Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPASTIAN revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bakal disahkan pada Jumat pekan lalu tergambar dari pantun Yasonna Hamonangan Laoly. Seusai rapat dengan panitia khusus rancangan undang-undang tersebut sehari sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu membacakan pantun karangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Burung Irian, burung cenderawasih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terbang tinggi sekali
Mudah-mudahan undang-undang ini disahkan esok hari
Sekian dan terima kasih...."
Keesokan harinya, revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Sejak diajukan pemerintah pada Februari 2016, pembahasan aturan ini sempat terkatung-katung. Desakan untuk merampungkannya menghangat tiap kali terjadi teror. Begitu horor berlalu, pembahasan kembali anyep.
Ketika bom mengguncang Surabaya dan sekitarnya tiga pekan lalu, DPR dan pemerintah kembali kalang-kabut. Presiden Joko Widodo sampai mengultimatum bakal menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika pembahasan tak kunjung rampung. "Kalau nanti di akhir masa sidang di bulan Juni belum diselesaikan, akan saya keluarkan perpu," katanya Senin dua pekan lalu.
Persoalannya, tersendatnya pembahasan revisi ini juga lantaran pemerintah tidak kompak. Pada 23 November 2016, Menteri Pertahanan dan Kepala Kepolisian RI mengirimkan layang kepada panitia khusus yang berisi penjelasan mengenai definisi terorisme. Pada 3 Februari 2017, giliran Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan yang bersurat. Ketiganya membuat definisi terorisme yang berlainan.
Di luar soal definisi, perbedaan suara di kubu pemerintah disebabkan oleh "rebutan" kewenangan antara polisi dan tentara. Perwakilan Tentara Nasional Indonesia gencar melobi panitia khusus agar mereka diberi kewenangan ikut menindak terorisme dalam aturan yang baru. Panglima TNI waktu itu, Gatot Nurmantyo, bahkan sampai turun tangan.
Pada awal 2017, Gatot Nurmantyo mengundang sejumlah anggota panitia khusus ke rumah dinasnya di Menteng, Jakarta Pusat. Politikus yang hadir antara lain ketua panitia khusus dari Partai Gerindra, Muhammad Syafi'i; Risa Mariska dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; dan Arsul Sani dari Partai Persatuan Pembangunan. Gatot memaparkan kemampuan intelijen tentara dan pentingnya mereka terlibat dalam penanganan terorisme.
Polisi juga aktif melobi politikus Senayan. Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin mengundang politikus seperti Trimedya Panjaitan dari PDI Perjuangan, Akbar Faisal dari NasDem, dan Arsul Sani ke rumah dinasnya di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Syafruddin khawatir tentara dan polisi bergesekan di lapangan bila kewenangannya tumpang-tindih.
Definisi terorisme menjadi pintu masuk perebutan kewenangan tersebut. Dalam sejumlah rapat panitia khusus, perwakilan TNI menginginkan agar kata "tindak pidana" di depan "terorisme" dihapus. Sebaliknya, perwakilan kepolisian ingin terorisme tetap masuk ranah pidana sehingga penindakannya tetap dalam koridor penegakan hukum. Tak menemukan kata mufakat, panitia khusus memilih menunda pembahasan mengenai definisi. "Pembahasannya belakangan saja," ujar Risa Mariska.
Bom Surabaya melecut Dewan dan pemerintah untuk bergegas. Ketua DPR Bambang Soesatyo merasa lembaganya menjadi kambing hitam atas penundaan pengesahan revisi aturan terorisme. Politikus Partai Golkar itu menyerukan bahwa parlemen tak bisa lagi menunda-nunda pembahasan. "Kami berkomitmen menyelesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya," kata Bambang.
Pada Ahad pekan lalu, Bambang mengumpulkan fraksi-fraksi pendukung pemerintah di rumahnya. Politikus yang hadir antara lain Ketua Fraksi PDI Perjuangan Utut Adianto dan dua anggota fraksinya, Risa Mariska dan Trimedya Panjaitan; politikus PPP, Arsul Sani; serta politikus Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi. Bambang meminta panitia khusus memulai pembahasan sejak Senin pekan lalu. "Pertemuan membahas tahapan menuju pengesahan," ujar Bobby.
Pemerintah juga mengebut pembahasan. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengumpulkan pejabat polisi, tentara, dan jaksa pada Senin dua pekan lalu. Walhasil, kubu pemerintah yang selama ini terbelah menyepakati definisi terorisme. Kesepahaman ini kemudian diteken oleh para pejabat yang hadir.
Terorisme dirumuskan sebagai "perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan teror atau rasa takut secara meluas", yang dampaknya "menimbulkan korban secara massal, kerusakan obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, dan fasilitas internasional". Adapun frasa "yang disertai dengan tujuan ideologi, politik, dan/atau ancaman terhadap keamanan negara" ditaruh di bagian pertimbangan atau penjelasan undang-undang.
Empat hari berselang, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengundang sejumlah pejabat ke kantornya. Yang hadir antara lain Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Suhardi Alius, serta Kepala Badan Intelijen Negara Budi Gunawan. "Saya melaporkan kepada Menkopolkam bahwa kami sudah menemukan titik temu soal definisi," kata Yasonna.
Kesepakatan tersebut membuat Muhammad Syafi'i masygul. Syafi'i adalah anggota panitia khusus yang mendorong agar frasa "motif politik, ideologi, dan gangguan keamanan negara" tetap menjadi bagian dari pengertian terorisme. Hari itu juga dia bertamu ke rumah dinas Jenderal Tito Karnavian.
Syafi'i mempertanyakan perubahan sikap polisi mengenai definisi terorisme. Sebab, dalam surat tertanggal 23 November 2016, Kepala Polri menyebutkan ada dua definisi terorisme. Pertama, terorisme adalah kejahatan terhadap negara. Kedua, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap sasaran sipil (nonkombatan) dengan motif ideologi atau politik.
Menurut Syafi'i, ada juga penolakan dari Detasemen Khusus Antiteror 88 Polri soal masuknya motif politik dan ideologi dalam pengertian terorisme. "Saya juga heran kenapa Densus menolak," ujar Syafi'i.
Walau begitu, Syafi'i membantah mendesak Jenderal Tito Karnavian untuk menyepakati masuknya frasa motif ideologi dan motif politik ke definisi terorisme. "Saya hanya bertanya, 'Pak Kapolri kemarin kan sudah bikin surat bahwa definisinya seperti ini. Kenapa dalam perkembangannya anggota Bapak berbeda sikap? Apakah Bapak mendua?'," kata Syafi'i. Juru bicara Polri, Inspektur Jenderal Setyo Wasisto, membantah jika lembaganya disebut tak satu suara mengenai definisi terorisme.
Sepanjang pekan lalu, definisi terorisme masih menjadi topik utama perdebatan dalam rapat panitia khusus. Keinginan pemerintah menaruh frasa "motif ideologi, politik, dan/atau ancaman terhadap keamanan negara" di bagian pertimbangan atau penjelasan pasal tak terkabul. "Di DPR ada penambahan kata-kata dengan tujuan politik," ucap Menteri Yasonna.
Setelah melewati perdebatan alot, tim pemerintah melunak. Mereka menyepakati motif politik dan ideologi masuk sebagai pengertian terorisme. Tapi pemerintah tetap berkeberatan terhadap frasa "gangguan keamanan negara". Jalan tengahnya: pemerintah bersedia mengakomodasi "gangguan keamanan" asalkan tidak diikuti kata "negara". "Supaya tidak ada tafsir lain," kata ketua tim pemerintah, Enny Nurbainingsih. "Frasa 'keamanan negara' bisa bersinggungan dengan yang ada di Undang-Undang TNI."
Enny mengatakan keamanan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini meliputi wilayah, negara, dan segala halnya. Definisi mengenai keamanan ini semestinya diatur dalam Undang-Undang tentang Keamanan Nasional. Penghilangan kata "negara" juga jalan tengah untuk membatasi ruang gerak tentara dalam Undang-Undang Antiterorisme. Tapi tentara tetap bisa ikut menangani terorisme meskipun tak ada kata "gangguan keamanan negara". "Hanya perlu teknis lebih lanjut," ujar Enny.
Bobby Rizaldi mengatakan, dalam Undang-Undang Antiterorisme yang baru, kewenangan tentara dalam penanggulangan terorisme sebenarnya tidak ada yang berubah. Menurut politikus Golkar ini, yang membedakan aturan anyar itu dengan yang lama adalah amanat untuk menyusun peraturan presiden. Tujuannya agar pembagian kewenangan antara polisi dan tentara tidak dilakukan di DPR, tapi di pemerintah-diatur dalam peraturan presiden.
Meskipun peraturan presiden merupakan kewenangan pemerintah, menurut Bobby, khusus untuk peraturan presiden ini penyusunannya bakal diobrolkan dengan DPR. Menteri Yasonna Laoly tak menampik anggapan bahwa ketentuan mengenai peraturan presiden merupakan titik kompromi antara tentara dan kepolisian.
Direktur Kebijakan Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan, Brigadir Jenderal Muhammad Nakir, mengatakan lembaganya bakal membuat rancangan peraturan presiden yang isinya mengatur pengerahan TNI dalam menangani terorisme. "Intinya, bagaimana kita memanfaatkan pasukan yang kami punya," kata Nakir pada Selasa pekan lalu.
Di Senayan, hingga Rabu pekan lalu fraksi-fraksi tak kunjung sepakat dengan definisi terorisme walau itu sudah bolak-balik dibahas. Karena itu, pemerintah mengusulkan dua alternatif definisi terorisme untuk dibawa ke rapat kerja panitia khusus dengan Menteri Hukum dan HAM. Pertama, definisi terorisme yang tidak menyertakan motif politik, ideologi, dan gangguan keamanan. Definisi ini didukung oleh Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Kedua, dengan menyertakan motif tersebut.
Definisi kedua pun masih ditolak oleh Fraksi Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Demokrat. Alasannya, pemerintah tak menyertakan kata "negara" di belakang "gangguan keamanan". "Kalau soal keamanan saja masih umum. Padahal kami sudah sepakat melibatkan TNI," ujar politikus PAN, Muslim Ayub. Pendapat kubu PAN diiyakan Fraksi Demokrat. "Kurang kata 'negara'. Kalau tidak ada kata 'negara', TNI tidak bisa masuk," ucap politikus Demokrat, Darizal Basir.
Setelah melewati perdebatan, PAN dan Demokrat bersedia menerima tawaran pemerintah dengan syarat keamanan nasional dimaknai secara luas. "Jadi, kalaupun berhenti pada kata 'keamanan' tanpa 'negara', ini tidak dimaknai sempit," tutur Wakil Ketua panitia khusus dari PAN, Hanafi Rais.
Dengan PAN dan Demokrat setuju, jalan revisi aturan antiterorisme praktis jadi gangsar. Apalagi PDI Perjuangan dan PKB, yang semula memilih definisi pertama, beralih ke opsi kedua dalam rapat kerja dengan Menteri Yasonna Laoly pada Kamis pekan lalu.
Maka, saat berpidato di sidang paripurna pada Jumat pekan lalu, Yasonna pun kembali berpantun.
"Membawa buah tangan dari Pekalongan
Batik menawan dan mempesona
Pandangan fraksi telah disampaikan
Hari ini RUU Terorisme kita sahkan di paripurna...."
Wayan Agus Purnomo, Caesar Akbar, Rezki Alvionitasari
Tentara di Medan Terorisme
DEWAN Perwakilan Rakyat dan pemerintah akhirnya mengesahkan revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Jumat pekan lalu. Tapi aturan baru itu masih menyimpan potensi masalah dan mengundang kontroversi. Terutama soal pelibatan tentara dalam mengatasi terorisme.
Beda Dulu dan Sekarang
Aturan lama
- Definisi Terorisme: Tidak mengatur definisi.
- Pelibatan TNI: TNI tidak dilibatkan.
- Penyadapan: Paling lama setahun.
- Penangkapan, Penahanan, dan Penuntutan:
• Tidak ada sanksi bagi aparat yang tidak memperhatikan hak asasi manusia.
• Penangkapan berlangsung 7 x 24 jam.
• Penahanan pada masa penyidikan dan penuntutan paling lama enam bulan
- Hak Korban: Tidak mengatur hak-hak korban.
- Pengawasan: Tidak ada pengawasan oleh DPR.
Aturan baru
- Sistematik: Aturan baru menambahkan bab tentang pencegahan, korban, kelembagaan, pengawasan, dan peran TNI.
- Definisi Terorisme: Mengatur definisi dengan lebih detail.
- Pelibatan TNI: TNI bisa dilibatkan.
- Penyadapan: Paling lama setahun dan bisa diperpanjang setahun.
- Penangkapan, Penahanan, dan Penuntutan:
• Aparat yang melanggar hak asasi bisa dipidanakan.
• Masa penangkapan: 14 hari.
• Penahanan paling lama 120 hari dan bisa diperpanjang 60 hari dan dapat diperpanjang lagi 20 hari. Untuk penuntutan, paling lama penahanan 60 hari dan bisa diperpanjang 30 hari.
• Penelitian berkas oleh penuntut umum paling lama 21 hari
- Hak Korban: Ada pengaturan hak korban, seperti kompensasi, bantuan medis, serta rehabilitasi psikososial dan psikologis.
- Pengawasan: DPR membentuk tim pengawas penanggulangan terorisme.
Berpotensi Bermasalah
1. Definisi Terorisme
• Memasukkan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.Polisi bisa kesulitan membuktikan unsur ini dalam penegakan hukum.
• Terorisme menimbulkan korban bersifat massal.Tidak semua aksi terorisme menimbulkan korban dalam jumlah banyak.
2. Pelibatan TNI (Pasal 43-I) • TNI bisa terlibat mengatasi terorisme.
Pelibatan TNI dianggap belum perlu karena polisi masih mampu mengatasi aksi terorisme. Aksi terorisme tetap merupakan bagian dari penegakan hukum yang menjadi ranah kepolisian.
3. Penyadapan (Pasal 31)
• Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik berwenang menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain. Masa penyadapan berlangsung satu tahun dan bisa diperpanjang satu kali.
Pasal ini dikhawatirkan menjadi dasar menjalankan kegiatan intelijen. Kegiatan penyadapan juga dianggap terlalu lama.
4. Penangkapan dan penahananBelum diatur sejumlah hal penting, seperti akses pendampingan hukum, akses keluarga, dan hak untuk mendapatkan kompensasi jika terjadi kesalahan penangkapan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo