Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tim-Tim Membara, Habibie Rontok?

Kekerasan masih menganga di Timor Timur. Jakarta didesak PBB agar segera mengendalikan situasi. Rumor meledak: Presiden Habibie menawarkan opsi mundur.

12 September 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LANGIT Menteng baru saja melepas magrib. Lusinan mobil mewah berderet di seputar kawasan mentereng itu, di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Di situlah, di rumah Ketua Dewan Pertimbangan Agung Ahmad Arnold Baramuli, berlangsung pertemuan para tokoh Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan, Rabu pekan lalu. Di antara yang hadir tampak Menteri Negara Pendayagunaan BUMN Tanri Abeng, Menteri Penerangan Muhammad Yunus, Ketua MUI Ali Yafie, bekas jaksa agung Andi Ghalib, serta pengacara beken Deny Kailimang. Arisan keluarga Makassar? Bukan. Para tokoh terkemuka itu bertemu untuk membicarakan soal penting: pengunduran diri Presiden B.J. Habibie. Seorang sumber TEMPO yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan, akibat didera tekanan internasional menyusul meningkatnya tensi kekerasan di Timor Timur, presiden ketiga Indonesia itu memberikan tiga opsi kepada Baramuli untuk dibahas: apakah Habibie mundur saat itu juga, mundur dari pencalonannya sebagai presiden, atau maju terus. Rapat yang berakhir pukul 10 malam itu akhirnya memutuskan agar Habibie maju terus. Bahkan, disebut-sebut, forum itu juga akan mengerahkan massa jika diperlukan. Baramuli sendiri, ketika dikonfirmasi, membantah berita tersebut. "Saya sudah bicara sama Presiden. Dia tidak akan mundur. Dia tetap tegar," katanya kepada TEMPO. Tapi Mulawarman dari Pengurus Besar Ikatan Mahasiswa dan Pelajar Indonesia Sulawesi Selatan, yang masuk dalam pertemuan itu, membenarkan bahwa forum tersebut membicarakan prospek pencalonan Presiden Habibie. Isu soal mundurnya Habibie memang memenuhi udara Ibu Kota sepanjang awal pekan lalu. Kekerasan yang menyergap Tim-Tim selepas jajak pedapat memukul telak Habibie dan Jakarta. Selasa pekan lalu, misalnya, Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan memberikan peringatan kepada Jakarta: jika Bumi Loro Sa'e tak bisa dikuasai dalam waktu 2 kali 24 jam, PBB akan membicarakan kemungkinan menurunkan bantuan berupa pengiriman pasukan keamanan. Keesokan harinya, tim Dewan Keamanan PBB yang dipimpin Martin Andjaba melakukan serangkaian pembicaraan dengan pejabat United Nations Mission in East Timor (Unamet) dan Menteri Luar Negeri Ali Alatas. Sehari kemudian, tim yang terdiri atas 11 anggota dari berbagai negara itu melakukan pertemuan dengan Presiden Habibie. Menurut Ali Alatas, mereka membahas kemungkinan pengiriman pasukan internasional ke Tim-Tim jika keadaan semakin tak bisa dikendalikan. Belum cukup, Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dalam perjalanan ke Konferensi Tingkat Tinggi APEC di Auckland, Selandia Baru, juga melontarkan kecaman pedas kepada Jakarta. Ia bersikeras meminta agar Jakarta mau menerima kedatangan pasukan internasional. "Sekarang terbukti bahwa militer Indonesia membantu dan menghasut milisi untuk melakukan kekerasan," kata Clinton tanpa ragu. Washington juga berniat memutuskan kerja sama militer dengan Republik. Soal keterlibatan militer Indonesia di belakang milisi prointegrasi memang menjadi gunjingan pelbagai lembaga internasional yang memantau jalannya jajak pendapat di Tim-Tim. Bentuk dukungan itu dari pasokan senjata sampai latihan militer. Seorang staf Unamet bercerita bagaimana Kopasssus telah memberikan latihan militer kepada milisi di daerah Kailaku, Maliana. Latihan itu dilakukan mulai tengah malam sampai sekitar pukul 4 atau 5 pagi. Sedangkan sukarelawan pemantau dari Carter Center menyebutkan bahwa milisi memiliki gudang senjata yang penuh oleh pasokan senjata dari TNI (lihat Skenario Bumi Hangus di Loro Sa'e). Menanggapi tekanan beruntun tersebut, Panglima TNI Wiranto ngeper juga. Sabtu pekan lalu, ia menjawab akan siap menerima pasukan internasional di Tim-Tim. Hanya, soal waktunya, ia mengharapkan pasukan internasional itu tidak datang sekarang. Inilah pertama kalinya Jakarta dibikin pusing dengan tekanan serius dari PBB dan Amerika Serikat. Saking gawatnya masalah kawasan yang dijadikan provinsi ke-27 itu, sampai-sampai Bina Graha dijadikan posko untuk memantau perkembangan di sana. Jenderal Wiranto diperintah Presiden melaporkan situasi saban hari. Keadaan serba tak menentu, memang. Jakarta seperti tak terkendali. Desas-desus yang berkembang di kalangan elite politik menyebutkan telah terjadi perpecahan yang akut antara Wiranto dan Habibie. Akibatnya, Habibie menjadi tidak punya "tangan" untuk mengatur Tim-Tim. Bisik-bisik lain menyebutkan adanya pertemuan antara sejumlah jenderal dan Habibie untuk membahas "opsi mundur" putra Parepare itu. Semua spekulasi itu dibantah oleh Bina Graha. "Presiden masih sepenuhnya bertugas sebagai presiden," kata juru bicara Habibie, Dewi Fortuna Anwar. Militerlah yang selama ini tak rela jika kawasan bekas jajahan Portugal itu lepas dari Indonesia. Lebih dari 5.000 tentara tewas saat operasi militer di sana sejak 1975. Belum lagi ribuan yang cacat—mereka dianugerahi Bintang Seroja. TNI sempat blingsatan begitu Istana mengeluatkan opsi merdeka, apalagi ketika hasil jajak pendapat dimenangi mayoritas rakyat Maubere yang ingin merdeka. Tapi bahwa Habibie dan Wiranto tidak cocok dalam soal Tim-Tim, itu sudah menjadi rahasia umum. Dalam pertemuan Habibie dengan tim Dewan Keamanan PBB, Kamis pekan lalu, ketidakcocokan itu tampak dalam sebuah "insiden kecil". Sedianya Habibie ingin menerima tamu negara itu di sebuah ruangan, tapi Wiranto menghendaki pertemuan di ruangan lain. "Bung, sebenarnya saya ingin menerima tamu saya di sini. Tapi Pak Menteri (Pertahanan dan Keamanan) minta di ruang sebelah," kata Habibie kepada beberapa wartawan. Ali Alatas, yang melihat gelagat tidak enak itu, bersungut-sungut. Friksi keras di dalam lingkaran kekuasaan Habibie dan sas-sus bahwa ahli pesawat terbang itu akan mundur dari jabatannya segera menjalar bak petasan renceng. Pertemuan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) di Graha Saidah, Jakarta Selatan, Rabu malam pekan lalu, kontan diskors akibat beredarnya kabar gawat itu. Sedianya para anggota PPI akan memastikan anggota DPR dari 19 daerah pemilihan. Tapi, ketika Tarto Sudiro dari PDI Perjuangan memberikan info tentang kabar itu, anggota PPI dari partai lain tersentak. "Ada yang bilang akan dilakukan juga perombakan kabinet," kata Tarto. Kasak-kusuk mencari bocoran info berakhir menjelang tengah malam. Kegagalan Habibie mengatasi keamanan di Tim-Tim ini kemudian menjadi peluru tajam bagi lawan-lawan politiknya. Sasarannya apa lagi kalau bukan menggagalkan pencalonan Habibie ke kursi presiden. Menurut salah seorang pengurus DPP Golkar yang berseberangan kubu dengan Habibie, pekan ini Beringin akan menarik pencalonan Habibie sebagai presiden. Niat itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. "Habibie memang bukan barang yang bagus untuk dijual di Sidang Umum MPR November mendatang," kata sumber ini. Lalu, siapa yang menggantikan Habibie sebagai calon presiden dari Partai Golkar? Dari hasil rapat pimpinan Golkar lalu, empat nama yang akan direkomendasikan sebagai wakil presiden bisa punya kans maju. Keempatnya adalah Akbar Tandjung, Wiranto, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Ginandjar Kartasasmita. Dilihat dari urutannya, Akbar Tandjung adalah calon yang paling mungkin—meski ia masih ekstra-hati-hati. Namun, seorang sumber TEMPO yang lain di Golkar memperkirakan, bukan tidak mungkin Golkar berangkat ke Sidang Umum MPR tanpa calon. Dan kalau sudah begini, yang akan melenggang kangkung adalah calon presiden seteru Habibie dari PDI Perjuangan, Megawati Sukarnoputri. Sebanyak 120 kursi yang sekarang sudah ada dalam genggaman partai kuning itu akan dengan mudah lompat pagar ke kandang banteng perjuangan jika hal ini terjadi. Ancaman bagi Habibie seiring dengan membaranya Tim-Tim juga akan segera datang dari partai lain. Kabar yang bertiup dari markas Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Ciganjur menyebutkan, Gus Dur sedang mempersiapkan pertemuan enam partai besar, yakni PKB, PDI Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Agendanya adalah mencari kesepakatan tentang bagi-bagi kekuasaan (power sharing) jika Habibie benar-benar terkapar di Sidang Umum MPR kelak. Diharapkan, sesudah pertemuan itu, akan ada kesepakatan yang jelas setelah Habibie urung maju. Melihat semua perkembangan baru itu, tampaknya bakal sulit bagi Habibie untuk bertahan. Apalagi skandal mega-cessie Bank Bali, yang kian benderang, bisa-bisa menyeret all the president's men ke meja hijau. Perkara ini bakal seru digunjing di DPR, menyusul dengar pendapat dengan bekas direktur utama Bank Bali, Rudy Ramli, Kamis pekan lalu. Seiring dengan melesatnya isu domestik yang memojokkan Republik di mata dunia ini, merosot pula peluang Habibie untuk berlaga di Senayan. Bola ada di pucuk Beringin. Arif Zulkifli, Mustafa Ismail, P. Dyah Prabandari, Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus