Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sultan Hamid II, dialah perancang lambang negara Indonesia. Meski begitu, pada akhir kisah hidupnya, ia dituduh makar karena bersekongkol dengan Westerling, Komandan Pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Bagaimana Profilnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari Koran Tempo Edisi 15 September 2013, Sultan Hamid II adalah putra sulung Sultan Pontianak, Sultan Syarif Muhammad Alkadrie. Ia bernama lahir Syarif Abdul Hamid Alkadrie yang kemudian menjadi Sultan Hamid II ini lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Ia merupakan sultan ketujuh dari Kesultanan Pontianak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sultan Hamid II pernah menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di masa Presiden Soekarno (Republik Indonesia Serikat), dan Ketua BFO atau Permusyawaratan Negara-negara Federal dalam Konferensi Meja Bundar.
Sultan Hamid II adalah keturunan Indonesia yang juga berdarah Arab. Semasa kecil, ia pernah diasuh perempuan berkebangsaan Inggris. Istrinya adalah perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak yang kini bermukim di Belanda.
Pendidikan dan Peran Sultan Hamid II
Sultan Hamid II menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat Letnan pada kesatuan Tentara Hindia Belanda.
Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan dan dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak ketujuh menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II.
Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu ikut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.
Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.
Membaca Ulang Sultan Hamid II
Merancang Simbol Negara Indonesia
Pada 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Mohammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M A Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.
Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku Bung Hatta Menjawab untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya Mohammad Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya Mohammad Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.
Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan file dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.
AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Dep Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.
Dituduh Makar dan Bersekongkol dengan Westerling
Pada akhir kisah hidupnya, Sultan Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 karena dituduh bersekongkol dengan Westerling dan APRA. Ia pernah dianggap terlibat dalam Peristiwa Westerling meski berdasarkan putusan Mahkamah Agung Tahun 1953, tuduhan itu tidak terbukti dakwaan primernya. Begini akhir pledoinya:
"Saya akhiri pembelaan saya dengan menyatakan, bahwa saya tetap merasa berbahagia sebagai putera Indonesia, yang telah mendapat kehormatan sebesar-besarnya untuk dapat turut serta di dalam perjuangan mencapai kemerdekaan bagi nusa dan bangsa.
Bagaimanapun bunyinya putusan Mahkamah Agung nanti, apakah saya akan bebas ataupun akan dijatuhi hukuman, tenaga saya tetap saya sediakan, apabila kelak negara membutuhkannya. Dengan uraian-uraian di atas, nasib saya sekarang saya serahkan kepada Mahkamah Agung dengan penuh kepercayaan."
Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
NAUFAL RIDHWAN ALY
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.