu lokasi bencana itu ramai dikunjungi
ribuan orang. Gubernur Jawa Timur Soenandar Sabtu sore lalu
mendampingi Menteri Pekerjaan Umum Purnomosidi, yang sedang di
Ja-Tim meninjau daerah bencana. Berbagai usaha telah dilakukan
untuk mengatasi bencana dan menghindari bencana mendatang.
Antara lain pengosongan wilayah yang dianggap bahaya. Untuk itu
Suwandi, Bupati Lumajang, telah minta pada Perhutani agar
bersedia tukar menukar tanah dengan tanah pemukiman penduduk
yang terancam. "Pada prinsipnya pihak Perhutani sudah setuju,"
kata Suwandi.
Akan hal biayanya, seperti kata Menteri Purnomosidi "tak usah
dipersoalkan sebab yang harus diutamakan penyelamatan manusia.
Jangan sampai pekerjaan gagal karena alasan tak ada uang."
Menteri minta agar sebelum 20 Mei rencana rehabilitasi jalan,
irigasi dan pemukiman sudah sampai di tangannya.
Bantuan uang dan beras terus mengalir dari berbagai pihak.
Menteri Sosial Sapardjo Senin sore lalu meninjau daerah bencana
juga menjanjikan akan membangun 500 "rumah tumbuh", berukuran 3
x 7 meter masing-masing dengan biaya Rp 250.000 buat mereka yang
kena musibah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini