SUDAH delapan bulan peristiwa Sampang berlalu. Orang hampir melupakan peristiwa yang menyebabkan empat nyawa melayang oleh pelor aparat keamanan itu. Tiba-tiba, Senin dan Selasa pekan lalu, 20 warga Sampang -- termasuk wanita dan anak-anak -- muncul di Jakarta dengan menumpang bus dari Madura. Mengaku mewakili 870 warga senasib, mereka mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Bantuan Hukum, dan Departemen Dalam Negeri. Warga Sampang itu mendesak Pemerintah mengadili orang yang bertanggung jawab atas penembakan yang menewaskan empat warga mereka. Mereka juga mendesak agar rencana pembangunan waduk Nipah dihentikan sampai pengadilan yang mereka tuntut selesai. "Nyawa ayam saja kalau hilang dipersoalkan. Ini nyawa empat orang, masa didiamkan saja, Pak," kata Madroi kepada Sekjen Komnas HAM Baharuddin Lopa. Sayang, Lopa maupun Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Feisal Tamin -- yang menerima delegasi di Departemen Dalam Negeri -- hanya bisa berjanji meneruskan keluhan itu. Memang, demonstrasi berdarah itu menyebabkan komandan kodim, kapolres, dan pejabat keamanan di bawahnya dicopot. Mereka dianggap bertanggung jawab atas peristiwa itu. Tapi mereka belum diadili. Sedangkan Bupati Sampang Kolonel Bagus Hinayana tetap aman di kursinya. Padahal, disebut-sebut, sang bupati itulah yang meminta aparat keamanan mem-back-up pengukuran tanah sehingga mengundang unjuk rasa. Tapi yang meresahkan penduduk, seperti diungkapkan delegasi tadi, setelah insiden, pembebasan tanah terus berjalan. Warga yang belum setuju atas pembangunan waduk di areal seluas 170 hektare itu mengalami tekanan. Nama penduduk yang tak menyetujui pembebasan dicatat. Bahkan ada aparat desa yang mengancam akan membunuh warga yang bandel. "Mereka mengancam, kalau kami tak setuju, tanah diambil tanpa ganti rugi," kata Madroi. Berbagai isu pun dikembangkan. Ada berita, 207 warga di suatu desa telah menyetujui pembebasan. Setelah dicek, ternyata bohong. Khadori, warga Desa Tolang, misalnya, disebutkan sudah menerima ganti rugi tanahnya. Ternyata, berita itu isapan jempol. "Tanah ini tak dijual meski berapa pun. Biar saja terendam air waduk," kata Khadori kepada K. Candra Negara dari TEMPO. Malah tokoh karismatis Sampang, Kiai Alawy Muhammad, diisukan menerima uang Rp 150 juta dari pejabat. Tentu kiai itu membantah. Semua isu itu amat merisaukan dan memecah belah masyarakat. Nyatanya, baru sebagian kecil tanah yang dapat dibebaskan. Akhirnya, karena merasa ditekan terus, delegasi tadi pun berangkat ke Jakarta. Sebenarnya, menurut Kiai Alawy Muhammad, persoalan ini sederhana. "Pembangunan waduk Nipah tak perlu dipaksakan bila rakyat tak mau," kata pemimpin pesantren At-Taroqi ini.Indrawan, Bambang H. Sujatmoko, dan Zed Abidin (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini