Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Skenario Bumi Hangus di Loro Sa'e

Laporan rahasia Carter Center mengungkap keterlibatan TNI dan Polri di balik aksi milisi pro-integrasi. Skenario bumi hangus dari dokumen Garnadi terbukti?

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN main garangnya kelompok milisi pro-integrasi. Hanya lima hari setelah pengumuman hasil jajak pendapat 4 September lalu, 145 penduduk sipil tewas dibantai kaum ''sipil bersenjata" itu. Ribuan orang mengungsi ke pegunungan dan Timor Barat. Bahkan, ini tak pernah terjadi sebelumnya, kediaman Uskup Belo di Dili dan Uskup Basilio di Baucau serta Gereja Katolik di Suai yang dipadati pengungsi diserbu secara brutal. Tiga pastor dan seorang biarawati kehilangan nyawa. Kemarahan meledak di mana-mana, termasuk dari Presiden AS Bill Clinton, yang Sabtu pagi lalu bertolak menuju KTT APEC di Auckland, Selandia Baru. ''Militer Indonesia terbukti membantu dan menghasut para milisi untuk melakukan kekerasan," ujar Clinton mengecam. Inilah sikap terkeras Clinton terhadap Jakarta. Dan sikap itu jelas ada kaitannya dengan sebuah laporan rahasia dari Carter Center East Timor Observation Mission—organisasi pemantau di AS. Oganisasi yang dipimpin mantan presiden Jimmy Carter itu menerbitkan dokumen lima halaman berjudul Evidence of Violations Cited in Carter Center Weekly Report on East Timor No. 4. Datanya berasal dari temuan lapangan 18 orang pemantau yang bekerja selama dua bulan sejak awal Juli lalu di Tim-Tim. Menurut Brent Preston, salah satu direktur Carter Center, dokumen itu sudah dikirim ke Gedung Putih serta ke kantor pusat PBB, juga ke pejabat militer dan pemerintah di Jakarta dan di Dili. Kesimpulan dokumen Carter itu cukup gawat: tentara Indonesia telah mendanai, mempersenjatai, dan memberikan instruksi atas segala sepak terjang milisi. ''Kami punya bukti-bukti kuat dan akurat," kata Preston kepada TEMPO. Dalam laporan itu, misalnya, ditulis kesaksian salah satu petugasnya yang menyaksikan langsung latihan tempur bersama tentara dan milisi Aitarak di Dili. Mereka juga mendapat pengakuan dari Wakil Komandan Resor Militer Dili bahwa TNI menjadi pemasok ransum dan persenjataan milisi. Hasil pemantauan sukarelawati Carter Center, Annete Clear, juga mengungkap indikasi keterlibatan satuan tugas intelijen (SGI) Kopassus di dalam tubuh milisi. Kandidat doktor politik itu menelisik markas milisi Saka di Baucau selama enam minggu. Di sana, ia memergoki komandan milisi Saka, Juanico Cesario Belo, tak lain adalah seorang tentara aktif dari satuan Kopassus. ''Ia terang-terangan mencantumkan identitas itu di kartu namanya," kata Clear kepada TEMPO. Menurut seorang anggota klandestin Fretilin, Juanico mendapat pujian TNI saat merancang operasi penangkapan Xanana Gusmao tujuh tahun lampau. Dalam catatan Carter Center, di antara 15 ribu serdadu yang diterjunkan, terdapat sekitar 400 anggota SGI. Dan dari 15 ribu anggota milisi, menurut Ketua Solidamor Bonar Tigor Naipospos, 5 persennya adalah tentara yang diselundupkan untuk mengendalikan pos-pos komando. Ia menunjuk Manuel De Sousa, komandan milisi Besi Merah Putih, yang juga merupakan ''anggota kehormatan" Kopassus. ''Bukan rahasia lagi, banyak tentara menyamar menggunakan seragam milisi," katanya. Tayangan sebuah televisi asing pernah menangkap momen menarik. Di siang yang panas itu, seorang milisi tampak celingak-celinguk. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang kegerahan. Eh, rambut keritingnya copot, kepalanya nongol. Rupanya, itu cuma wig. Ternyata ''si rambut palsu" itu adalah salah seorang tentara. John Miller dari lembaga pemantau International Federation for East Timor Observation Project (IFET-OP) dari Australia malah menyodorkan sejumlah transkrip atas pembicaraan via handy talkie antara pihak TNI dan milisi. Salah satunya yang mereka sadap adalah instruksi dari seorang perwira tentara dengan pimpinan milisi Abelai di Kabupaten Same, 1 September lalu. ''Bule-bule itu mesti disimpan di sungai," kata suara yang diidentifikasi sebagai tentara. ''Mereka harus disetop. Hentikan mobil mereka," kata suara tentara lagi. ''Laksanakan!" ujar milisi. Bukti lain datang dari laporan Unamet (United Nations Mission on East Timor) yang telah diungkap harian Sydney Morning Herald, Australia. Semua keterlibatan tentara Indonesia dibantah tegas Panglima TNI Jenderal Wiranto. ''Tak benar TNI berada di balik kekerasan yang terjadi di Tim-Tim," kata orang nomor satu TNI itu. Tapi seorang pejabat Unamet di New York berkeras tentang kesahihan laporan itu. Dokumen itu adalah situation report yang disusun secara berkala sejak Juni. Semula laporan dibuat dua minggu sekali. Setelah kekerasan memuncak, mereka mengirimkannya setiap hari. ''Jelas TNI terlibat, dan mereka tidak sepenuhnya bisa dikontrol Wiranto," kata orang Unamet ini. Ia mencontohkan hasil pemantauan seorang perwira penghubung yang ditempatkan di sebuah markas kodim di Tim-Tim. Suatu hari, sang perwira menyaksikan dua orang milisi masuk dengan tangan kosong dan keluar menenteng dua pucuk senapan serbu M-16 dan pesawat handy talkie. Saat dikonfirmasi, Pangdam IX/Udayana Mayjen Adam Damiri menyangkal soal senjata dan dukungan pada milisi itu. ''TNI tidak ada kaitannya dengan keberadaan milisi," kata Mayjen Damiri. Kesaksian lain lagi didapat Naipospos dari salah seorang aktivis yang berhasil menyusup menjadi peserta rapat rahasia di Pos Kopassus Baucau, Rumah Merah, 26 Juli silam. Pertemuan itu dihadiri sejumlah petinggi TNI, mulai dari mantan Kepala Badan Intelijen ABRI Mayjen Zacky Anwar Makarim, Danrem Tim-Tim Kolonel Tono Suratman, para komandan kodim serta komandan milisi Tim Saka dan Sera. Dan agendanya ternyata gawat: pembagian senjata untuk milisi dan skenario perang saudara jika opsi otonomi terjungkal. Suplai senjata ini juga terungkap dari dokumen Instruksi Panglima Pasukan Pejuang Integrasi Joao da Silva Tavares tertanggal 17 Juli 1999 No. 010/INS/PPI/VII/1999, yang ditujukan ke para komandan milisi di 13 kabupaten. Isinya, menyebut rencana suplai 15 ribu pucuk senjata modern dari TNI. Selain itu, surat yang juga ditembuskan ke Panglima TNI dan petinggi militer setempat itu juga menyinggung kesiapan pasukan elite untuk membekingi milisi lengkap dengan senjata berat, tank, dan 50 pesawat tempur TNI yang berpangkalan di Kupang dan Ujungpandang. Dan jika pro-otonomi kalah, mereka akan melancarkan apa yang disebut ''Operasi Pembersihan". Milisi memang bukan ''mainan baru" TNI dan telah menjadi bagian dari operasi intelijen sejak 1975 untuk meredam gerilyawan Falintil. Kelompok bersenjata ini tumbuh subur pada masa mantan Danjen Kopassus Letjen (Purn.) Prabowo Subianto memimpin SGI. Pada 1989, ia membentuk sebuah kelompok paramiliter yang amat ditakuti: Gabungan Pemuda Penegak Integrasi (Garda Paksi). Dari sinilah nama Eurico Guterres—kini komandan milisi Aitarak—mulai berkibar. Menurut seorang bekas karibnya, sejatinya Guterres adalah eks anggota klandestin Fretilin. Ia sukses ''dibina" tentara setelah pada 1986 ditangkap satuan baret merah ketika menyusup ke rombongan Presiden Soeharto. Bos kompleks judi di Tasitolu Dili ini juga dikenal punya hubungan intim dengan banyak kalangan militer di Dili. Pembentukan milisi kembali digenjot sejak November 1998, menjelang dua opsi ditawarkan Presiden Habibie. Proyek ini inti dari operasi bersandi ''Hanoin Loro Sa'e" untuk memenangkan pro-otonomi. Untuk menyukseskannya, Cilangkap—Markas Besar TNI—mengirim sejumlah jenderal yang mengenal setiap jengkal tanah Loro Sa'e. Penanggung jawabnya adalah Mayjen Zacky, yang dibantu dua mantan Danrem Tim-Tim: Mayjen Gleny Kauripan dan Mayjen Kiki Sjahnakri. Belakangan, mantan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Samsoeddin juga turun gelanggang. Sesungguhnya, menurut sumber TEMPO, mereka sudah mendeteksi bahwa pro-kemerdekaan akan menang dan kabarnya laporan ini pun sudah disampaikan ke meja Jenderal Wiranto sebelum jajak pendapat dimulai. Buat Naipospos, situasi chaos pascajajak pendapat menunjukkan satu hal: skenario bumi hangus yang bocor dari ''dokumen Garnadi" sudah terbukti. Dokumen itu adalah memo rahasia 3 Juli 1999, diteken Asmenko I/Poldagri Kantor Menko Polkam, H.R. Garnadi, tentang gambaran umum apabila ''opsi satu" gagal. Di antaranya, disebut soal rencana darurat dengan menyiagakan pasukan TNI dan bumi hangus fasilitas vital. Benarkah? Kepada TEMPO, beberapa waktu lalu, Garnadi mati-matian membantah adanya dokumen itu. ''Siapa saja bisa bikin dokumen begitu," ujarnya tegas. Yang pasti, Bumi Loro Sa'e sudah luluh-lantak kini. Barangkali, hanya pasukan PBB yang kehadirannya tak lagi ditolak TNI yang bisa diandalkan mencegah pembantaian di Loro Sa'e. Karaniya Dharmasaputra, Wens Manggut, Mustafa Ismail, Darmawan Sepriyossa (Jakarta), Zed Abidien (Dili), koresponden New York

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus