Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHKAMAH Konstitusi belakangan menggelar persidangan uji materi Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mengatur sistem proporsional terbuka. Enam penggugat, salah seorang di antaranya kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, menilai sistem pemilu terbuka telah dibajak politikus pragmatis yang cuma mengandalkan popularitas dan uang.
Gugatan di Mahkamah Konstitusi akan menentukan sistem pemilihan yang bakal digunakan pada Pemilu 2024. Pemilu legislatif digelar dengan sistem proporsional terbuka sejak 2009 sesuai dengan putusan MK. Dalam sistem terbuka, pemilih dapat mencoblos langsung nama calon legislator di kertas suara. Anggota legislatif terpilih ditentukan berdasarkan jumlah kursi untuk partai dan suara terbanyak yang diperoleh kandidat tanpa memperhatikan nomor urut.
Sebaliknya, proporsional tertutup mengatur pemilih hanya dapat mencoblos lambang partai. Petinggi partai sebelumnya sudah menentukan nomor urut calon legislator. Kursi yang diperoleh partai akan didistribusikan kepada kandidat berdasarkan nomor urut itu. Mereka yang mendapat nomor sepatu alias urutan buncit hampir pasti tak lolos menjadi anggota Dewan terpilih.
Sekretaris Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, mengatakan tak ada sistem proporsional yang dianggap paling baik bagi sebuah negara. “Hal terpenting adalah proses demokratis di lingkup internal partai dalam menyeleksi dan menentukan kandidat calon legislator,” kata Fadli kepada Tempo, Selasa, 18 April lalu.
Indonesia sudah pernah melaksanakan dua sistem pemilu, baik proporsional tertutup maupun terbuka. Sistem proporsional tertutup diterapkan saat pemilu berlangsung pada Orde Lama dan Orde Baru. Pelaksanaan proporsional tertutup dalam dua rezim itu mendapat catatan karena menguatkan oligarki dan hegemoni partai, khususnya Golongan Karya.
Baca: Skenario Jokowi untuk Prabowo-Ganjar
Sistem tertutup masih dipakai dalam Pemilu 1999, pemilihan pertama setelah Soeharto lengser pada Mei 1998. Sedangkan pada Pemilu 2004 diterapkan sistem proporsional terbuka terbatas, dengan nama calon legislator tercetak di surat suara. Perubahan menjadi sistem proporsional terbuka terjadi pada Pemilu 2009 setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Desember 2008.
Mahkamah saat itu menyatakan Pasal 214 Undang-Undang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang mengatur penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih tak mempunyai kedudukan hukum yang mengikat. Sejak putusan Mahkamah itu keluar, pemilih bisa mencoblos nama caleg langsung di surat suara.
Menurut Fadli Ramadhanil, sistem tertutup mengurangi partisipasi publik. Sebabnya, pemilih tak punya kesempatan memeriksa latar belakang dan rekam jejak calon anggota legislatif. Keputusan soal caleg yang duduk di kursi Dewan diserahkan kepada partai politik.
Baca: Koalisi Besar dan Manuver Jokowi
Fadli menyebutkan mengubah sistem pemilu di tengah tahapan yang sudah berjalan akan mengganggu proses pemilihan. Karena itu, Pemilu 2024 semestinya dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang Pemilu. “Sistem ini akan berdampak pada manajemen pemilu, penegakan, dan aktor pemilu yang terlibat,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Kuasa Partai di Surat Suara"