Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

15 Tahun Penjara

PADA 25 April 2018, koran-koran memuat berita utama mengenai Setya Novanto yang mendapat vonis 15 tahun penjara dan kena denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan.

27 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bandung Mawardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA 25 April 2018, koran-koran memuat berita utama mengenai Setya Novanto yang mendapat vonis 15 tahun penjara dan kena denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan. Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 24 April 2018 itu memicu pelbagai tanggapan. Konon, Setya Novanto mengaku terkejut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kita tak sedang berkomentar tentang hukum atau politik. Kita sejenak memikirkan saja penulisan atau penggunaan kata "penjara" dalam pemberitaan. Dulu, kata "penjara" telah digunakan dalam tulisan-tulisan di surat kabar. Kita buka Medan Prijaji edisi 5 Februari 1910. Bagelener menyuguhkan artikel berjudul "Fikiran Djahat Djangan Sampe Menoelar (Berdjangkit)". Artikel itu mengandung usul: "Pada sangkaan orang banjak, sekalian orang jang kena hoekoeman pendjara itoe tentoe soedah melakoekan kedjahatan, teroetama perkara mentjoeri, merampok, membegal. Maski diantara jang dipendjara itoe termasoeknja boekan disebabkan oleh kedjahatan, hanja karena pelanggaran (overtreding), tra oeroeng dikatakan djahat djoega. Barang siapa termasoek dalam lobang pendjara, lantas sadja digolongkan orang djahat."

Kita menandai cara penulisan "orang jang kena hoekoeman pendjara". Pembaca lekas mengartikan penjara itu jenis hukuman bagi pelaku kejahatan atau pelanggar hukum. Semula, penjara itu tempat dan bangunan, belum jenis hukuman. Bagelener gampang saja mengandaikan pembaca mengetahui orang berada dalam penjara berarti "kena hoekoeman pendjara".

Pada 1918, Mas Marco Kartodikromo menggubah puisi yang mengandung biografi dan rekaman zaman. Puisi-puisinya diterbitkan menjadi buku Sair Rempah-Rempah. Pada bait awal, Mas Marco menulis: Sair inilah dari pendjara,/ Waktoe kami baroe dihoekoemnja,/ Di Weltevreden tempat tinggalnja,/ Doea belas boelan poenja lama. Penjara berarti tempat. Si pujangga pun mengumumkan penjara beralamat di Weltevreden. Mas Marco memang "rajin" masuk penjara atau menjalani hukuman di penjara sejak berani menghajar pemerintah kolonial melalui tulisan-tulisan dan keterlibatan dalam pergerakan politik.

Penjara itu tempat bagi orang yang melanggar hukum atau berbuat kejahatan. Dulu, imajinasi penjara adalah tempat atau bangunan yang memiliki tembok tinggi, kawat berduri, lorong, serta ruang gelap dan sumpek. Nasib pengarang novel Mata Gelap dan Student Hidjo itu mirip dengan gambaran dalam artikel garapan Bagelener. Mas Marco dipaksa hidup dalam penjara bersama sekian orang berjulukan perampok dan maling. Pengakuannya selama berada dalam penjara: Didalam pendjara tidak enak,/ Tertjere dengan istri dan anak,/ Koempoel maling dan perampok banjak,/ Seperti bangsanja si pengampak. Pembaca masih memahami penjara sebagai tempat.

Tahun demi tahun berlalu, penjara terus menjadi berita dan cerita. Novel atau puisi gubahan para pengarang di zaman "kemadjoean" menguak lakon buruk kolonialisme. Kata itu tentu masuk ke kamus-kamus mendapat pembakuan arti meski masih berhak berubah mengacu pada pelbagai dalih. Orang menuliskan bahwa orang menjalani hukuman dalam penjara adalah "dipenjara". Pihak pemberi hukuman mungkin memilih penulisan "memenjara". Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001) juga memberi bentukan kata "terpenjara", yang berarti disekap dalam penjara. Sekian kemungkinan tetap memuat segala perbedaan dalam penulisan berita, artikel, dan teks sastra. Penjara tak melulu berarti cuma tempat atau bangunan.

Sekian cara penulisan penjara dalam artikel dan puisi itu mungkin tak pernah menjadi referensi Poerwadarminta saat mengerjakan Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952). Di zaman merdeka atau revolusi, penjara-penjara tetap ada untuk menjadi tempat menjalani hukuman. Di halaman 521, Poerwadarminta mengartikan penjara sebagai "tempat mengurung orang hukuman" dan bersinonim dengan "bui, kurungan, terongko".

Bermula dari kamus yang isinya paling banyak digunakan dalam pembuatan Kamus Besar Bahasa Indonesia itu, kita mengurangi ragu dalam penulisan berita mengenai Setya Novanto mendapat vonis 15 tahun penjara. Kita lekas mengartikannya hukuman dalam penjara selama 15 tahun. Penulisan kalimat dalam berita tentu ingin ringkas tapi jelas. Pembaca koran-koran edisi 25 April 2018 tanpa ragu mengerti maksud penulisan 15 tahun penjara, mengacu ke cara penulisan para wartawan. Ingatan pada surat kabar lama, puisi masa lalu, dan kamus lawas mungkin berlebihan untuk turut memberikan tanggapan bagi nasib Setya Novanto. Kita menduga saja Setya Novanto malah tak pernah berpikiran tentang penjara sebagai kata. l

Kuncen Bilik Literasi

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus