Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Soedjatmoko Diplomat Ulung, Mantan Rektor Universitas PBB Wafat Saat Beri Kuliah

Soedjatmoko Rektor Universitas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) wafat pada 21 Desember 1989 saat beri kuliah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

11 Januari 2022 | 07.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pada 10 Januari bertepatan dengan kelahiran Soedjatmoko, mantan Rektor Universitas Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Tokyo, Jepang. Bung Koko lahir pada tahun 1922 ini juga merupakan seorang intelektual, diplomat, dan politikus Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melansir dari p2k.itbu.ac.id ia berasal dari keluarga bangsawan dan terlahir dengan nama Soedjatmoko Mangoendiningrat di Sawahlunto, Sumatera Barat. Soedjatmoko meninggal pada 21 Desember 1989 ketika sedang menyampaikan kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia wafat di usia 67 tahun karena serangan jantung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria yang juga dikenal dengan nama panggilan Bung Koko ini merupakan anak kedua dari pasangan Saleh Mangoendiningrat dan Isnadikin. Ayahnya ialah seorang dokter keturunan bangsawan Jawa asal Madiun, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga asal Ponorogo. Suami istri ini juga memiliki tiga orang anak serta dua anak angkat. Bersama keluarganya, Soedjatmoko yang kala itu usianya menginjak dua tahun, pindah Ke Belanda setelah sang ayah memperoleh beasiswa untuk belajar selama lima tahun.

Kemudian setelah kembali ke Indonesia, ia meneruskan sekolahnya di suatu sekolah dasar di Manado, Sulawesi Utara. Kemudian hingga lulus tahun 1940, Soedjatmoko menempuh pendidikan di HBS Surabaya. Di sekolah tersebut, ia berkenalan dengan bahasa Latin dan Yunani Kuno, salah seorang gurunya juga memperkenalkan Soedjatmoko dengan kesenian Eropa. Setelah itu, ia lanjut bersekolah kedokteran di Batavia, yang sekarang adalah Jakarta. Soedjatmoko tertarik dengan masalah kemiskinan setelah melihat kawasan kumuh di Jakarta, kemudian topik tersebut ia teliti. 

Dikelurkan Sekolah Zaman Jepang

Namun tahun 1943, setelah Jepang menempati Indonesia, Soedjatmoko dikeluarkan dari sekolahnya. Hal ini dikarenakan ia berkerabat dengan Sutan Sjahrir yang merupakan suami sang kakak yakni Siti Wahyunah, yang protes terhadap pendudukan Jepang. Soedjatmoko kemudian pindah ke Surabaya setelah dikeluarkan. Di sana, ia tertarik dengan sosialisme setelah membaca sejarah Barat dan pengetahuan politik yang menjadi pemicunya. Soedjatmoko juga bekerja di rumah sakit milik sang ayah. 

Soedjatmoko dikehendaki menjadi Wakil Kepala Anggota Pers Asing di Kementerian Penerangan, setelah Indonesia merdeka. Sjahrir yang telah menjadi Perdana Menteri Indonesia menginginkan Soedjatmoko dan dua sahabatnya mendirikan jurnal mingguan berbahasa Belanda, Het Inzicht sebagai tanggapan atas Het Uίtzicht (pandangan) yang disponsori oleh Belanda, pada tahun 1946. Tahun selanjutnya, mereka menerbitkan jurnal sosialis Siasat yang juga diterbitkan setiap minggu. Dalam kurun waktu tersebut, Soedjatmoko mulai tidak memakai nama Mangoendiningrat, karena nama sang ayah membuat ia teringat akan aspek feudalisme dalam akal budi Indonesia.

Tahun 1947, Soedjatmoko dikirm oleh Sjahrir ke New York sebagai anggota delegasi pengamat Indonesia di PBB yang kemudian sampai di Amerika Serikat (AS) setelah singgah di Singapura dan Filipina. Ketika di Filipina, Presiden Manuel Roxas menjamin bahwa negaranya akan mendukung Indonesia di PBB. Di New York, Soedjatmoko beserta kelompoknya tinggal di Lake Success, yang merupakan lokasi sementara PBB kala itu, kemudian mengikuti debat pengakuan Indonesia oleh negara lain. 

Menjelang akhir waktunya di New York, Soedjatmoko masuk di Littauer Center milik Harvard. Hal ini karena kala itu ia masih menjadi anggota delegasi PBB, sehingga harus pulang pergi selang New York dan Boston selama tujuh bulan masa kuliahnya. Setelah dibebastugaskan dari delegasi, Soedjatmoko menghabiskan nyaris satu tahun di Littauer Center. Ini membuat kuliahnya terganggu, sebab selama tiga bulan ia menjadi chargé d'affaires yang pertama untuk Indonesia di anggota Hindia Belanda di Kedutaaan Besar Belanda di London, Inggris. Soedjatmoko menjabat sementara selagi kedutaan besar Indonesia dibentuk.

Soedjatmoko pindah ke Washington D.C. untuk mendirikan seksi politik di Kedutaan Besar Republik Indonesia di kota itu tahun 1951, serta menjadi Wakil Indonesia Alternat di PBB. Kemudian ia mengundurkan diri dari Litteaur Center karena jadwal padat yang membutuhkan banyak waktu untuk perjalanan selang tiga kota itu, dan itu dirasa terlalu berat. Akhir tahun 1951, ia juga mengundurkan diri dari pekerjaan lainnya dan pergi ke Eropa selama sembilan bulan, mencari ilham politik. Di Yugoslavia, Soedjatmoko berjumpa dengan Milovan Djilas yang membuatnya kagum.

Soedjatmoko kembali menjadi redaktur Siasat setelah kembali ke Indonesia. Pada 1952, ia menjadi salah satu pendiri harian Pedoman yang dimiliki Partai Sosialis Indonesia (PSI), disusul oleh pendirian jurnal politik Konfrontasi. Soedjatmoko juga turut serta mendirikan Penerbit Pembangunan yang dipimpinnya hingga tahun 1961. Kemudian ia bergabung dengan PSI pada tahun 1955, dan pada tahun yang sama terpilih sebagai anggota Konstituante.

Dalam Konstituante, Soedjatmoko bertugas hingga badan itu dihapuskan pada tahun 1959. Sebelumnya pada tahun 1955, ia menjadi anggota delegasi Indonesia di Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika. Soedjatmoko juga mendirikan Indonesian Institute of World Affairs dan menjadi sekretaris umum selama empat tahun. Menikah dengan Ratmini Gandasubrata pada tahun 1958, mereka memiliki tiga anak perempuan.

Pada 1960, Soedjatmoko menjadi salah satu pendiri Liga Demokratik yang berusaha untuk mempromosikan demokrasi di Nusantara. Saat upaya itu tidak berhasil, Soedjatmoko kembali ke AS dan menjadi dosen di Universitas Cornell di Ithaca, New York. Saat kembali ke Indonesia tahun 1962, untuk menghindar dari persoalan dengan pemerintah, ia secara suka rela memilih tidak bekerja hingga tahun 1965. Ketika ia menjadi salah satu editor buku An Introduction to Indonesian Historiography.

Setelah Gerakan 30 September tahun 1965 gagal, Soedjatmoko kembali berkontribusi untuk negara. Tahun 1966, ia menjadi wakil ketua delegasi Indonesia pada PBB. Kemudian tahun selanjutnya, ia ditugaskan menjadi penasihat untuk delegasi PBB dan juga untuk Menteri Luar Negeri Adam Malik. Ia juga menjadi anggota International Institute for Strategic Studies, sebuah wadah pemikir di London.

Duta Besar Amerika Serikat

Tahun 1968 hingga 1971, Soedjatmoko menjadi Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Selama menjabat sebagai duta besar, ia memperoleh beberapa gelar doktorat honoris causa (honorer) dari beberapa universitas di Amerika, di selangnya Cedar Crest College pada 1969 dan Universitas Yale pada tahun 1970. Soedjatmoko juga menerbitkan satu buku lagi yaitu Southeast Asia Today and Tomorrow (Asia Tenggara: Kini dan Esok; 1969).

Setibanya di Indonesia tahun 1971, Soedjatmoko menjadi Penasihat Khusus Urusan Akal budi dan Sosial untuk Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Hingga tahun 1976, ia juga menjadi anggota dewan International Institute for Environment and Development yang berbasis di London.

Sebelumnya di tahun 1972, ia juga terpilih sebagai anggota dewan direktur Ford Foundation dan mendudukinya selama dua belas tahun. Pada tahun itu juga, Soedjatmoko merupakan Gubernur Asian Institute of Management selama dua tahun. Tahun selanjutnya, ia menjadi Gubernur International Development Research Centre.

Pada 1974, Soedjatmoko dituduh sudah merencanakan kejadian Malari yang terjadi pada bulan Januari di tahun itu, berdasarkan pada dokumen palsu. Malari sendiri merupakan suatu kejadian saat mahasiswa melakukan demonstrasi dan akhirnya massa berhuru-hara di tengah kunjungan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka. Kemudian selama dua setengah Minggu Soedjatmoko ditahan guna introgasi, dan selama dua setengah tahun tidak diberi izin meninggalkan Indonesia

Lalu pada 1978, Soedjatmoko menerima Penghargaan Ramon Magsaysay untuk Hubungan Internasional yang biasanya disebut Nobel Prize untuk Asia. Menanggapi penghargaan tersebut, ia merasa rendah hati karena kesadarannya terkait sumbangan sekecil apapun yang ia lakukan masih jauh semakin kecil daripada persoalan kemiskinan dan kesengsaraan manusia di Asia.

Soedjatmoko pindah ke Tokyo, Jepang pada 1980. Kemudian pada September 1980, ia mulai menjabat sebagai Rektor Universitas PBB hingga 1987, menggantikan James M. Hester. Selama berada di Jepang, Soedjatmoko menerbitkan dua buku lagi yakni The Primacy of Freedom in Development dan Development and Freedom. Ketika tahun 1985, ia menerima penghargaan Asia Society Award, dan pada tahun berikutnya ia memleroleh Universities Field Staff International Award untuk Distinguished Service to the Advancement of International Understanding.

PUSPITA AMANDA SARI

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus