UMUR go-cap -- kata orang Betawi -- tapi kelakuan tetap ji-go. Maksudnya, umur 50 tapi perangai masih seperti orang umur 25 tahun. Olok-olok khas inilah mungkin yang membuat Basuki Suwito terperosok. Warga Desa Plangkahan di Banyumas, Jawa Tengah, ini seakan pantang kelangkahan meski usianya sudah 62 tahun. Ayah sembilan anak dan kakek sebelas cucu itu sedang membangun rumah di kampungnya. Di antara pekerjanya terdapat empat gadis: Tati, 15 tahun, Siros, 15 tahun, Siwi, 15 tahun, dan Lani, 14 tahun semua bukan nama sebenarnya. Mereka tetangga Basuki. Tati dan Siros, yang masih duduk di kelas 3 SMP, Siwi, pelajar kelas 1 SMP, serta Lani, kelas 4 SD, bekerja buat Basuki sepulang mereka dari sekolah. Meski upah mereka hanya Rp 300 untuk kerja beberapa jam, uang itu cukup lumayan bagi warga desa yang rata-rata miskin tersebut. Mereka berempat bertugas membuat batu bata bagi keperluan rumah Basuki. Jadi, selain bertetangga, oleh para gadis muda ini, Basuki juga dianggap sebagai bos. Maklum, suasana desa. Mereka lalu tidak risi mandi bersama Basuki di bakal kolam ikan di tengah ladang. Dengan tubuh telanjang, mirip kecebong, mereka bercanda ria serta menggelayuti Basuki, yang dianggap kakek sendiri. Tapi keakraban cewek remaja itu ternyata lumayan mengguncang batin Basuki. Kejadian yang berlangsung hampir setiap sore pada pertengahan tahun lalu itu agaknya dianggap bagai menantang kejantanannya. Suatu sore, Basuki mulai membuka jurus keong melipat daun muda. "Kalau mau uang banyak, kamu harus mau main dengan saya. Satu orang saya kasih sepuluh ribu," bujuk pensiunan sebuah perusahaan di Bandung itu. Mendengar uang sebanyak itu, menurut Basuki, anak-anak tersebut mau menerima tawarannya. Lalu, Basuki membawa mereka ke gubuk di tengah ladang singkong. Satu per satu digarapnya, dimulai dengan Lani yang paling manis lalu Tati, dan kemudian dua gadis lainnya. Menurut pengakuan Basuki, ia hanya menggagahi Lani dan Tati. "Setelah kedua gadis tersebut, saya sudah tidak punya tenaga lagi," katanya kepada TEMPO. Namun, lebih jauh diungkapkannya, agar yang lainnya tidak iri, ia tetap membawa mereka ke gubuk, "Cuma saya tempelkan saja," ujarnya menambahkan. Bagaimana persisnya belum diketahui, sebab visum dari dokter belum keluar. Kejadian ini tidak hanya berlangsung sekali. Dan yang paling sering diajak ke gubuk adalah Tati. "Dia selalu minta uang sama saya. Bahkan, tunggakan uang sekolahnya saya yang bayar," kata Basuki. Tapi pengakuan ini dibantah oleh keempat gadis itu. "Kami katanya mau diajak mengaji di gubuk tersebut. Lalu, di dalam, kami diberi makanan. Setelah itu, kami tidak ingat apa-apa," cerita Tati. Gaek jilam ini sempat lama memendam perbuatannya. Sebab, menurut pengakuan korban, mereka diancam dibunuh kalau bercerita. Basuki alpa, hanya mulut meriam yang bisa disumbat, sedangkan kelakuan mesum, lambat-laun, ya, bakal tercium. Inilah yang terjadi awal Januari lampau. Penduduk riuh tergagau ketika melihat Tati berbadan dua. Si bungsu dari tujuh bersaudara anak seorang janda ini lalu ditanyai ibunya dan ketua RT setempat. Tak dapat lain, nama si gaek Basuki pun disebutnya -- sekaligus nama tiga korban lain. Ketika urusan Tati hamil ini disodorkan kepada Basuki, lelaki berperawakan gempal itu terus terang mengakuinya. Bahkan, ia menyatakan bersedia mengawini Tati. Buat ketiga korban lainnya, ia menyanggupi membayar ganti rugi Rp 100 ribu. Tapi tawaran tersebut ditolak oleh orang tua keempat korban. "Kami hanya ingin Basuki dibawa ke pengadilan," kata Sarmin, orang tua Siros. Walhasil, Basuki pun mendekam di tahanan Kepolisian Sektor Tambak, sejak Rabu pekan lalu. Dalam kasus ini, pihak polisi meragukan adanya unsur pemerkosaan. Itu setelah para korban membeberkan kejadiannya dan mengaku tak ada unsur paksaan. Lagi pula, mereka senang menerima uang dari Basuki. Namun, itu tak berarti Basuki bebas dari jerat hukum. Menurut Kepala Kepolisian Sektor Tambak, Letnan Dua Adie Lasay, "Basuki bisa dikenai Pasal 290 KUHP, mencabuli anak-anak di bawah umur."Rustam F. Mandayun dan Heddy Lugito
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini