SEMINGGU setelah pidato RAPBN 1979/1980, Fraksi Karya
Pembangunan melontarkan beberapa masalah. Melalui ketuanya,
Soegiharto, fraksi yang selama ini dekat dengan Pemerintah itu
membeberkan beberapa kritik keras. Misalnya tentang pemilikan
tanah, Fraksi Karya menghimbau Pemeritah agar menyusun program
serius dalam Repelita III untuk mengurangi kerawanan sosial
akibat keadaan pemilikan tanah, terutama di pulau Jawa.
Disebutkannya, para petani di Jawa rata-rata hanya memiliki
tanah 0,3 Ha. Bahkan di Jawa Timur hanya 0,1 Ha. "Ini kalau
dijumlah rata-rata. Tapi sesungguhnya banyak sekali petani di
Jawa yang tidak memiliki tanah," kata Soegiharto. Di lain pihak,
banyak sekali tanah pertanian yang pemakaiannya tidak
semestinya. Misalnya untuk perumahan dan industri. Soegiharto
juga mengungkapkan adanya para pejabat yang memiliki tanah
pertanian berlebihan secara absentee. Artinya: si pemilik tidak
tinggal di daerah pertanahan tersebut.
Mengaku tahu persis siapa nama para pejabat tersebut,
pertengahan Januari lalu Soegiharto juga menegaskan bahwa FKP
sudah menyampaikan daftar nama para pejabat kepada Opstib untuk
diteliti. Dengan nada keras ia menyatakan sulitnya pelaksanaan
UUPA karena adanya para pejabat yang vested interest. "Tidak
semua pejabat yang duduk di pemerintahan mendukung program
pemerintah. Mereka adalah penyabot, " katanya.
Soegiharto juga duduk sebagai Ketua Umum Himpunan Nelayan
Seluruh Indonesia (HNSI). Dia mensinyalir adanya "usaha
subversif yang sengaja memelaratkan nelayan." Katanya, "usaha
perbaikan nasib nelayan selama ini ternyata banyak dijegal.
Misalnya keadaan para nelayan tradisionil di Muncar,
Banyuwangi." Suara keras itu ternyata merupakan semacam
penegasan dari pemandangan umum FKP terhadap Nota Keuangan dan
RUU APBN 1978/1979.
Disampaikan oleh jurubicara FKP Oka Mahendra 18 Januari lalu,
pemandangan umum bidang umum dan politik FKP setebal 19 folio
itu juga mengemukakan hal-hal yang sebelumnya sudah diungkapkan
oleh Soegiharto. Beberapa petikan:
Hak Asasi Manusia. Setelah menjalani dua kali Pelita, tiba
waktunya untuk lebih menyatakan jaminan terhadap hak-hak
tersebut. Perhatian yang kurang terhadap hak-hak manusia itu,
akan menciptakan perasaan-diperlakukan secara tidak adil. Puncak
perasaan semacam itu jika dibiarkan meluas akan menyebabkan
proses radikalisasi massa yang tidak menguntungkan.
Pemilikan Tanah. Naiknya produksi pertanian belum mampu
menaikkan derajat hidup para petani miskin, yaitu petani pemilik
tanah yang kecil, buruh tani dan petani penggarap. Usaha
menaikkan produksi pertanian yang bersifat teknis ekonomis tanpa
memecahkan problema sosial politis dan hukum yang menyangkut
kehidupan petani hanya akan mempercepat proses pemiskinan di
desa. Ketimpangan struktur pemilikan, penggunaan dan penguasaan
tanah adalah penyebab langsung dari proses pemiskinan di desa.
Yang amat tragis, selain para pemilik modal kuat yang mengadakan
pemilikan tanah secara melawan hukum, ada para pejabat yang
memiliki tanah di luar ukuran kepantasan.
Hukum dan Keadilan. Ketidakpastian hukum yang menimbulkan
keresahan sekarang ini disebabkan masih banyak instansi di luar
penegak hukum yang campur-tangan, misalnya dalam proses
pemanggilan, penahanan, pengusutan dan pemeriksaan oleh instansi
yang berwenang. Dalam hubungannya dengan kepastian hukum dan
keadilan, FKP mengharapkan diciptakannya UU Keamanan Nasional
menggantikan UU No. 11/PNPS/1963 yo UU 5/1969 tentang subversi
yang oleh FKP dianggap banyak menimbulkan keresahan.
SIT. Untuk menjamin kriteria yang pasti dari pers yang bebas
dan bertanggungjawab, FKP sejak dulu mendesak agar UU Pokok Pers
ditinjau kembali dalam rangka pencabutan SlT.
Palu
Sekretaris FKP ir. Sarwono Kusumaatmadja menyatakan bahwa
fraksinya "tidak pura-pura dan berpretensi." Yang dilontarkan
FKP, menurutnya bukan hanya merupakan kebutuhan rakyat tapi juga
kebutuhan Pemerintah sendiri.
Bekas Ketua DM ITB di tahun 1960-an itu "ngeri bila suatu saat
timbul proses radikalisasi karena penggunaan kekuasaan yang
semakin meningkat sementara wibawa menurun." Akan halnya lembaga
Kopkamtib yang dinilainya bertentangan dengan UUD 45, bagi
Sarwono juga kurang efektif.
Lebih dari itu, lembaga tersebut baginya tidak mampu memenuhi
harapan masyarakat. "Dulu kita menunggu kepastian Opstib akan
mampu menegakkan kewibawaan hukum. Tapi nyatanya tidak dapat,"
kata Sarwono. Suara yang juga terdengar keras dari Sarwono ini,
dibantahnya merupakan upaya mengambil hati generasi muda
menjelang Pemilu 1982. "Justru FKP berkeinginan hapusnya lembaga
ekstra seperti Kopkamtib maka dicetuskan gagasan yang mungkin
bisa dinilai keras itu," katanya.
Bagi Daryatmo, Ketua DPR-RI yang berasal dari Fraksi ABRI, sikap
FKP seperti itu dianggapnya biasa saja. "Di luaran bisa saja ada
tanggapan yang serius," katanya pekan lalu kepada TEMPO. Jauh
sebelum FKP bicara soal tanah, Fraksi ABRI menurut Daryatmo
sudah menegaskan bahwa "tanah adalah soal hidup mati bagi
petani." Tentang kepastian hukum, "sebelumnya saya sudah
menghimbau FKP agar mengadakan pendekatan dengan Mahkamah Agung
atau Menteri Kehakiman."
Tentang lembaga Kopkamtib, Daryatmo mengibaratkannya sebagai
palu untuk memukul paku, bukan memukul tangan yang memegang
paku. "Memang ada unsur-unsur yang menyalah-gunakan kewenangan
Kopkamtib, misalnya Koramil. Kalau memang demikian, unsur itulah
yang.dibuang. sukan palunya," kata Daryatmo. Mengenai Opstib,
baginya "sebenarnya sudah berbuat sesuatu yaitu penertiban,
meskipun mungkin belum memenuhi semua harapan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini