TEKA-teki mahalnya ongkos naik haji (ONH) Indonesia mulai terungkap. Setidaknya, hal itu terbaca dari makalah Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji, H. Amidhan, dalam seminar nasional tentang haji di Jakarta Hilton Convention Centre, Kamis pekan lalu. Di situ Amidhan menguraikan komponen biaya penyelenggaraan ibadah haji, yang selama ini belum pernah terungkap. Gayung pun bersambut ketika Presiden Soeharto, saat membuka seminar itu di Istana Negara, mengatakan, "Kita tidak boleh menutup telinga terhadap suara-suara dalam masyarakat bahwa biaya pelaksanaan ibadah haji lebih mahal." Tuntutan ini tampaknya tak lepas dari pengaruh tingkat pendidikan jemaah haji Indonesia. Menurut buku panduan seminar di atas -- tentunya berdasarkan data dari Departemen Agama -- persentase jemaah haji yang berpendidikan SD dan SLTP -- meskipun masih terbesar -- belakangan ini cenderung menurun. Sebaliknya, persentase yang berpendidikan SLTA dan perguruan tinggi cenderung meningkat. Misalnya, untuk tahun 1992 dan 1993, jumlah jemaah haji yang berpendidikan SLTA ke atas meningkat sekitar 8 persen. Inilah yang, menurut buku panduan itu, mempengaruhi sikap kritis para jemaah terhadap pelayanan haji. Memang, selama ini ONH yang ditetapkan oleh Pemerintah terkesan mahal: Rp 6,7 juta hingga Rp 6,9 juta. Sedangkan di Malaysia, misalnya, hanya 6.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 4,4 juta jika jemaah bertolak dari Kuala Lumpur. Atau sekitar Rp 5,2 juta dari Sabah, negara bagian Malaysia. Adapun biang kerok mahalnya ONH dari Indonesia, menurut Amidhan, adalah mahalnya biaya transportasi. Garuda Indonesia, satu-satunya perusahaan penerbangan yang menangani angkutan jemaah haji Indonesia pulang-pergi, menetapkan harga US$ 1.700 atau sekitar 53% dari dana ONH seluruhnya. Harga itu lebih mahal US$ 600 dari tarif angkutan komersial yang ditetapkan Air Saudia. Jazid Adam, Direktur Keuangan Garuda, mempunyai jawaban: "Pesawat Garuda yang kembali dari Jeddah biasanya kosong penumpang. Sedangkan Air Saudia dari Jeddah ke Jakarta selalu penuh." Dengan kata lain, kosongnya penumpang dari Jeddah ke Jakarta harus ditanggung oleh jemaah kita. Yang menjadi tanggung jawab Departemen Agama adalah biaya pemondokan dan transportasi selama 35-40 hari. Itu belum termasuk uang bekal (living cost) untuk setiap jemaah sebanyak US$ 450. Jadi, sekarang, uang jemaah yang tertinggal di Departemen Agama US$ 995 per orang. Berapa jumlah totalnya, itu tergantung banyaknya jemaah yang berangkat ke Tanah Suci. Dari jumlah ini pun masih terdapat dana baku, yakni dana yang wajib dikeluarkan sesuai dengan indeks yang sudah ditentukan, misalnya biaya wajib sebanyak US$ 800 untuk pemerintah Arab Saudi, uang bekal daerah Rp 50.000 atau US$ 25, airport tax Rp 5.000 atau US$ 2, dan tingkat inflasi Rp 10.000 atau US$ 5. Alhasil, dana tersebut sudah pas jumlahnya. Tampaknya, harapan Departemen Agama untuk menghemat terletak pada anggaran yang bersifat variabel. Soalnya, anggaran yang berkisar US$ 163 per orang itu mungkin saja masih bersisa. Tapi, menurut Amidhan, kelebihan itu akan dikembalikan untuk kepentingan umat jua, misalnya untuk disumbangkan ke masjid. "Tapi, karena meningkatnya harga pada waktu pelaksanaan haji, sisa tersebut tidak dapat sepenuhnya diharapkan," katanya. Harap maklum, yang termasuk ke dalam anggaran ini antara lain biaya operasional di Arab Saudi, juga untuk jasa boga serta bimbingan manasik bagi jemaah haji. Kalau benar tingginya biaya ONH Indonesia sulit untuk diutak- atik, ada jalan keluar yang ditawarkan oleh Hamzah Haz, agar biaya tersebut tidak terlalu terasa berat. Menurut Haz, yang kini menjabat Ketua Fraksi PPP di DPR, misalnya masa menunaikan ibadah haji bisa saja diperpendek menjadi 25 hari. Dengan begitu, biaya bisa ditekan 25 persen. Tampaknya, usul Hamzah ini bisa dipertimbangkan. Misalnya, waktu ziarah ke makam Nabi di Masjid Nabawi, Madinah, yang biasanya makan waktu delapan hari, bisa dikurangi menjadi enam hari. Upacara lainnya adalah kebiasaan mengikuti salat arbain (40 kali). Menurut penelitian Dr. Quraish Shihab, ahli tafsir Quran Indonesia, hadis yang berbicara tentang ganjaran salat 40 kali (8 hari) di Masjid Nabawi tidak ditemukan dalam Al Kutub Assittah, enam kitab hadis standar. Tapi masalahnya rupanya memang bukan di situ. Menurut seorang pejabat Departemen Agama, waktu yang delapan hari di Madinah itu terikat pada program pelayanan haji pemerintah Arab Saudi. Itu, antara lain, menyangkut kontrak bus yang membawa jemaah haji dari Mekah ke Madinah, lalu dari Madinah ke Jeddah untuk diberangkatkan pulang ke Tanah Air. Yang tak kalah penting dari itu, tampaknya, pemerintah Saudi juga memperhitungkan nasib kaum pedagang dan pemilik tempat pemondokan, terutama di sekitar Masjid Nabawi Madinah. Bila waktu beziarah dipersingkat, tentu akan mengurangi pemasukan bagi kaum pedagang. Soalnya, hampir setiap selesai salat lima waktu, pasar di sekitar masjid pasti dibanjiri jemaah yang ingin membeli oleh-oleh. Sebaliknya, jika hal ini dikabulkan, agaknya, Madinatul Hujjaj di Jeddah, tempat penampungan jemaah haji ONH sebelum kembali ke Tanah Air, tidak akan sanggup menampung sekian banyak jemaah kloter yang frekuensi masuknya lebih banyak dari biasa. Soalnya, dengan sistem selama ini, tempat selalu penuh diisi jemaah. Masalahnya memang terpulang pada kesanggupan armada Garuda Indonesia untuk menampung penumpang haji. Amidhan tampaknya pesimistis. Dengan waktu 35-40 hari saja, kata Amidhan, Garuda menggunakan 12-13 pesawat selama sepuluh hari. Itu saja, menurut Amidhan, sudah menempatkan pesawat angkutan haji Indonesia termasuk yang tinggi frekuensi kedatangan dan keberangkatannya dari bandar udara internasional di Jeddah. Apalagi bila armada angkutannya ditambah. Tampaknya, memang sulit untuk mempersingkat waktu. Maka, jalan yang masih terbuka, sekalipun musykil, adalah dengan menekan anggaran yang bersifat variabel, termasuk berbagai pungutan di pemerintah daerah. Misalnya, mewajibkan zakat ONH di DKI Jakarta. Soalnya, seperti kata Presiden, tidak semua jemaah haji berkantong tebal.Julizar Kasiri dan Wahyu Muryadi (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini