Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
SEDERHANANYA, sistem pemilu merupakan mekanisme mengkonversi suara pemilih dalam pemilihan umum menjadi kursi yang dimenangi partai politik dan kandidat. Ada tiga variabel kunci. Pertama, formula pemilihan, apakah menggunakan sistem pluralitas/mayoritas, proporsional, campuran, atau lainnya; dan rumus matematis menghitung alokasi kursi. Kedua, struktur surat suara (ballot structure): apakah pemilih memberikan suara untuk kandidat atau partai, membuat satu pilihan atau mengungkapkan serangkaian preferensi. Ketiga, besaran daerah pemilihan yang menyangkut jumlah perwakilan legislatif di suatu daerah pemilihan.
Sistem pemilu juga berkaitan dengan metode pencalonan, ambang batas perwakilan, formula perolehan kursi, penetapan calon terpilih, serta penjadwalan pemilu. Mengingat cakupannya, pilihan atas sistem pemilu menjadi keputusan paling penting dalam sistem politik demokrasi karena menyangkut kepentingan langsung partai politik untuk mengakses kekuasaan melalui perolehan kursi di pemilu.
Sistem pemilu dapat menguatkan demokrasi, mencapai tujuan bernegara, dan menghindari kaum penjahat menguasai pemerintahan. Ada sepuluh pertimbangan dalam memilih sistem pemilu, yaitu perhatian pada representasi (keterwakilan), kemudahan digunakan, memungkinkan perdamaian, memfasilitasi pemerintahan yang efektif dan stabil, akuntabilitas pemerintahan yang terpilih, pengawasan oleh pemilih terhadap wakil rakyat, dorongan agar partai politik bekerja lebih baik, mempromosikan oposisi di legislatif, membuat proses pemilu berkesinambungan, serta memperhatikan standar internasional (Andrew Reynolds dalam “Merancang Sistem Pemilihan Umum”, Juan J. Linz dkk, 2001).
Karena itu, sistem pemilu tidak boleh diputuskan tergesa-gesa apalagi parsial.
Sistem pemilu punya sifat partisan yang sangat kuat. Ia menjadi isu krusial dan lama diputuskan. Dalam sejarah pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu, Dewan Perwakilan Rakyat tiga kali gagal mencapai konsensus dan harus menggelar voting, yaitu pada 2008, 2012, dan 2017. Substansi yang menemui jalan buntu antara lain alokasi kursi, metode penghitungan sisa suara dan perolehan kursi, serta ambang batas parlemen dan presidensial.
Setelah Undang-Undang Pemilu ditetapkan, biasanya langsung diikuti serbuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Baik oleh partai politik (terutama yang tidak memiliki kursi DPR), organisasi masyarakat sipil peduli pemilu, kelompok perempuan, maupun tokoh-tokoh politik yang berkepentingan langsung terhadap pengaturan norma dalam Undang-Undang Pemilu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini terbit di edisi cetak dengan judul "Sistem Pemilu dan Keadilan Kompetisi"