Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brrr...! Atap seng itu berderak keras. Kaca-kaca bergetar seperti hendak buyar dari kusen yang menjepitnya. Gelas-gelas di meja menggigil memercikkan isinya. Lapo atau kedai minum itu serasa hendak runtuh. Tetapi orang-orang di dalamnya tak peduli dan tetap asyik ngobrol.
”Dah biasa. Lima menit sekali pesawat lewat di atas kepala,” kata Sonarta Tumanggor, 50 tahun, pemilik lapo di Jalan Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara. Polusi suara dan gempa mini sudah biasa mereka rasakan karena Padang Bulan berada di ujung landas pacu Bandara Polonia. Bahkan jika pesawat ukuran besar melintas, alat komunikasi bisa mendadak putus hubungan. ”Ledakan trafo listrik sering terjadi kalau pesawat besar lewat,” kata Tumanggor.
Senin pagi pekan lalu, tak seperti biasa. Pesawat Mandala Airlines dengan nomor penerbangan RI 091 tujuan Jakarta tak terbang di atas kepala. Pesawat gagal naik dan menerjang tiang lampu suar di ujung landasan. Burung besi itu terus meluncur ke Jalan Letjen Jamin Ginting. Pesawat limbung setelah sayap kirinya menabrak tiang listrik di antara permukiman penduduk. Paruh yang menjulang ke udara melorot turun dan menimpa mobil pengangkut durian.
Peristiwa itu hanya berlangsung beberapa detik. Tumanggor yang kala itu sedang berada di luar rumah, tertegun. Laponya hancur dilabrak serpihan pesawat. Semua hartanya ludes terbakar api yang menyembur setelah pesawat meledak. Kecelakaan itu tak hanya menewaskan 99 penumpang dan kru pesawat, tapi juga merenggut nyawa 44 orang yang sebagian besar adalah penduduk Padang Bulan. Belasan rumah, lapo, wartel, rental komputer, kedai kopi, penjahit, dan beberapa toko telepon genggam ludes dimakan api. Sekitar 12 mobil angkutan kota dan empat mobil pribadi serta belasan sepeda motor hangus.
Akibat tragedi itu, warga Padang Bulan punya kebiasaan baru. Setiap kali mendengar deru pesawat hendak lepas landas ataupun mendarat, kepala mereka langsung mendongak. Mereka khawatir kejadian sepekan lalu terulang kembali. Tumanggor yang kini menumpang di rumah tetangga berharap pemerintah segera merealisasi rencana memindahkan Bandara Polonia ke Kuala Namu, Deli Serdang, 48 kilometer dari Kota Medan. Soalnya, menurut Lurah Padang Bulan, Suwito Sinaga, selama ini Bandara Polonia tak memberikan kontribusi yang berarti bagi warga. ”Hanya bising saja yang kita dapat,” katanya.
Menurut Suwito, Padang Bulan awalnya berupa daerah pertanian, yang kemudian berkembang dan mulai dijejali penduduk selama 30 tahun terakhir. Kepadatan penduduk tumbuh pesat seiring perluasan Kota Medan ke wilayah selatan dan timur.
Perkembangan wilayah ini makin pesat dipicu oleh kampus Universitas Sumatra Utara (USU) yang hanya berjarak sekitar lima kilometer. Di sekitar kampus USU kemudian bermunculan perguruan tinggi swasta. Warga yang sebelumnya menggantungkan nasib pada hasil pertanian beralih ke usaha pemondokan atau warung makanan, juga rental komputer, fotokopi dan penjilidan skripsi.
Kawasan Padang Bulan didominasi warga Batak Karo. Mereka telah menyatu dengan pendatang yang jumlahnya terus bertambah. Rumah-rumah di wilayah ini juga beragam dari yang kumuh hingga rumah megah. Sekitar 500 meter dari bangkai pesawat nahas itu terdapat perumahan Taman Citra Garden yang lahannya merupakan bekas markas Batalion Kavaleri Kodam Bukit Barisan yang telah dipindahkan ke kawasan Asam Kumbang Sunggal.
Dulu, di sana pernah terjadi bentrokan antara warga dan anggota Batalion Kavaleri. Penyebabnya, pada 1996, seorang anggota TNI tewas ditikam warga. Beberapa anggota TNI menyerbu dan merusak rumah penduduk. Warga pun bersatu, termasuk nande-nande (kaum ibu). Mereka turun ke jalan mengusir aparat yang mengamuk. Pertikaian itu didamaikan oleh Pangdam Bukit Barisan.
Bentrokan kedua terjadi antara pengembang Taman Citra Garden dan penduduk. Saat itu, tiga tahun lalu, pengembang berniat menguasai lahan warga suku Jawa yang terletak persis di sebelah kanan gerbang. Rumah-rumah warga dibuldoser pengembang. Pemilik rumah marah dan bersama warga lainnya menyerang kompleks perumahan mewah, menghancurkan gerbang, bangunan rumah, dan alat-alat berat. Masalah ini dapat diselesaikan. Pemerintah mewajibkan pengembang membangun kembali rumah yang sudah dibuldoser. Saat ini rumah pengganti berdiri megah di samping kompleks perumahan elite itu.
Kini tak ada lagi bentrokan di Padang Bulan. Kawasan itu menjelma menjadi bagian dari kota besar dengan segala ciri khasnya: jalan macet dan tanah pertanian berganti menjadi permukiman. Bahkan landas pacu tak steril benar. Di ujung landasan terdapat jalan penghubung antara Jalan Jamin Ginting menuju pemukiman Karangsari, Polonia. Jalan ini memisahkan ujung landas pacu dengan lampu pandu suar.
Sisi kanan landas pacu sudah dikepung permukiman padat. Rumah-rumah itu hanya dibatasi Sungai Baburalah. Di sebelah kiri terdapat lapangan golf. Pada 1970-an, sebelum lapangan dan sungai itu dibersihkan, landas pacu itu layaknya jalan raya saja—warga menyeberang dengan santai di sana. Bahkan kala itu perlintasannya hanya dibatasi pintu layaknya jalur kereta api saja.
Padatnya permukiman membuat error sedikit saja oleh pilot, akibatnya bisa fatal. Sebelum peristiwa nahas yang menimpa Mandala, pesawat Garuda Indonesia, 10 tahun lalu, juga nyaris celaka. Ketika itu, saat hendak mendarat, pesawat menyenggol atap rumah warga hingga rusak berat. Meski pesawat akhirnya mendarat mulus, mereka harus mengganti ratusan atap seng yang beterbangan.
Kini lalu lintas pesawat di sana makin padat. Diperlonggarnya peraturan pendirian perusahaan maskapai penerbangan membuat frekuensi penerbangan di Bandara Polonia meningkat pesat dalam lima tahun terakhir. Tahun ini, dalam sehari ada 150 kali penerbangan.
Rencana memindahkan Bandara Polonia ke Kuala Namu tak lagi bisa ditunda. Sebetulnya, sejak 1997, PT Angkasa Pura II Cabang Medan sudah mendirikan pagar di area bakal lokasi bandara dan membangun jalan aspal mengelilingi kawasan tersebut. Namun, proyek besar yang diharapkan memicu perkembangan ekonomi daerah ini terhenti akibat krisis ekonomi. Setelah peristiwa kecelakaan Mandala, pemerintah, mau tak mau, harus kembali menjalankan proyek tersebut.
Penduduk Padang Bulan menyambut baik rencana itu. Toh, selama ini kehidupan ekonomi mereka lebih bergantung pada kampus-kampus di sekitar Universitas Sumatera Utara. Beberapa orang pemilik rumah pemondokan yang rumahnya hancur berharap segera mendapat ganti rugi.
Hal ini dialami Rizal Sembiring, pemilik rumah pemondokan yang hancur akibat tertimpa badan pesawat nahas itu. Jika ganti rugi tak segera diterima, maka penghasilannya dari tempat kos akan hilang. Dulu, saban bulan ia mendapat Rp 3 juta dari 30 kamar yang disewakannya. Selain ganti rugi, Rizal juga berharap Kuala Namu segera beroperasi. Dia khawatir mahasiswa tak lagi mau kos di tempatnya karena trauma setelah kecelakaan itu. Hingga Kamis pekan lalu, Rizal belum tahu pasti berapa anak kosnya yang tewas dalam musibah tersebut.
Liani Putri, mahasiswi USU angkatan 2005, yang ditemui Tempo beberapa jam setelah kecelakaan, tampak tertegun melihat kamar kosnya hancur. Uang titipan orang tua, perhiasan emas, komputer baru, televisi dan semua pakaiannya hangus terbakar. Padahal, dia kos di tempat itu belum lama. Saat kecelakaan terjadi, Liani sedang dalam perjalanan ke kampus.
Pada siang saat Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mengunjungi lokasi kejadian, Liani sempat berteriak, ”Pak Presiden, tolonglah lihat rumah kami!” Presiden menoleh. ”Pemerintah akan bertanggung jawab atas musibah yang terjadi!” kata Presiden menjawab dengan berteriak pula. Liani dan masyarakat Padang Bulan membubarkan diri setelah Presiden meninggalkan lokasi kecelakaan.
Agung Rulianto, Hambali Batubara dan Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo