PROF. Hamka tetap menjadi ketua umum Majlis Ulama Indonesia.
Munas II MUI tersebut, 26 Mei - 1 Juni di Jakarta, rupanya belum
melihat tokoh lain yang lebih cocok.
Pribadi Buya memang banyak dianggap sejalan dengan watak
Majelis. Sebagai badan yang pembentukannya diprakarsai
pemerintah, yang punya pelindung seorang presiden dan wakil
presiden RI -- ataupun gubernur di tingkat daerah -- dan punya
dewan pertimbangan yang antara lain terdiri dari sebagian
menteri dan pejabat lokal, dan pula kehidupannya sebagian
besarnya dibiayai pemerintah, Majlis Ulama memang lebih tampak
sebagai sebuah lembaga kebersamaan alias kerukunan. Dan Hamka
yang kadang bisa tampak "keras" itu tetap banyak dinilai sebagai
tokoh luwes.
Majelis ini didirikan hampir lima tahun lalu (atau persis lima
tahun menurut perhitungan Hijri), 26 Juli 1975, sebagai hasil
Munas I majelis ulama seluruh Indonesia. Sebelumnya memang sudah
ada MU di beberapa daerah, misalnya di Aceh. Dan karena itu
struktur MUI tidak bersifat hirarkis: para ulama daerah tidak
harus "tunduk" kepada ulama di Jakarta sana, misalnya dalam hal
fatwa yang menyangkut hukum agama.
Lebih lagi karena MUI terdiri dari ulama berbagai unsur, selain
berbagai golongan politik. Bahkan dimasukkan juga beberapa tokoh
muda dari disiplin keilmuan atau kemasyarakatan yang tidak
dikenal sebagai ulama, untuk memperluas horison. "Hingga kami
melihat simfoni yang enak," kata H. Amiruddin Siregar, sekjen
MUI.
Toh sifat konsultatif tak urung mendekatkan berbagai paham: MUI
misalnya mengeluarkan fatwa di waktu-waktu tertentu, dan ini
merupakan hasil rembukan para ulama baik ang dari tradisi NU,
tradisi Muhammadiyah atau lainnya yang selama ini jalan sendiri
sendiri. Dalam sidang kali ini, yang dihadiri lebih 170 peserta
dari seluruh Indonesia dan para peninjau a.ntara lain dari
Jepang (dibuka Presiden di Istana Negara dan berlangsung di
hotel Sahid Jaya, sambil mendengarkan ceramah dari para
menteri), juga dirumuskan beberapa fatwa. Selain itu dibicarakan
masalah organisasi, masalah pendidikan & da'wah, dan beberapa
masalah pembangunan, terpenting soal pedesaan.
Sebagai bukan lembaga operasional, sudah dari semula ditegaskan
fungsi MUI antara lain sebagai penasihat pemerintah dan umat,
sekaligus jembatan alias "penerjemah timbal-balik". Dan seperti
dikatakan Hamka dalam pidato singkatnya, dalam lima tahun ini
cukup banyak nasihat yang sudah diberikan kepada pemerinah.
"Dan tidak semuanya diketahui masyarakat, sebab namanya saja
nasihat," kata H. Amiruddin Siregar. Ada misalnya soal hak
asasi, menyangkut para tahanan politik, atau soal-soal
sehubungan dengan ekses pemilu. Tapi yang sangat populer adalah
fatwa tentang liburan puasa, aliran kepercayaan atau kerukunan
antar agama.
Kadang-kadang "keras" juga fatwa MUI, meski tidak selalu
dianggap sangat bijak dalam pemilihan topik. Setidaknya masih
banyak hanya tergantung pada "program insidentil" -- menurut
Lukman Harun, tokoh muda yang turut duduk sebagai anggota MUI.
"Belum adanya konsep besar yang lebih luas memang merupakan
kelemahan ormas Islam," katanya.
Betapa pun, kedudukan MUI pertama kali tetap sebuah lambang. Ia
boleh diharap cukup efektif, memang -- walaupun seperti
dikatakan Amiruddin Siregar, "dilihat dari masa pembangunan yang
dilakukan pemerintah, kehadiran MUI sebenarnya terlambat. Maka
sering terkesan kami selalu berada di belakang masalah yang
timbul susul-menyusul."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini