MEREKA tak menolak ganti rugi seperti di Sampang. "Tapi, kalau ganti ruginya kecil begini, jangan-jangan akan terjadi peristiwa Nipah kedua, di sini. Soalnya, yang diambil itu adalah nafkah kami," kata Mukron, penggarap sawah di Desa Karang Satria, Kecamatan Tambun, Bekasi, Jawa Barat. Awal bulan ini, Mukron dan 126 rekannya mengadu ke DPRD Bekasi, memprotes uang pejengjeuh (ganti rugi) yang hanya Rp 300 per meter. Apa pantas? Kisah bermula saat tanah kas desa seluas 90 hektare -- yang selama ini disewa penduduk -- akan dipakai PT Aneka Berkat Sukses untuk perumahan. Lokasinya strategis. Pemda melego tanah itu dengan alasan petani penyewa alias penggarap itu sering tak membayar sewa tanah. Selain itu, alasan biasa, demi menyesuaikan kawasan itu dengan perkembangan kota. "Sebagai pemilik, pemerintah desa berhak menjualnya," kata H. Dede Satibi, salah seorang pejabat di Kantor Bupati Bekasi. Lagi pula, kata pejabat itu, mereka akan membeli sawah baru, sehingga penggarap dapat kembali menyewanya. Padahal soalnya tak sesederhana itu. Bagi para penggarap, penjualan tanah itu kepada developer berarti mematikan asap di dapur mereka. Selama ini penggarap cukup tertolong dengan areal itu, sawah yang subur, lagi beririgasi. Dalam setahun, mereka bisa panen tiga kali, padi dan palawija. Pada tahun 1980, para petani Karang Satria menjuarai kontak tani se-Provinsi Jawa Barat. Tapi yang lebih penting untuk para petani itu adalah uang ganti rugi yang setimpal. Mereka khawatir akan mengalami nasib yang sama dengan penggarap sawah kas desa di Telukpucung, tetangga mereka, yang diganti rugi hanya Rp 15 per meter. Di daerah itu, 7.000 hektare sawah berpengairan teknis sudah ludes untuk pabrik dan permukiman. Bekasi -- di pinggiran Jakarta -- memang lahan yang subur untuk lokasi pabrik dan permukiman. Kekhawatiran mereka terbukti. Akhir April lalu, mereka dipanggil ke aula desa untuk menerima ganti rugi yang besarnya hanya Rp 300 per meter. "Saya yang anggota LKMD tak pernah diajak berembuk," kata Mukron. Betulkah mereka sering ingkar membayar sewa seperti yang dituduhkan aparat? Para penggarap itu membantah. Syukri, yang menyewa 1 ha sawah, mengaku membayar 8 kuintal padi serta pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 50.000 setiap tahun. Begitu pula temannya yang lain.Indrawan dan Bambang H. Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini