Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setara Insitute mengkritik fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah ihwal anjuran memilih calon kepala daerah seakidah dan memperjuangkan kepentingan syiar Islam di Pilkada 2024. Peneliti Setara Insitute Harkirtan Kaur mengatakan bahwa fatwa itu bertentangan dengan hukum negara dan diskriminatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Hak memilih dan dipilih melekat pada setiap warga negara, apa pun identitas yang bersangkutan," katanya dalam keterangan tertulis, pada Ahad, 24 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, mengeluarkan fatwa yang mewajibkan pemilih muslim untuk memilih calon yang seakidah sebagai tindakan pembedaan yang hanya mengistimewakan calon dari satu kelompok agama. Fatwa ini, katanya, bersifat segregatif dan melemahkan kebhinekaan Indonesia.
Padahal, menurut dia, hajatan elektoral ini sebagai wahana kebangsaan di luar momentum memilih pemimpin baru. Dia mengungkapkan, Pilkada juga semestinya diartikan sebagai agenda kolektif untuk menguatkan kebangsaan Indonesia.
"Jadi, tindakan mewajibkan memilih berdasarkan agama dan mengharamkan memilih calon tidak seagama upaya segregasi," ujarnya.
Fatwa MUI Jawa Tengah ini, ucapnya, justru berpotensi memecah belah masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Termasuk, katanya, memantik polarisasi di tengah masyarakat.
Selain itu, dia menilai bahwa fatwa tak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat. Sebab, ujarnya, fatwa hanya sebagai pandangan keagamaan saja.
Sebelumnya, beredar salinan fatwa MUI Jawa Tengah tentang Pilkada 2024. Salah satu poin mewajibkan pemeluk agama Islam memilih calon pemimpin seakidah.
"Umat Islam wajib memilih calon pemimpin yang seakidah, amanah, jujur, terpercaya, serta memperjuangkan kepentingan syiar Islam," tulis salinan yang ditandatangani Ketua Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah, Fadlolan Musyaffa.
Salinan fatwa itu juga terdapat tanda tangan Ketua MUI Jawa Tengah, Ahmad Daroji. Namun, daroji membantah ikut bertanda tangan. "Saya tidak tanda tangan," kata dia ketika dikonfirmasi.
Menurutnya, keputusan yang tertulis dalam salinan tersebut tidak tepat. "Tidak bijaksana dan menyebabkan tidak kondusif.," sebut Daroji.
Dia mengungkapkan, beredarnya salinan fatwa itu karena meneruskan dari MUI Pusat. "Yang menerbitkan di MUI Pusat juga bukan komisi fatwa," ungkap dia.