SEJARAH berubah, meskipun tidak mendadak. Setelah hampir seperempat abad, buat pertama kalinya Senin sore pekan ini seorang perdana menteri Cina disambut di Jakarta. Maka, ketika Presiden Soeharto mengatakan kepada Perdana Menteri Li Peng, "Kedatangan Anda ke sini merupakan tonggak sejarah buat kita," -- seperti yang ditirukan oleh Menteri Sekretaris Negara Moerdiono kepada TEMPO -- pemimpin Indonesia itu mengatakan sesuatu yang tidak berlebihan. Apa yang terjadi memang luar biasa. Tak mengherankan bila di balik kelancaran penyambutan resmi, ada detail yang aneh. Tiba-tiba saja, misalnya, undangan Jamuan makan kenegaraan untuk menyambut petinggi Cina itu di Istana Negara -- dijadwalkan Selasa malam pekan ini terpaksa mengalami cetak ulang. Ternyata, nama istri Li Peng tak mau dicantumkan di dalam undangan itu sebagai Mrs. Li Peng. Sang nyonya ingin disebut sebagai Madame Zhu Lin dalam undangan. Kebiasaan ini nampaknya lazim bagi pimpinan Partai Komunis Cina: janda Mao Zedong lebih kondang dengan nama Jian Qing, istri Zhou Enlai lebih suka disebut Madame Deng Yingzhao. Bahwa kebiasaan itu tak disadari oleh tuan rumah, maklumlah: sudah sekian lama Pemerintah RI tak kedatangan tamu penting dari Cina. Pejabat tertinggi RRC yang terakhir berkunjung ke Indonesia adalah Presiden Liu Shaoqi, pada 1963. Sebelumnya, PM Zhou Enlai yang menghadiri Konperensi Asia Afrika di Bandung, 1955. Kini, 1990 setelah 10 jam terbang dari Beijing, pesawat Boeing 707 milik pemerintah Republik Rakyat Cina masuk ke Bandara Halim Perdanakusuma, mengangkut rombongan Perdana Menteri Li Peng yang berjumlah 84 orang -- termasuk 20 wartawan. Di dalamnya juga terdapat Menlu Qian Qichen dan Menteri Perdagangan Luar Negeri (ina Zhen Tuobing. Hari baik itu (cuaca Jakarta, kata Li Peng kepada Pak Harto, "Ternyata tak sepanas yang saya duga") mengawali pertemuan resmi. Selasa, presiden Indonesia dan perdana menteri Cina berjumpa dalam agenda pembicaraan paralel. Lalu, pada hari berikutnya, Rabu pekan ini, dua pemimpin tadi menorehkan tanda-tangannya dalam sebuah nota Memory of Understanding (MOU) untuk melelehkan kembali hubungan diplomatik RI-Cina yang sempat membeku sejak 1967 silam sebuah rentang waktu yang cukup panjang, Membekunya hubungan diplomatik antara kedua negara ini tak lepas dari peristiwa G30S pada 1965. Peristiwa berdarah di Jakarta yang dilancarkan kekuatan prokomunis itu, dalam penilaian pemerintah Indonesia, mendapat restu dari pemerintahan komunis di Beijing. Inilah yang mengakibatkan upaya normalisasi di antara kedua negara menjadi tersendat-sendat. Apalagi ditambah dengan perasaan anti-orang Cina yang di Indonesia yang sampai sekarang pun masih terus bertiup kencang, setidaknya diam-diam. Seperti pernah diakui oleh Menhankam L.B. Moerdani di depan wartawan dalam seminar "Forum Indonesia" yang berlangsung di Hotel Hilton, Jakarta, bulan lalu, masih adanya semangat anti-Cina ini -- entah itu Cina yang berasal dari RRC, Singapura, ataupun Taiwan -- membuat langkah Pemerintah RI menjadi tertatih-tatih menuju normalisasi. Tak mengherankan bila ada suara-suara yang melihat upaya normalisasi RI -- Cina ini dirasakan terlalu cepat. "Saya tidak menentang kebijaksanaan pemerintah. Cepat atau lambat, memang kita harus membuka hubungan kembali dengan Cina. Tapi kalau sekarang, kurang tepat timingnya," ujar Jenderal (Purn.) Yoga Sugama, mantan Kepala Bakin. Yoga melihat, seperti yang tertulis dalam biografinya yang berjudul Memori Jenderal Yoga, Cina terlibat mempersenjatai PKI dalam kudeta berdarah G30S pada 1965. Tak mengherankan bila, kata Yoga kepada TEMPO, "menurut saya masih perlu waktu lagi untuk normalisasi." Bekas pimpinan intelijen RI itu juga menilai, kalaupun motivasi normalisasi sekarang ini adalah kepentingan perdagangan, tanpa hubungan diplomatik pun kedua negara itu sudah melakukannya. Ia melihat jenis barang produksi RRC yang masuk ke sini ternyata jumlahnya lebih banyak dari yang terdaftar resmi. Artinya: ada penyelundupan. Yoga juga khawatir bila setelah normalisasi ini maka arus barang dari RRC bakal membanjiri pasar Indonesia. Dampaknya bakal memukul produk-produk industri rumah Indonesia. Menurut Yoga, Cina bakal memukul-- produk-produk murah meriah seperti obat nyamuk, korek api, panci, gelas, atau petromaks. Barang Indonesia yang kualitasnya lebih bagus tapi lebih mahal tentu bakal kedodoran. Ada yang mengatakan, skenario dagang tak sepenuhnya sesuram yang digambarkan Yoga Sugama. Lihat saja neraca perdagangan RI-Cina. Selama ini angin baik justru bertiup ke Indonesia. Tahun lalu, dari data yang dikumpulkan Departemen Perdagangan RI, Indonesia mengalami surplus US$ 42 juta dari volume perdagangan yang jumlahnya mencapai US$ 1.096 juta. Beberapa komoditi seperti kopi atau kayu asal Indonesia ternyata laku keras di pasaran Cina. Malah, menurut Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita kepada TEMPO, selama ini Cina mengimpor minyak Indonesia 10 sampai 20 ribu barel setiap tahunnya. Permintaan sebetulnya lebih dari itu. Tapi minyak kita terbatas. Cina, yang ekonominya agak kepepet karena tahun lalu laju inflasinya mencapai 30%, menurut pengusaha Sukamdani S. Gitosardjono, juga bersedia melakukan barter. Kini sudah 12 komoditi ekspor RI ke Cina yang sudah disepakati sebagai alat barter, yaitu besi beton, baja lembaran pupuk, semen, karet, kayu lapis dan jamu. Sedangkan produk-produk Cina yang diincar oleh pengusaha Indonesia antara lain adalah kapas, kacang kedelai, dan batu bara. Memang, niat berbaik kembali hubungan diplomatik kedua negara ini justru dimulai dari sektor ekonomi. Persisnya dengan penandatangan MOU di Singapura, Juli 1985, antara Kadin Indonesia dan CCPIT (Badan Promosi Perdagangan Internasional Cina). Ketika itu Sukamdani menjabat sebagai Ketua Kadin Indonesia. Sejak itu hubungan dagang RI-Cina terus melesat. Pada 1986, volume perdagangannya masih sekitar US$ 576 juta -- Indonesia masih mengalami defisit US$ 98 juta. Tapi dua tahun kemudian keadaan berbalik: Indonesia justru mendapatkan surplus sampai US$ 53,1 juta, dengan volume perdagangan antara kedua negara melejit sampai US$ 930,5 juta. Di samping soal dagang, ada soal lain. Seorang pejabat tinggi pemerintah menatakan, sebuah hubungan diplomatik diperlukan sebagai "sarana dan tata krama" pergaulan dalam forum internasional. Adanya hubungan diplomatik antara dua negara tak berarti mereka harus bersahabat. Ambil contoh hubungan Cina dan India. Kedua negara itu hingga kini masih terus mempertahankan kedutaan besarnya masing-masing sekalipun mereka pernah terlibat perang terbuka pada 1962, dan konfliknya masih terus-berlarut dalam soal perbatasan. Begitu juga Cina dan Vietnam. Hubungan kedua negara ini juga jauh dari mesra. Malah Cina pada 1979 melakukan invasi ke Vietnam dengan dalih "memberi pelajaran". Hal itu terjadi ketika Cina tak suka melihat Vietnam menduduki Kamboja dan menggulingkan pemerintahan Khmer Merah di Phnom Penh yang didukung Beijing.Toh sampai kini pun kedua negara itu tak memutuskan hubungan diplomatik. Bagaimana dengan tuduhan terlibatnya RRC dalam peristiwa G30S? Kata Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro, "Kita bukan bangsa yang pendendam. Dan yang penting komunis tak lagi berkembang di sini." Adapun isyarat RI untuk membuka lagi hubungan ditandai dengan pidato Presiden Soeharto di depan MPR, Maret 1988 silam. Ketika itu Pak Harto mengingatkan kecuali perlunya membuka kembali hubungan dengan Cina. Syarat yang diajukan oleh pemerintah RI hanyalah pernyataan dari pihak Cina untuk "tak mencampuri urusan dalam negeri RI berdasarkan prinsip-prinsip Dasasila Bandung". Tugas selanjutnya pun diamanatkan kepada Ali Alatas, yang dilantik sebagai Menteri Luar Negeri RI pada Maret 1988. Ali Alatas yang tahun itu memimpin delegasi Indonesia dalam sidang ESCAP di Bangkok, bertemu dengan delegasi Cina yang dimpin oleh Wakil Menlu Xu Dunxin. Dalam kesempatan itu Xu menjelaskan keinginan pihak Cina untuk menormalisasikan hubungan diplomatik dengan Indonesia dengan persyaratan seperti yang diminta oleh Pak Harto. Cina, yang sedang memusatkan diri kepada perbaikan ekonomi itu, nampaknya memang gencar memperbaiki hubungan dengan Jakarta. Indonesia pun sudah lama nginginkan adanya normalisasi. Ide inilah berkali-kali ditiup-tiupkan oleh almarhum Adam Malik di tahun 1970-an. Makksudnya adalah untuk menjaga keseimbangan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara. Tapi, ide Adam Malik itu kurang pendapat sambutan di dalam negeri. Pertimbangannya, karena alasan sekuriti mengingat bahwa Cina masih menyokong setiap gerakan komunis di Asia Tenggara. Namun, berkembangnya kekhawatiran sekitar normalisasi RI-Cina ini, menurut Hadi Soesastro, pakar politik dan ekonomi dari lembaga CSIS, malah bisa jadi bumerang. Karena, kata Hadi Soesastro, "Akan menunjukkan adanya ketidakpercayaan dalam diri masyarakat Indonesia. Hal ini dapat memberi citra tak stabilnya Indonesia mata dunia." Tanda terpenting ke arah perubahan sikap tampak di Tokyo. Menjelang acara pemakaman Kaisar Hirohito di Tokyo Februari 1989 silam, Menlu Cina Qian Qichen mengirim kawat kepada Ali Alatas lewat Perwakilan Tetap RI di PBB yang bermarkas di New York. Qian menanyakan kemungkinan bertemu dengan Alatas di sela-sela upacara pemakaman agung yang hadiri para pemimpin dunia itu. Ternyata, Alatas tak bisa mendampingi Presiden Soeharto ke Tokyo karena arus memimpin pertemuan informal tentang Kamboja di Jakarta. Tapi Qian tak menyerah. Ia mengajukan permohonan agar bisa dipertemukan dengan Menteri Moerdiono, yang ketika itu ikut dalam rombongan Presiden. Lewat Moerdiono inilah Qian kemudian dipertemukan dengan Presiden Soeharto. Tak ayal, pertemuan antara Pak Harto dan Menlu Qian di Suite Room 1601 Hotel Imperial Tokyo akhir Februari 1989 itu tercatat sebagai usaha paling serius untuk melakukan normalisasi. Beberapa ganjalan lain, seperti soal utang, kemudian dibereskan. Utang Indonesia dari masa pemerintahan Bung Karno, yang menurut klaim Cina jumlahnya mencapai lebih dari US$ 50 juta, akhirnya sebagian malah disepakati untuk dibayar dengan minyak mentah, karet, kayu, pupuk, dan berbagai komodoti. Jalan menuju ke arah normalisasi pun menjadi semakin mulus setelah kunjungan Menlu Ali Alatas ke Beijing, awal bulan lalu. Inilah kunjungan seorang Menteri Luar Negeri RI yang pertama sejak 25 tahun terakhir. Di awal tahun 1965, Menlu Subandrio adalah pejabat tertinggi RI terakhir yang pernah berkunjung ke Beijing. Kini, setelah normalisasi, memang banyak hal yang bisa dilakukan oleh kedua negara. Dalam soal penyelesaian konflik Kamboja, misalnya, Cina dan Indonesia kini bisa lebih berperan secara langsung. Tentu, pekerjaan rumah itu bakal mudah digarap Menlu Alatas. Sebab, seperti kata Hadi Soesastro, "Bagaimana kita bisa berperan di arena politik internasional tanpa ada hubungan diplomatik dengan RRC." Itu sebabnya, bagi dia, tak ada alasan untuk tak menyetujui normalisasi. Begitu pula halnya pandangan Juwono Sudarsono. Pengajar dan pengamat hubungan internasional dari UI ini berpendapat bahwa normalisasi justru bakal menguntungkan Indonesia. "Indonesia bisa menjadi semacam pialang politik yang lebih resmi" antara Vietnam dan Cina dalam meyelesaikan soal Kamboja. Praktek itu setidaknya bisa dilakukan dalam waktu dekat melalui forum ASEAN. Ada juga yang menganggap bahwa pulihnya hubungan diplomatik ini bisa diharapkan memperbaiki posisi Indonesia dalam niatnya untuk memimpin kembali kelompok "nonblok" meskipun, dengan perkembangan di Uni Soviet kini, perang dingin sudah selesai dan baik "blok Barat" dan "blok Timur" sudah kehilangan maknanya -- begitu pula gerakan "nonblok" sudah kehilangan momentumnya. Tak kurang penting, Indonesia bisa mengharapkan dukungan RRC di PBB dalam pembicaraan soal Timor Timur. Semua itu tentu saja masih perlu waktu biarpun Li Peng sudah datang. Ahmad K. Soeriawidjaja, Liston P. Siregar, Linda Djalil, dan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini