Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Tanda Tanya Perkara Cibadak

Rojak dan rekan-rekannya, tertuduh kasus mayat potong sembilan divonis pengadilan negeri Cibadak, Sukabumi, Jawa-Barat. kasus tersebut belum tuntas karena identitas mayat yang sebenarnya terungkap.

10 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERTUDUH mayat potong sembilan Sukabumi, Rojak, Selasa pekan lalu terkulai lemas di Pengadilan Negeri Cibadak, Sukabumi, Jawa Barat. Tukang roti bertubuh besar yang biasanya kukuh itu jatuh pingsan. Begitu siuman beberapa menit kemudian, ia menangis dan kemudian menjerit histeris, "Aku tak berdosa! Aku tak bersalah! Aku tak mau difitnah! Aku tak mau memfitnah." Ia lepas kontrol, tubuhnya terguncang, dan air matanya berlelehan. Tapi anehnya, Senin pekan ini, Rojak, 35 tahun, tenang saja ketika dituntut Jaksa Silitonga hukuman seumur hidup. Ia hanya batuk-batuk, dan menunduk ketika disebut jaksa terbukti sebagai pelaku utama pembunuhan dan pemotong-motong mayat seorang wanita di Sukabumi. Sejak semula memang persidangan mayat terpotong-potong di Sukabumi itu banyak mengundang tanda tanya. Sebab, korban wanita hamil 5 bulan, yang disebut-sebut bernama Ety alias Iroh alias Saroh, sampai kini belum jelas identitasnya. Selain itu, hampir semua terdakwa mencabut keterangannya di berita acara pemeriksaan. Toh persidangan ini tetap digelar. Bahkan lima orang tersangka sudah divonis hakim. Di antaranya Oey Tjong Kiem, 50 tahun, yang disebut-sebut sebagai otak pembunuhan. Korban, konon, adalah "pacar" Tjong Kiem yang menuntut dikawini karena hamil. Tapi, di persidangan, Tjong Kiem hanya terbukti turut serta membujuk melakukan pengguguran kandungan korban. Menurut majelis hakim, Tjong Kiem tak pernah secara tegas menyuruh Endang dan kawan-kawan menghabisi korban. Ia, ketika memberi panjar Rp 100 ribu -- dari Rp 500 ribu yang dijanjikan untuk komplotan itu -- konon hanya berkata, "Terserah kamu saja, yang penting orang tersebut hilang dari sini." Kata-kata itu, menurut hakim, tak bisa diartikan sebagai suruhan untuk membunuh. Karena itu, Tjong Kiem hanya divonis 7 bulan penjara -- sebelumnya jaksa menuntutnya 10 bulan penjara. Tertuduh lainnya, Yandi, pengusaha ayam broiler, yang jadi penghubung Tjong Kiem dengan dukun beranak Mak Enting, juga diganjar 7 bulan. Sedang sopir Yandi, Dedi alias Herdy, yang bertugas meneruskan perintah kepada Endang untuk "melenyapkan" korban, dihukum 6 bulan. Begitu juga Mak Enting, yang memijat-mijat perut korban, dihukum 6 bulan. Tapi istri Rojak, Emah Maryamah, diganjar lebih berat, 8 bulan. Semua terhukum menerima vonis itu, kecuali Emah. Sedangkan Endang, 42 tahun, yang bersama Rojak, Momon, dan Mimin dituduh terlibat langsung membunuh dan memotong-motong korban, rupanya "kebagian" lebih berat. Endang Kamis pekan lalu divonis 20 tahun penjara -- sesuai dengan tuntutan jaksa. Sementara itu, dua pemuda kakak-beradik, Momon dan Mimin, Selasa pekan lalu dituntut jaksa masing-masing 15 tahun dan 12 tahun penjara. Dan ternyata Rojak lebih berat lagi, itu tadi, dituntut penjara seumur hidup. Majelis hakim yang diketuai Rahpian Rusli ternyata sependapat dengan jaksa, bahwa Endang secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan pembunuhan terhadap seorang wanita hamil yang diduga bernama Ety alias Iroh atau Saroh. Menurut Jaksa Silitonga, kejahatan Endang dan kawan-kawan itu kualifikasinya memang berbeda dengan perkara Tjong Kiem. "Tjong Kiem kan hanya terbukti menyuruh melakukan pengguguran. Tapi Endang secara primer terlibat membunuh, memotong-motong, dan membuang korban," katanya. Sebaliknya, Pengacara Zulkifli Syukur dalam pembelaannya mempertanyakan korban yang tak jelas identitasnya. Kejanggalan lain mengenai keterangan tujuh saksi a de charge (meringankan) di bawah sumpah, yang tidak dipertimbangkan. Menurut saksi-saksi itu, Rojak berada di Lampung sejak 15 Mei 1989, atau dua hari menjelang pembunuhan itu. Sebaliknya, enam saksi a charge (memberatkan) mengatakan, Rojak pergi ke Lampung pada 22 Mei 1989 atau setelah pembunuhan terjadi. "Vonis atas Endang itu sadistis, tapi ada juga hikmahnya. Dengan vonis itu, saya berkesempatan mencari kebenaran material di Pengadilan Tinggi Jawa Barat," kata Zulkifli, yang banding saat itu juga. Siapa tahu, di sidang banding siapa sebenarnya mayat itu bisa diungkapkan. Widi Yarmanto dan Heddy Susanto (Biro Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus