Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Soal Konflik Papua, Uskup Timika: Pemerintah Belum Cukup Berdialog dengan Gereja

"Negara seharusnya memiliki peta untuk menyelesaikan masalah," kata Uskup Timika Bernardus Bofitwos Baru.

22 Maret 2025 | 18.00 WIB

Uskup Bernardus Bovit Wos Baru. facebook.com
Perbesar
Uskup Bernardus Bovit Wos Baru. facebook.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Vatikan telah menunjuk Bernardus Bofitwos Baru sebagai Uskup Timika pada 8 Maret 2025. Penunjukan ini dilakukan setelah 5 tahun meninggalnya Uskup Timika sebelumnya, John Philips Saklil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bernardus Baru meyakini terpilihnya dia sebagai Uskup Timika telah melalui serangkaian proses yang dilakukan oleh Vatikan. Ada berbagai pertimbangan bagi Paus Fransiskus untuk memilih uskup di suatu daerah. Salah satunya latar belakang individu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Vatikan juga memverifikasi latar belakang calon uskup itu dari beberapa pihak. Bila memenuhi kriteria, maka orang tersebut terpilih sebagai uskup. Bernardus sendiri lahir di Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya. 

Maybrat dikenal sebagai daerah rawan konflik. Uskup Timika Bernardus Baru berpengalaman hidup di daerah konflik. Sebelum menjadi Uskup Timika, ia aktif mengadvokasi situasi konflik di daerahnya. 

Menurut dia, negara belum benar-benar serius untuk menyelesaikan konflik di Papua. Dia mengatakan, perlu ada komunikasi yang baik dari pemerintah untuk mencari penyebab munculnya konflik itu. 

Pada Rabu, 12 Maret 2025, selama hampir satu jam, Bernardus Baru membagi pandangannya soal konflik di Papua kepada wartawan Tempo, Novali Panji Nugroho. Berikut petikan wawancaranya:

Anda kini memimpin jutaan umat Katolik di Timika. Apa tantangannya?

Saya kira ini tantangan yang tidak mudah. Keuskupan Timika adalah wilayah konflik yang cukup tinggi dan berat. Sekretariat Keadilan Perdamaian Keuskupan Timika selama ini sudah bekerja untuk mengadvokasi, berdialog dengan pihak-pihak terkait, hingga melakukan pendataan.

Kami akan melihat lagi langkah-langkah baru untuk menghadapi konflik, persoalan, bagaimana cara menanganinya. Jadi perlu ada pendekatan, dialog, komunikasi dengan pihak pemerintah, aparat, dan TNI.

Tantangan lainnya, umat gereja di Timika bersifat heterogen. Di wilayah kota, teman-teman dari luar (Papua) banyak yang datang. Sedangkan di wilayah pegunungan, (umat) dari orang asli Papua. Jadi, terkadang yang menantang itu, ketika konflik terjadi, umat-umat dari luar Papua tidak begitu aktif untuk merespons, partisipasi. Mereka lebih skeptis, menganggap masalah itu bukan urusannya.

Mestinya umat, siapa pun, bersama-sama. Katolik kan solider. Kami ini kolegalitas, satu hati, satu jiwa, satu tubuh. Jadi mestinya anggota tubuh yang di kaki sakit, maka yang di kepala juga ikut terasa sakit.

Menurut Anda, apa akar konflik di Papua?

Konflik di Papua sifatnya konflik politik yang sudah lama. Ada juga persoalan investasi sumber daya alam. Tapi kan itu satu kesatuan soal politik. Ada pihak lain yang punya kepentingan, lalu memanfaatkan konflik itu. 

Siapa yang bertanggung jawab atas konflik di Papua?

Negara yang punya tanggung jawab utama, karena ini warga negaranya. Negara seharusnya memiliki peta untuk menyelesaikan masalah. Ada akar masalah, negara mesti punya peta itu. 

Ibaratnya masalah banjir. Banjir itu karena apa? Oh, karena ada penggusuran, pohon-pohon ditebang, misalnya. Kalau begitu, penyelesaiannya seperti apa? Setop penggusuran. Pohon-pohon ditanami lagi yang baru.

Apa peran gereja di Papua terhadap konflik yang terjadi?

Gereja adalah mitra dari negara. Gereja membangun umatnya, kesejahteraan umatnya, bukan hanya materil, tapi juga spiritual, moral, adat, dan budaya. Di situ bagian gereja, sesuai visinya. 

Negara perlu menjadikan gereja sebagai mitra untuk menyelesaikan konflik itu. Saya kira itu penting. Negara tidak boleh menganggap gereja sebagai yang tidak perlu, atau sebagai musuh. Menurut saya itu sebaiknya dibangun.

Menurut Anda, bagaimana langkah terbaik untuk penyelesaian konflik Papua?

Negara harus betul-betul berperan mengedepankan damai, ketenangan, kebersamaan, martabat. Jangan konflik terjadi, lalu konflik itu dipakai lagi, diobok-obok untuk kepentingan seseorang tertentu.

Selama saya berpengalaman di Maybrat, biasanya saya berdialog ke pemerintah. Saya bilang, jangan bermain konflik itu untuk kepentingan. Sudah menjadi tugas gereja untuk menyampaikan itu.

Gereja adalah mitra negara. Kami akan selalu sampaikan itu ke pemerintah, supaya berperan aktif untuk mencegah konflik. Konflik perlu diselesaikan secara kemanusiaan, lewat dialog, lewat medium untuk menyelesaikannya.

Kalau itu sifatnya jalur hukum, selesaikan secara hukum profesional. Tidak bermain melanggar hukum. Yang terjadi di Papua, kan, banyak extra judicial killing. Pembunuhan di luar prosedur hukum tanpa melalui mekanisme. 

Menurut Anda, mengapa negara terkesan belum mampu menangani konflik di Papua?

Pemerintah harus melihat gereja sebagai mitra dan mendengarkan gereja, khususnya di Papua. Gereja memiliki visi dialog, visi damai. Pemerintah harus serius menanggapi itu. Pemerintah belum cukup berdialog dengan gereja.

Negara justru menyelesaikannya dengan jalur-jalur yang tidak sama-sama. Seharusnya duduk berbicara, baru menyelesaikan konflik. Makanya gereja selama ini berseru supaya menciptakan damai dengan cara dialog. Gereja sudah melakukan upaya dialog itu sejak lama. 

Anda yakin konflik di Papua bisa selesai dengan pendekatan yang humanis itu?

Menurut saya, kalau orang duduk berbicara, mencari akar persoalan, dengan akar ini maka pengawasannya begini. Kalau seperti itu, saya kira akan ketemu penyelesaiannya. Sehingga konflik itu bisa diminimalisasi atau bahkan tidak ada lagi. Karena apa? Karena ditemukan solusi berdasarkan pemecahan terhadap akar masalah itu.

Jadi, bahasa politiknya itu perlu ada political will dari pemerintah untuk memediasi, berdialog dengan gereja agar menyumbang pikiran, potensi yang ada untuk sama-sama menyelesaikan konflik di Papua. Tujuannya agar Papua menjadi damai, manusianya damai. Siapa saja yang datang atau tinggal di Papua bisa damai. Kami sama-sama hidup dalam suka cita, tidak bermusuhan.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus