BARANGKALI Kanjeng Gusti Pangeran Ario Adipati (K.G.P.A.) Mangkunagoro IX merasa bosan pada posisi bertahan. Ia ingin balik menyerang. Maka, ia menggelar rapat khusus di Bale Peni Pura Mangkunegaran, Solo, Senin pekan silam. Rapat itu membuahkan putusan yang mengagetkan: membubarkan Himpunan Kerabat Mangkunegaran Suryosumirat (HKMNS), organisasi yang menopang eksistensi pura di jantung Kota Solo itu. Mangkunagoro (MN) IX rupanya memilih konflik terbuka. Padahal sumber keuangan pura, berupa deposito dana abadi Rp 3 miliar dan pengelolaan Hotel Dana milik Mangkunegaran di Jalan Slamet Riyadi, Solo, ada di bawah kontrol HKMNS. Kalau saja aliran dana disetop total, MN IX bisa kelabakan harus membiayai pemeliharaan pura dan menggaji 200 abdi dalem yang bekerja di pura tua itu. Tapi MN IX telanjur merasa terusik. HKMN Suryosumirat tak berhenti mendesaknya agar turun dari kursi pengageng pura sekaligus pelindung organisasi trah (keturunan) darah biru itu. Desakan itu serius sebab dituangkan dalam putusan Musyawarah Besar HKMNS di Solo, Juli tahun lalu. Sebagai pengganti (pengageng yang baru), diangkatlah Gusti Raden Ayu Nurul Kamaril Kusumowardani, kini 72 tahun, putri MN VII. HKMN Suryosumirat menganggap MN IX tak beres mengurus istana dan segala isi serta misinya sebagai salah satu cagar budaya Jawa. Cekcok terus berkepanjangan. Di antara mereka ada yang mengadu kepada Presiden Soeharto. Maklum, Nyonya Tien Soeharto terhitung kerabat dekat Mangkunegaran. Lewat Pangdam Diponegoro Mayor Jenderal Soejono, Pak Harto urun rembuk. Pak Harto, kata Soejono, berpesan agar MN IX menghormati keinginan para sesepuh HKMN Suryosumirat untuk ikut menata Pura Mangkunegaran. "Tapi omongan saya ditafsirkan mendepak Mangkunagoro. Padahal bukan begitu," ujar Soejono. Mangkunegaran sendiri pernah terancam bangkrut. Empat tahun lalu, pura ini tak mampu membayar rekening listrik yang bertumpuk sampai Rp 36 juta. Mangkunegaran Palace Hotel, salah satu sumber keuangan pura, telah bangkrut. Berkat lobi HKMNS, awal 1990, Pemerintah menghibahkan Rp 3 miliar sebagai dana abadi. Hotel Dana, yang dulunya dikelola Pemerintah, diserahkan ke Mangkunegaran. Hotel itu dibangun di atas tanah Mangkunegaran. Di luar bangunan pura, aset Mangkunegaran yang berharga tinggal Hotel Dana, yang empat tahun lalu harganya ditaksir Rp 6 miliar. Selebihnya hanya sebuah vila dan beberapa petak tanah yang nilainya tak lebih dari Rp 1 miliar. Sulit dikatakan bahwa kemelut di dalam pura penggalan Mataram itu bermotifkan harta. Kendati begitu, pura tua itu dianggap masih punya nilai prestise. Maka, pura ini masih potensial memicu pertengkaran. Sekalipun pembubaran tadi dianggap tak berdasar karena yang membubarkan ormas mestinya kongres atau pemerintah, tampaknya MN IX masih kuat. Ia didukung sejumlah sesepuh, di antaranya Kanjeng Pangeran Haryo (K.P.H.) Mayor Jenderal (Purn.) Ibnoe Hartomo. Mayjen Soejono mengakui, urusan Mangkunegaran itu adalah kasus keluarga yang rumit. Ia menyarankan, keputusan menendang MN IX ditinjau. "Perlu ada musyawarah luar biasa," ujarnya. Rupanya, mendongkel raja, betapapun ia tak berharta, tak berkuasa, dan tak berprajurit, tetap saja bukan soal sepele. PTH, DPW (Jakarta), dan KR (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini