Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Calon anggota DPRD kabupaten setidaknya harus menyiapkan dana kampanye Rp 1,5 miliar.
Calon anggota DPR yang berlaga di Ibu Kota bisa mengeluarkan dana kampanye hingga Rp 10 miliar.
Salah satu komponen dana kampanye caleg adalah biaya survei yang mencapai ratusan juta rupiah.
BERDISKUSI dengan temannya, Yan Chrisna kaget mendengar besaran dana kampanye yang harus disiapkannya agar bisa menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Temannya yang menjadi konsultan politik itu menyarankan Yan menyiapkan duit minimal Rp 1,5 miliar. “Rp 1 miliar untuk amplop ke pemilih, sisanya untuk koordinasi,” kata Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Solidaritas Indonesia Rembang itu, Sabtu, 15 April lalu.
Yan ogah menuruti saran itu karena tak mau bagi-bagi uang kepada pemilih. Ia mengajak temannya yang sudah lama mengurus kampanye sejumlah calon anggota legislatif (caleg) untuk menjadi bagian tim sukses. Tawaran Yan ditolak mentah-mentah. Temannya meyakini Yan tak akan terpilih jika tak menebar duit. Pada Pemilihan Umum 2019, Yan mendengar satu pemilih minimal diganjar Rp 75 ribu.
Alasan biaya politik yang tinggi mendorong enam orang menggugat sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi, November tahun lalu. Sebagian di antaranya terkoneksi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun uji materi itu dikritik sebagai langkah mundur demokrasi. Sistem proporsional tertutup tak otomatis mematikan korupsi oleh anggota parlemen.
Di level yang lebih tinggi, duit yang harus digelontorkan calon legislator kian besar. Calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur dari Partai Kebangkitan Bangsa, Nur Faizin, bercerita, ia minimal harus menyiapkan Rp 2 miliar di daerah pemilihannya di Madura. “Untuk tim pemenangan dan konsolidasi di daerah pemilihan,” ucap Faizin.
Adapun angka yang mesti dikeluarkan calon anggota DPR lebih fantastis, terutama di daerah padat penduduk dan wilayah yang luas. Anggota DPR dari Partai NasDem yang berlaga di Ibu Kota, Ahmad Sahroni, mengaku membutuhkan Rp 10 miliar agar dapat terpilih kembali.
Sahroni memanfaatkan Ramadan dan Lebaran untuk membagikan paket bahan kebutuhan pokok buat pemilihnya di Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Untuk kegiatan itu, ia merogoh kocek Rp 4 miliar. “Kalau ada pengaruh ke pemilih, anggap saja bonus,” kata Wakil Ketua Komisi Hukum DPR itu.
Baca: Manuver Jokowi Agar Tetap Berkuasa
Anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa yang berlaga di daerah pemilihan Jawa Tengah VI, Luqman Hakim, mengatakan di provinsi itu dana kampanye yang disiapkan Rp 7-10 miliar. Duit itu digunakan untuk konsolidasi, pengadaan alat peraga, hingga biaya pertemuan dengan konstituen. “Kalau mau jujur, juga buat ngasih amplop ke konstituen,” tutur Luqman, Jumat, 14 April lalu.
Besaran dana kampanye menjadi topik disertasi Sekretaris Kabinet sekaligus politikus PDIP, Pramono Anung, pada 2013. Ia mengatakan modal yang harus dikeluarkan pengusaha atau birokrat setidaknya Rp 6 miliar. Dana lebih kecil dikeluarkan oleh calon dari figur publik dan artis, yaitu maksimal Rp 600 juta. Mereka umumnya telah memiliki popularitas tinggi.
Dua politikus di Senayan menyebutkan dana kampanye yang mereka keluarkan bakal lebih tinggi untuk Pemilu 2024. Pandemi Covid-19 yang menyerang sejak 2020 membuat ekonomi masyarakat lebih susah. Kondisi itu diyakini mendorong praktik politik uang makin marak.
Meski begitu, tak semua politikus mengaku menyiapkan anggaran jumbo. Anggota Komisi Keuangan DPR dari Partai Golkar, Melchias Marcus Mekeng, mengaku hanya menyiapkan sekitar Rp 3 miliar. “Untuk pengadaan atribut, baliho, cetak kartu, kalender, sampai distribusinya,” kata Mekeng, yang menjadi anggota DPR sejak 2004, Rabu, 12 April lalu.
Sejumlah calon legislator mengakui bahwa dana kampanye menjadi persoalan besar. Salah satunya Fajeriansyah, calon anggota DPRD Provinsi Bangka Belitung dari peserta baru Pemilu 2024, Partai Buruh. Fajeriansyah, pemilik bengkel sepeda motor dan las, menghitung setidaknya ia membutuhkan dana kampanye awal Rp 100 juta.
Dana itu ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari usahanya dan dari iuran anggota Partai Buruh. Tiap anggota Partai Buruh rutin menyetor iuran Rp 25 ribu per bulan. “Itu saja jauh dari cukup,” ucap Fajeriansyah, Senin, 17 April lalu.
Baca: Koalisi Besar dan Manuver Jokowi
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengatakan partainya menganut sistem gotong-royong. Para buruh ikut mendanai kampanye calon anggota legislatif. Buruh yang menjadi anggota sayap partai, seperti Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, menyetor iuran Rp 20 ribu. Ada juga buruh yang memberikan duit lebih besar dari iuran.
Said menuturkan, nanti anggota sayap partai yang dia klaim sebanyak 1 juta buruh akan ditarik Rp 100 ribu per orang guna membiayai dana kampanye caleg. “Begitu strategi kami dan itu biasa,” kata Said, Sabtu, 15 April lalu.
Bagi beberapa calon legislator, ongkos politik gendut ini juga akan digunakan untuk membiayai komponen lain, yakni menyewa lembaga survei. Pada Pemilu 2019, anggota DPR dari PKB, Luqman Hakim, menyewa lembaga survei untuk mengadakan tiga kali sigi. “Dengan survei yang benar, kami bisa mengukur capaian kerja politik di lapangan secara obyektif,” ujar Luqman.
Biaya sewa jasa lembaga survei ini ada di kisaran Rp 150-250 juta untuk sekali survei. Fungsi lembaga survei ini dianggap efektif bagi para caleg untuk memetakan situasi di daerah pemilihan mereka dan menentukan strategi kampanye.
Anggota Dewan Etik Persatuan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), Hamdi Muluk, mengatakan jasa utama lembaga survei adalah memotret permasalahan di lapangan. Dari pemetaan lawan politik, pemetaan popularitas, hingga elektabilitas calon-calon yang ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahroni di kantor DPP Partai Nadem, Menteng , Jakarta, Juni 2022. Tempo/Febri Angga Palguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jasa ini tak hanya digunakan para calon legislator inkumben, tapi juga caleg baru. Sebagian caleg tak hanya menggunakan lembaga survei untuk memotret tingkat keterpilihan, tapi juga menyusun strategi kampanye. “Besaran biaya menjadi relatif, tergantung metode pendekatan ke akar rumput,” kata Hamdi, Senin, 17 April lalu.
Baca: Skenario Jokowi untuk Prabowo-Ganjar
Namun sejumlah calon legislator masih enggan menggelontorkan dana kampanye secara jorjoran. Sebabnya, mereka masih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sistem pemilu yang akan digunakan. Jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup berlaku untuk Pemilu 2024, peluang caleg nomor urut bawah untuk menjadi anggota Dewan bakal lebih kecil.
Seorang calon anggota DPRD Kota Mataram yang berkompetisi di daerah pemilihan Selaparang, Johan Rahmatullah, mengaku masih berdebar menunggu kepastian dari MK. Padahal masa pendaftaran bakal caleg oleh Komisi Pemilihan Umum kurang dari sebulan. “Belum (mulai terbuka kampanye), masih terlalu dini,” ucap Johan, Senin, 17 April lalu.
Dampaknya, alat peraga caleg seperti baliho dan spanduk belum bertebaran di jalan-jalan. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, misalnya, alat peraga kampanye caleg terpantau hanya berada di kantor-kantor partai politik. Ketidakpastian ini juga berdampak pada usaha percetakan di Mataram.
Pengusaha percetakan menilai dana kampanye caleg yang mengalir ke usaha mereka masih seuprit, jauh lebih kecil dibandingkan dengan periode yang sama pada Pemilu 2019. “Kalau pemilu yang dulu, setahun sebelum pencoblosan orderan sudah menumpuk,” kata Komang Subudi, pemilik percetakan Merah Putih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Berkampanye dengan Upah Buruh"