Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sisa ONH: Rp 3 miliar

Wawancara tempo dengan menteri agama, tarmizi taher sekitar masalah Ongkos Naik Haji (ONH)

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ONGKOS naik haji yang ditetapkan Pemerintah dikritik banyak kalangan terlalu mahal. Termasuk oleh Presiden Soeharto, saat membuka mudzakarah nasional haji, pekan lalu. Maka, spekulasi pun berkembang di masyarakat, jangan-jangan ada kebocoran di sana-sini. Departemen Agama, sebagai instansi pengelola bisnis haji, tak lepas dari tudingan ini, lantaran kurang transparan membeberkan komponen biaya ONH atau ongkos naik haji itu. Berikut wawancara Wahyu Muryadi dengan Menteri Agama Tarmizi Taher sekitar masalah ONH itu. Ada yang bilang, naik haji dengan ONH biasa ibarat membeli kucing dalam karung. Kita tak tahu, misalnya, di mana harus menginap. Memang betul. Jemaah haji tak bisa mendapatkan nomor tempat duduk, sebelum menaiki pesawat. Tapi itu kan manajemen zaman kuno. Makanya ini saya perbaiki, termasuk soal penginapan, sehingga tak keroyokan. Kami akan mengupayakan agar ketika mereka berangkat, jemaah sudah tahu di mana dia menginap. Mengapa tarif ONH biasa ini mahal, lebih mahal dibandingkan Malaysia? Betul. Saya tidak membantah anggapan itu. Tapi kan ada perbedaannya. Yaitu kita harus membayar uang saku di Saudi. Jemaah haji Malaysia, karena negerinya kaya, tak perlu membayar uang saku karena mereka membawa duit di kantongnya. Uang saku itu sebesar 1.800 rial atau Rp 1 juta lebih, ditambah lagi uang untuk pulang ke daerah Rp 50.000. Tanpa uang saku tersebut, ONH hanya sekitar Rp 5 juta. Dan jangan lupa, ONH di Malaysia juga disubsidi bank. Biaya tiket pesawat, US$ 1.700, lebih besar dibandingkan dengan harga tiket pesawat komersial, yang hanya sekitar US$ 1.200. Itu betul juga. Tapi kalau pesawat carter kan berangkatnya membawa muatan jemaah, pulangnya kosong. Begitu pula saat menjemput, berangkatnya kan kosong. Jadinya kan dua kali lipat. Kalau kita titipkan mereka ke penerbangan komersial itu tak bisa. Jadi, Anda menilai biaya carter itu tak mahal? Untuk perhitungan kami, sementara ini tidak. Tidak mungkin penerbangan komersial membawa jemaah haji ratusan ribu dalam waktu yang sangat terbatas. Sekali terlambat, akan berpengaruh pada semua operasional haji. Makanya kita punya pesawat cadangan. Tiap satu penerbangan haji, kini ada cadangannya. Akibatnya, biayanya jadi tingggi. Banyak yang menuding mahalnya ONH akibat adanya kebocoran di Departemen Agama? Saya menerima kenyataan, saya menghadapi problem inefisiensi. Ini harus bisa ditekan. Buktinya, ONH tahun 1993 dan tahun 1994 ini tak jauh bedanya. Dulu Rp 6,7 juta kini Rp 6,9 juta. Tapi mereka yang membayar ONH jauh hari, misalnya September lalu, hanya membayar Rp 6,7 juta. Inefisiensi itu terjadi bukan karena uang itu hilang, tapi kita menghadapi masalah pelik, sewa rumah, misalnya. Dulu kita berhadapan dengan calo rumah: dari pemilik rumah ke calo pertama, kedua, lalu sampai ketiga, dan masing-masing cari untung. Kini calo rumah itu tak ada lagi, sudah ditertibkan pemerintah Saudi. Dan pemilik rumah harus berhubungan langsung dengan Konsulat Jenderal RI di Jeddah, atau dengan orang yang membawa surat kuasa resmi. Apa ada manfaat ekonomis ONH bagi Departemen Agama? Kalau efisien, kami akan mengusahakan sisa ongkos operasional haji ini dikembalikan ke organisasi-organisasi Islam. Menteri Agama kan tidak habis-habisnya didatangi mereka untuk minta bantuan bagi kegiatan Islam. Jangan khawatir, dana sisa ONH itu diperiksa BPK dan BPKP. Berap sisa operasional ONH itu tiap tahun? Angkanya fluktuatif. Selama enam tahun saya di Departemen Agama, sisa itu berkisar Rp 3 miliar per tahun. Ini disalurkan ke organisasi Islam. Kami bantu mereka, kan jumlahnya puluhan ribu. Kami dirikan asrama haji. Untuk asrama haji saja, saban tahun kita keluarkan biaya Rp 1,5 miliar sampai Rp 2 miliar. Kini, hampir di seluruh Indonesia ada asrama haji. Berapa dana yang diambil dari APBN? Perjalanan haji ini hanya didukung Rp 1 miliar dari APBN. Jadi, hampir semua komponen haji itu didukung oleh ONH. Departemen Agama itu satu tahunnya hanya mendapat anggaran pembangunan Rp 10 miliar, jumlah yang tak memungkinkan untuk mendukung operasi haji. Mengapa mencarter pesawat asing itu harus melalui Bimantara? Itu urusan Garuda dengan perusahaan penerbangan yang bersangkutan. Katanya, pengusaha asing pemilik pesawat harus punya partner Indonesia. Begitu saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus