Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohammad Reza hanya bisa geleng kepala. Karyawan swasta berusia 31 tahun ini baru saja menyetor dana Rp 25 juta untuk mendaftar pergi haji di Bank Syariah Mandiri. Tentu saja ia berharap bisa berhaji sesegera mungkin. Namun bank memberitahukan ia baru bisa menunaikan rukun Islam kelima itu pada 2020.
Delapan tahun jelas bukan waktu yang singkat. Mengakali dengan mendaftar di embarkasi lain pun percuma. Sebab, antrean di setiap daerah sama saja, 5-10 tahun. "Kini saya cuma bisa menunggu,” kata Reza kepada Tempo pekan lalu.
Reza tidak sendiri. Ratusan ribu calon jemaah haji lain mesti menerima "nasib” serupa. Daftar antrean calon haji kini mengular hampir di semua daerah. Hingga Maret tahun ini, Sistem Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Kementerian Agama mencatat antrean calon jemaah haji mencapai lebih dari 1,5 juta orang.
Siapa yang tidak pusing dengan penantian delapan tahun itu? Calon jemaah haji seperti Reza memang hanya bisa pasrah, tapi tidak demikian dengan Kementerian Agama. Petinggi Kementerian mulai mencari cara untuk memangkas durasi antrean.
Mereka percaya, salah satu penyebab panjangnya antrean adalah maraknya program dana talangan haji milik perbankan syariah. Dengan mengikuti program ini, siapa saja bisa mendapatkan nomor urut haji dengan menyetor Rp 2-5 juta. Padahal, untuk mendapatkan nomor urut itu, calon jemaah harus menyetor Rp 25 juta ke Kementerian Agama melalui bank. Kekurangannya itulah yang ditalangi bank.
Nyatanya, program ini benar-benar menarik minat masyarakat. Data Bank Indonesia menunjukkan sedikitnya ada 300 ribu calon haji yang menggunakan dana talangan itu. Jumlah ini melebihi kuota dasar jemaah haji untuk Indonesia yang hanya 211 ribu per tahun. Luar biasa.
Adalah Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah Kementerian Agama, Anggito Abimanyu, yang ingin sekali program dana talangan itu ditinjau ulang. Menurut dia, program tersebut membikin orang yang belum mampu secara finansial ikut-ikutan mendaftar. Konsep "berhaji jika mampu” jadi bias. "Karena dana talangan sangat besar,” katanya.
Tak cuma bicara, Anggito langsung beraksi. Dia menyurati Bank Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia untuk meninjau ulang program tersebut. Tim pengkaji pun dibentuk, dan pada November nanti mereka akan mulai bekerja.
Sepertinya akan terjadi debat sengit di tim pengkaji. Sebab, Dewan Syariah Nasional, lembaga di bawah MUI yang membidani persoalan fatwa, telah merilis fatwa halal untuk berhaji dengan dana talangan.
Menurut Ketua Dewan Syariah Nasional Ma'ruf Amin, penerima dana talangan belum tentu orang miskin. Bank pastilah tidak akan menalangi ongkos haji orang yang tak mampu melunasi angsuran.
Ketua MUI Amidhan menegaskan, Islam tak mengharamkan orang pergi haji dengan dana pinjaman. Syaratnya, orang itu harus memiliki aset untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut. Yang dilarang itu orang yang belum mampu tapi dimampu-mampukan. "Itu pun tidak haram, hanya kurang baik,” katanya.
Keduanya kompak menepis anggapan dana talangan adalah biang keladi panjangnya antrean. Gejala ini, kata Amidhan, lebih karena tingginya animo masyarakat.
Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia Edy Setiadi berpendapat antrean calon haji bisa saja dipangkas tanpa menghapus program dana talangan. Caranya, mematok uang muka minimal dan membuat batas maksimal pelunasan dana talangan.
Entahlah, cara mana nanti yang akan dipilih. Yang jelas, bagi Reza, menunggu sewindu untuk bisa berhaji sudah merupakan ujian tersendiri.
Dwi Riyanto Agustiar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo