SETELAH direnovasi, sosok bangunan kompleks Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) kini tampak megah. Bisa dimengerti bila wajah komandan Seskoad Mayor Jenderal Feisal Tanjung, 50 tahun, kelihatan berseri-seri saat merayakan HUT ke-39 Seskoad yang jatuh Jumat pekan silam. Tentu bukan hanya bangunan fisik semata yang didandani. Secara terus-menerus lembaga pendidikan pengembangan umum tertinggi di lingkungan TNI AD itu juga membenahi kurikulumnya. Semuanya itu, "Dalam rangka mempersiapkan perwira-perwira muda menyongsong tahun yang akan datang dalam kemampuan sebagai pemimpin," kata Feisal, pria kelahiran Tarutung, Sum-Ut yang lulus AMN 1961 itu. Berikut petikan wawancara khusus Mayjen. Feisal yang dijumpai oleh Widi Yarmanto dan Ida Farida dari TEMPO: Ketegangan dunia kini mulai mereda. Ancaman perang terbuka sekarang tampaknya menipis. Lalu, apakah titik berat pendidikan di Seskoad kini lebih dialihkan ke sosial-politik dalam kurikulumnya? Keadaan damai adalah persiapan untuk perang. Salah sekali kalau ada pimpinan angkatan bersenjata di negara mana pun yang menganggap bahwa keadaan damai itu keadaan santai. Kami tak bisa menjamin bahwa dalam 10 tahun yang akan datang tak akan ada perang. Perang bisa saja terjadi mendadak. Para perwira yang kami cetak selalu kami arahkan kepada dua hal, yaitu mampu sebagai kekuatan hankam maupun sebagai kekuatan sospol. Seperti two sides in one coin. Jadi, harus selaras, seimbang, dan serasi. Tentu kami ikuti perkembangan ilmu dan teknologi dalam rangka mempersiapkan perwira-perwira muda menyongsong tahun yang akan datang dalam kemampuan sebagai pemimpin. Dalam usia yang sudah menginjak 39 tahun ini, perubahan kurikulum apa saja yang sudah dilakukan oleh Seskoad? Adakah perbedaannya, misalnya, dengan lima tahun yang lalu? Jelas ada. Begini, dulu para pejabat yang sekolah di sini sudah menjabat dulu baru sekolah. Sudah berpengalaman, tapi akademis baru belakangan diberikan. Misalnya, Pak Soeharto (Presiden Soeharto) waktu sekolah di Seskoad, beliau sudah menjabat Pangdam Diponegoro. Almarhum Jenderal Gatot Subroto juga menjadi siswa setelah menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat. Buat para perwira muda, tentunya lebih sistematis kami berikan. Sebelum mereka menjabat, kami berikan ilmu-ilmunya itu. Kemudian pelajaran di sini bukan one way, dari guru kepada siswa. Tetapi two way traffic. Mereka membentuk kelompok-kelompok diskusi. Memang, 39% dari materi kuliah yang ada bentuknya adalah diskusi. Ini metode yang paling baik. Apa saja persyaratan untuk masuk Seskoad? Sekarang siswa Seskoad minimal berpangkat mayor. Berumur maksimal 42 tahun. Dulu ada siswa berpangkat kolonel, ada juga yang mayor jenderal. Pak Jusuf (mantan Menhankam/Pangab) itu masuk ke sini berpangkat mayor jenderal. Ibnu Sutowo dan Ali Moertopo sudah berpangkat mayor jenderal baru masuk ke sini. Biasanya yang lulus testing sekitar 10-15% dari 800 calon perwira tiap tahunnya. Saya gembira akhir-akhir ini ada kenaikan, yaitu 20% lebih. Ini membuktikan kualitas perwira saat ini makin baik kemampuannya. Bagaimana Anda mengatasi adanya perbedaan latar belakang antara Angkatan'45 dan perwira keluaran AMN generasi pasca'45? Orang yang masuk di Akademi Militer itu kayak batu yang bermacam-macam bentuknya. Di militer itulah ditatah, tek, tek, tek . . . sedemikian rupa sesuai dengan bentuk yang kami hendaki. Itu kewajiban akademi, mendidik seseorang 3-4 tahun di sana. Mendidik orang yang beragam suku bangsa dengan segala latar belakang, beragam tingkatan mulai dari anak menteri sampai anak desa. Motivasi ditanamkan, cinta tanah air ditanamkan, bila perlu nyawanya dikorbankan. Soal kesenjangan sosial kini jadi isu yang ramai. Bagaimana Seskoad melihatnya? Kami selalu mengajarkan kepada mereka, cegah itu semua kesenjangan. How to solve the problem, itu ada teorinya bagi mereka. Dan itu didiskusikan bagaimana cara mengatasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini