HANYA dalam waktu 75 menit saja, di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, Jaksa Anas Bhisma SH telah membuka rahasia besar. Dalam
sebuah pengadilan terbuka untuk umum, 19 September kemarin,
tersibaklah skandal penyuapan pejabat negara dan korupsi yang
menyikat uang negara sampai Rp 23 milyar. Tabir yang menyelimuti
rapi sejak 1968 sedang dirobek.
Langkah pertama pengadilan memperkenalkan Endang Wijaya alias
Yap Eng Kui alias A Tjai, 46 tahun, berasal dari Sei Rampah
(Sumatera Utara). Dia adalah pengusaha bangunan, PT Jawa
Building Indah, kontraktor dari BPO (Badan Pelaksana Otorita)
yang membangun perumahan di Proyek Pluit, Jakarta Utara.
Jaksa membawa A Tjai ke muka majelis hakim, yang dipimpin oleh
HM Soemadijono SH dan para anggota Hengky Ismu Azhar SH dan JZ
Loudoe SH, dengan tuduhan subversi dan korupsi memanipulasikan
kredit BBD (Bank Bumi Daya), pajak, setoran ke BPO Pluit dan
menyuap berbagai pejabat negara.
Sidang peradilan yang meriah. Hadirin yang penuh sesak boleh
asyik mendengarkan uraian jaksa sekitar tingkah pejabat tingkat
menengah mempermainkan duit rakyat. Bahkan kali ini, dari
tuduhan jaksa saja sudah terdengar nama-nama pejabat yang
membuat heboh. Ada nama Wakil Gubernur DKI, ir Prayogo, Dwinanto
(bekas Walikota Jakarta Utara), para pejabat teras DKI, Camat
Penjaringan, RAB Massie, RS Natalegawa (bekas Dirut dan Direktur
Kredit BBD), sampai dengan nama Husein Kartasasmita (Sekretaris
Ditjen Pajak).
Dwinanto Prodjosupadmo, waktu itu Walikota dan Ketua BPO Pluit,
kenal Endang Wijaya, 1968, sebagai pemborong rumah di Jembatan
Dua. Perkenalan berlanjut dengan pemberian fasilitas. Endang
Wijaya memperoleh hak perencanaan, pembebasan dan pengosongan
tanah di Muara Angke, Pluit dan Muara Karang. Dwinanto juga
menyetujui Endang merubah rencana tatakota -- dari penggunaan
jalur hijau untuk bangunan fisik, dengan sebelumnya menggusur
pemukiman rakyat dan nelayan miskin.
Di samping memberi kesempatan penangguhan pembayaran setoran ke
BPO, sebesar Rp 2 milyar, Dwinanto juga menyetujui Endang
menggunakan tanah kerja BPO untuk memperoleh pinjaman BBD dan PT
Aseam.
Dapat Imbalan
Untuk itu Dwinanto sendiri memperoleh imbalan yang tidak
sedikit. Endang memberinya honor bulanan secara tetap. Mula-mula
hanya RP100 ribu setiap bulan antara 1970 sarnpai 1973.
Berikutnya, sampai dengan 1976, honor naik jadi RP150 ribu. Dan
terakhir sudah jadi RP 200 ribu. Untuk memperbaiki rumah villa
di Puncak milik sang Walikota ini, Endang menyumbang sampai Rp
4,5 dan Rp 2 juta. Hadiah lainnya bagi Dwinanto berupa: mobil
Combi (seharga Rp 4 juta), VW Safari (Rp 3 juta), uang piknik ke
Singapura Rp 5 juta. Dan sebuah rumah megah di Pluit Samudra
VI/1, seharga Rp 200 juta, juga khusus dibangun Endang bagi
Dwinanto.
Para pejabat DKI Jakarta lain juga 'kecipratan' rejeki nomplok.
Endang Wijaya bermurah hati membagi hadiah bulanan antara Rp 50
sampai Rp 10 ribu kepada pegawai penting DKI. Belum lagi 35
rumah di Pluit, tanah dan mobil yang dibagi gratis.
Ketua Harian BPO Pluit, ir Shafrin Manti, misalnya -- di samping
honor tetap -- juga mendapat mobil Mercy, organ Yamaha (seharga
Rp 2,45 juta), perbaikan rumah di Bendungan Hilir sampai Rp 3
juta, sebuah rumah di Pluit Kencana (Rp 60 juta) dan televisi
berwarna merek Siera 26'. Rekan Shafrin, Kepala Bidang Umum BPO,
Heru Suko SH, juga mendapat hadiah sebuah Mercedes, Honda Civic
dan dua buah rumah di Pluit Utara dan Selatan (masing-masing
seharga Rp 35 dan Rp 30 juta). Itu, antara lain, untuk jasanya
memberi surat keterangan sebagai "Kepala Pelaksana Pembangunan
Perumahan Otorita Pluit" bagi Endang Wijaya. Walaupun
diketahuinya si Endang itu tak lebih hanya pemborong biasa saja.
Dengan surat keterangan itulah Endang memperoleh kepercayaan
bank.
Dua buah rumah di Pluit Kencana dan Pluit Selatan (masing-masing
seharga Rp 35 juta), mobil Datsun dan organ Yamaha (Rp 2,18
juta) dibagikan Endang juga kepada ir Armantani, yang menjabat
sebagai Kepala Bidang Tehnik BPO. Rekannya, ir Haditomo, Kepala
Bidang Pemasaran BPO, kebagian dua mobil Corolla dan Datsun.
TH Siagian, Kepala Sub Dit. Agraria Jakarta Utara, yang
melancarkan usaha Endang memperoleh sertifikat tanah, boleh
menerima Rp 20 ribu untuk setiap sertifikat yang dikeluarkan.
Ditambah lagi Rp 1,5 juta untuk kemurahan hati pejabat ini
memprioritaskan urusan Endang.
Prayogo Dapat
Camat Penjaringan, Andi Abbas, yang menjadi anggota panitia
pembebasan tanah Muara Angke dan Muara Karang juga boleh
menempati rumah di Pluit Putra hadiah Endang. Sebab melalui
tangan ampuh pak Camat inilah rumah rakyat dapat tergusur licin.
Bahkan Wakil Gubernur DKI, ir Prayogo Padmowihardjo, tak luput
dari 'binaan' Endang. Mula-mula, melalui BPO, Endang membangun
'rumah contoh' di atas tanah Wagub di Cempaka Putih. Lalu sebuah
mobil Mercedes pinjaman sebesar Rp 15 juta, honor bulanan dan
sejumlah uang saku keluar negeri disodorkan oleh Endang. Untuk
itu pemborong yang bukan main ini menerima imbalannya Oleh DKI
ia ditunjuk sebagai pemborong tunggal, tanpa melalui tender
semustinya, untuk menggarap Pluit, Muara Karang dan Muara Angke.
Dengan mengatasnamakan dirinya sebagai 'orang BPO Pluit', dan
hal itu sangat diketahui oleh pejabat DKI dan BPO sendiri,
Endang menggaet uang BBD sampai milyaran rupiah.
Untuk membuktikan hal itu diharapkan RS Natalegawa, dulunya
menjabat sebagai Direktur Kredit BBD, akan tampil juga dalam
membereskan kasus Pluit. Sebab, seperti yang akan diungkapkan
dalam pengadilan kelak, pejabat ini telah meluluskan permintaan
kredit Endang yang seharusnya diketahui diajukan tanpa memenuhi
cara yang benar dan tanpa jaminan yang sehat -- misalnya berupa
tanah kerja BPO, seperti telah disebutkan di atas, walaupun
direstui walikota. Untuk memperoleh kredit sebesar Rp
11.318.762.400 dari BBD dan Rp 3 milyar dari PT Aseam, Endang
berani menganggunkan tanah milik negara secara tanpa hak.
Sogok Rp 20 Juta
Tapi, jangan lupa, Endang tidak bekerja cuma-cuma.
Direktur Kredit BBD dihadiahinya dua rumah mewah di Taman
Pluit Kencana dan masing-masing sebuah di Jalan Samudra III,
Pluit Samudra Raya dan di Pluit Putra Kencana. Saku direktur
BBD yang lain, Direktur Bidang Pengawasan, kena sogok Rp 20
juta dan 5000 mÿFD tanah di Cilandak.
Bahkan Dirut BBD, RAB Massie pun, oleh Endang dianggap perlu
pula untuk menerima bagiannya. Yaitu sebuah rumah di Jalan
Pluit Samudra Raya diberikan, bagaimanapun caranya, dengan
atas nama anaknya, Herling Massie.
Sialnya bagi pejabat BBD. Kredit Endang macet. Walaupun
diketahui hasil penyetoran tanah dan bangunan di Pluit, Rp 38
milyar, ternyata baik bagi Endang dimasukkan kantong sendiri
daripada disetorkan ke BBD.
Bukan hanya kredit BBD yang dikerjai Endang. Pembayaran pajak
juga dimanipulir. Berkat surat keterangan dari ir Shafrin, Ketua
Harian BPO, dengan pintarnya Endang lolos dari kewajiban
membayar pajak borongan yang mustinya jadi bebannya. Dengan
mempergunakan neraca BPC) untuk menghitung pajak, Endang telah
mengelabui negara hampir Rp 2 milyar. Tapi kelonggaran itu toh
tidak diperolehnya dengan cuma-cuma pula.
Husein Kartasasmita, Sekretaris Dit jen Pajak, diharapkan
sebagai saksi dar kemungkinan 82 saksi perkara Pluit, un tuk
menjelaskan soal perpajakan yan digarap semena-mena oleh Endang
Wijaya. Walaupun dengan cara jual beli terselubung, jaksa dapat
menuduh Endan telah menyuap pejabat pajak itu, dengar sebuah
rumah di Pluit Samudra Raya.
Pejabat pajak yang lain, drs Nurbua (Kepala lnspeksi Pajak
Jakarta Utara dan Jamaluddin Abdullah (Kepala Kan tor Pajak
Wilayah III Jakarta) juga ke cipratan rejeki. Nurbuat menerima
rumah di Pluit Selatan dan Jamaluddin di Pluit Utara.
Pengadilan yang tengah berlangsung tentu akan menilai fakta yang
dibawa jaksa dan telah didengar oleh telinga umum. Tinggal lagi
sebuah pertanyaan: setelah Endang giliran siapa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini