SERUAN Presiden Soeharto di depan musyawarah Organda Senin pekan
lalu agar melalui angkutan jalan raya diujudkan pemerataan,
membangkitkan harapan penduduk Desa Pasireurih Kecamatan
Ciomas, Kabupaten Bogor. Ini bukan lantaran angkutan dari desa
itu ke Kota Bogor selama ini sulit. Melainkan karena dunia
angkutan di sana sedikit lain. Salah satunya, jika di Surabaya
misalnya dikenal ada becak siang dan becak malam, di desa ini
ada istilah tarip siang tarip malam.
Pasireurih hanya 9 km arah selatan Kota Bogor. Sebagian besar
dari 6000 jiwa penduduknya bertani. Selebihnya ada yang menjadi
kuli batu, pedagang dan beberapa gelintir buruh di berbagai
sektor, antaranya bangunan. Berbeda dengan umumnya rakyat desa
luar Jawa yang banyak belum-mengenal jalan beraspal, rakyat desa
ini sudah menikmatinya sejak zaman Belanda. Maklum para pembesar
Belanda dulu pada bikin rumah peristirahatan di sana. Salah satu
rumah peristirahatan yang di kalangan penduduk disebut Gedung
Papak dan kini kabarnya dimiliki Dubes RI di Kanada dan bekas
Kapolri Jenderal Polisi Widodo Budidarmo misalnya, konon dulu
tempat istirahat van Mook, orang pertama Belanda pada periode
NICA diakhir 1940-an.
Jalan beraspal warisan Belanda itu masih ada. Merupakan
satu-satunya jalan dari dan ke Kota Bogor. Tapi, dan ini yang
selalu dikeluhkan penduduk, mendadak setelah negeri ini merdeka
jalan itu sering tidak terurus. Perbaikan terakhir diketahui
awal 1975. Selepas itu hanya penduduklah yang kadang-kadang jika
mempunyai waktu luang menaburkan batu atau tanah. Maksudnya
untuk menutup bagian jalan yang sudah menjadi kolam.
Yang menarik bagi penduduk perbaikan jalan yang dilakukan
petugas PU awal 1975 hanya untuk 8 km pertama. Selebihnya tak
terjamah. Dan yang 8 km itu juga akhir-akhir ini penuh lubang.
Ngetem
M. Yusuf Ibrahim, seorang anggota DPRD Kabupaten Bogor satu
waktu hadir dalam upacara Maulud Nabi Muhammad SAW di desa itu.
Menjawab pertanyaan penduduk tentang nasib jalan Bogor (kota) --
Pasireurih ia berkata: "panjang jalan di Kabupaten Bogor ratusan
bahkan ribuan kilometer, kalau perbaikan jalan baru separo
misalnya, ya baru itulah kemampuan kita." Kesimpulannya, apalagi
kalau bukan terbentur soal biaya.
Angkutan dari dan ke Kota Bogor dilayani pikap sebangsa
Daihatsu. Jumlahnya lumayan. Begitu memadainya, sampai-sampai
terkadang kelihatan ada 5-6 kendaraan jenis itu bergerak konvoi
sekaligus. Tapi jangan heran, jika siang hari penduduk pulang
dari Kota Bogor cukup mengeluarkan uang Rp 75, tapi dengan uang
yang sama jangan harap bisa pulang di malam hari. "Supir-supir
ke daerah ini berlagak, asal malam saja enggan narik ke
Pasireurih," ucap seorang penduduk.
Tarip malam Rp 100. Tjetjep salah seorang supir Daihatsu milik
seorang pengusaha sepatu, mengakui hal itu. "Habis kalau malam
penumpang kan agak kurang," katanya berdalih. Kalau siang
katanya ia jarang ngetem atau menunggu penumpang, sedang malam
soal ngetem merupakan keharusan. Padahal sebenarnya "arus
penumpang siang atau malam sebenarnya tidak jauh beda," kata
seorang petugas di kantor Lurah Desa Pasireurih.
Bagian jalan 8 km pertama rusak baru satu dua bulan lalu, akan
hal 1 km sisanya mencapai Desa Pasireurih "entah sejak kapan."
Dulu pengemudi Daihatsu hanya mau membawa penumpang dari Bogor
sampai di Kampung Kebonjati Desa Sukamantri. Sebab hanya sampai
kampung itu aspalnya mulus. Jadi, penduduk Desa Pasireurih boleh
saja diangkut pulang asal mau dengan tarip ekstra. Ulah
pengemudi tersebut berlaku terus sampai sekarang, rupanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini