RATUSAN buruh pelabuhan Samarinda melapor ke kotak pos 999 di
ibukota Kalimantan Timur itu. Isinya, "penyalahgunaan uang buruh
meliputi orang buruh, surat tadi menyebut pula bahwa ongkos
bongkar muat log yang mestinya diterima buruh Rp 220/M3 selama
ini dipotong Rp 70. Dilaporkan juga, uang itu dibagi-bagikan
kepada berbagai lembaga seperti INSA, MPI, Barunawati, Perla,
SKBMI dan Hansip pelabuhan dan macam-macam lagi. Jumlahnya
ternyata banyak juga jika diingat propinsi ini mengekspor kayu
rata-rata 7 juta M3 tiap tahun.
Maka berbicaralah Sutrisno Muali, Administrator Pelabuhan
Samarinda, di hadapan Komisi D dan B DPRD Kalimantan Timur.
Mula-mula Sutrisno menuturkan adanya perbaikan nasib para buruh
semenjak sistem mandor digantikan UKA. Lalu pola pembagian OPP/
OPT yang semestinya berdasarkan ketentuan Menteri Perhubungan
dibagi 70% untuk shipping (pengusaha pelayaran) dan 30% untuk
buruh, dijadikan sebaliknya.
Mengapa pihak pengugaha pelayaran mau dibalik sehingga hanya
menerima 30O lagi? Begini menurut Sutrisno: kajv rena
penghasilan pihak shipping dari sektor OPP/OPT ini hanya
sebagian kecil saja dari pendapatan pihak ini, luruhnya, yaitu
sekitar « dolar AS. Pendapatan terbesar berasal dari sektor
muatan (freight) yang untuk kapal log Samarinda-Jepang bernilai
16 dolar. "Kalau saya jadi shipping saya akan berfikir
melipatgandakan penghasilan dari freight ini" ujar Sutrisno.
Untuk itu, tambahnya, perbaikilah nasib buruh agar
produktifitasnya tinggi. Dengan demikian pemuatan log dapat
lebih cepat dan dengan sendirinya kapal lebih sering bolak balik
Samarinda-Jepang.
Bonus
Pihak pengusaha pelayaran (shipping) memahami teori Adpel
Samarinda itu. "Hasilnya memang lebih baik" kata seorang petugas
dari Bhineka Line "bukan saja penghasilan dari muatan
meningkat, tapi juga dapat bonus." Yaitu bonus dari pemilik
kapal karena pemuatan lebih cepat dari semestinya. Bonus ini
1.000 dolar per hari. Dengan keadaan buruh seperti itu saat ini,
pemuatan yang biasanya menelan waktu 6 hari bisa jadi 3 hari.
Berarti bonusnya 3.000 dolar. Tapi sebaliknya bila penggunaan
kapal lebih lama dari ketentuan kontrak, pihak pengusaha
pelayaran dikenakan denda 2.000 dolar per hari.
Menurut Sutrisno Muali, pola yang diterapkannya itu akan
diberlakukan untuk seluruh pelabuhan Indonesia. Karena rupanya
pihak buruh akhirnya dapat memahami juga hal itu, lebih-lebih
setelah diadakan dialog tertutup antara Adpel Samarinda dengan
pihak buruh dengan dihadiri Opstibda awal Nopember lalu. Bahkan
sehabis pertemuan itu pihak buruh ramai-ramai menandatangani
pernyataan yang mencabut pengaduan mereka ke kotak pos 999 tadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini