Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTANYAAN anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat, Bobby Adhityo Rizaldi, kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto dalam rapat tertutup Kamis pekan lalu sesungguhnya sederhana. "Apa yang sebenarnya dikehendaki TNI dalam pemberantasan terorisme?" ujar Bobby mengulang pertanyaannya itu kepada Tempo, Jumat pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, pemerintah dan DPR masih membahas revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Salah satu pasal yang menuai kontroversi adalah soal keterlibatan TNI dalam penanganan terorisme. Alih-alih menjawab langsung, kata Bobby, Hadi malah membeberkan kemampuan intelijen TNI di Badan Intelijen Strategis sampai teknis pengerahan Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Panglima sepertinya ingin memasukkan Koopsusgab dalam revisi undang-undang," ujar Bobby. Menurut politikus Partai Golkar itu, Komisi Pertahanan merekomendasikan ketentuan teknis ihwal keterlibatan TNI menangani terorisme lebih baik diatur dalam produk hukum turunan undang-undang.
Ditemui wartawan seusai rapat, Marsekal Hadi Tjahjanto sepakat hal itu diatur dalam aturan turunan. Sesuai dengan Undang-Undang TNI, kata dia, tentara bisa mengatasi terorisme dalam bentuk operasi militer selain perang. Hadi mengklaim operasi TNI dalam mengatasi terorisme bersifat utuh. Dari pencegahan, penindakan, pemulihan, hingga monitoring dilakukan dalam satu rangkaian operasi militer.
Menurut Hadi, bantuan TNI menangani terorisme akan berbentuk Koopsusgab. Satuan ini akan dipimpin seorang jenderal bintang dua. Personelnya hasil saringan dari setiap satuan elite, seperti Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (Kopassus), Korps Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Paskhas), dan Komando Pasukan Katak TNI Angkatan Laut (Kopaska). Gabungan tim ini akan dirotasi saban enam bulan. "Koopsusgab adalah satuan yang punya kemampuan dalam operasi penindakan dalam tempo cepat," ujar lulusan Akademi Angkatan Udara 1986 itu.
Nama komando operasi khusus kembali bergaung seusai kerusuhan narapidana terorisme di Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, dan serangan bom di Surabaya. Satuan prajurit elite ini sejatinya dibentuk oleh Moeldoko, Panglima TNI periode 2013-2015. Moeldoko-kini menjabat Kepala Staf Kepresidenan-menggabungkan kekuatan pasukan elite untuk merespons ancaman lokal dan regional di Indonesia.
Saat itu, di tingkat lokal, kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang dipimpin kombatan Poso, Santoso, masih eksis. Organisasi ini mendukung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Santoso pada 2014 berbaiat kepada Abu Bakar al-Baghdadi, pendiri ISIS. Ancaman keamanan di kawasan tak kalah genting. Indonesia bersinggungan dengan poros Laut Cina Selatan, yang diperebutkan sedikitnya enam negara.
TNI sebenarnya sudah punya Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC). Gugus tugas ini juga menggabungkan prajurit dari tiga matra. Batalion PPRC ada di bawah komando Kostrad TNI Angkatan Darat. "Jumlah anggota pasukannya sampai 17 ribu prajurit," kata Moeldoko saat ditemui Tempo, Kamis pekan lalu.
Moeldoko menerjunkan tim pemukul reaksi cepat ini di Poso, Sulawesi Tengah. Tak hanya menggelar latihan perang hutan, ribuan prajurit juga menyisir jejak teroris dan latihan paramiliter kelompok Santoso. Tapi tim besar ini dianggap kurang efektif ketika harus menghadapi teror yang lebih kecil.
Dia lalu membentuk tim untuk menggodok format satuan elite dengan postur pasukan yang lebih mini. Disepakatilah bentuk Koopsusgab yang berisi tentara dari satuan-satuan khusus di tiap matra. Jumlah personelnya tak lebih dari 100 prajurit. Satuan ini bermarkas di Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia, Sentul, Bogor. "Mereka adalah prajurit the best of the best."
Koopsusgab sempat vakum saat Gatot Nurmantyo menjabat Panglima TNI. Menurut Moeldoko, ide mengaktifkan kembali Koopsusgab dia sampaikan kepada Presiden Joko Widodo karena ancaman teror yang bertubi-tubi. "Pembentukan organisasi itu dalam situasi global seperti sekarang memang diperlukan," ucap Moeldoko. Presiden Jokowi menyetujui gagasan ini.
Moeldoko memberi sedikit petunjuk soal rancangan peraturan presiden yang mengatur keterlibatan tentara dalam pemberantasan terorisme. Nantinya peraturan presiden lebih bersifat taktis, seperti teknis operasi militer yang dilancarkan TNI. Bukan hanya itu, produk hukum turunan undang-undang tersebut juga akan memuat tingkat ancaman dan penentuan perubahan status ancaman yang memungkinkan TNI masuk menangani terorisme. "Indikatornya seperti apa, siapa yang menentukan," ujarnya.
Menurut Moeldoko, penerjunan pasukan super-elite ini hanya bisa melalui keputusan presiden. Di sejumlah negara maju, presiden dibantu komite pertahanan yang memberi pertimbangan soal perlu atau tidaknya menerjunkan tentara. Indonesia belum punya lembaga sejenis. Maka presiden bisa mendapat masukan dari Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI, Menteri Pertahanan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Kepala Badan Intelijen Negara. Moeldoko juga memastikan, manakala TNI dilibatkan menangani terorisme, Koopsusgab yang bergerak.
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, meski Koopsusgab bisa diterjunkan melumpuhkan teroris, kepolisian tetap memegang kendali dalam kasus penindakan hukumnya. "Dilihat bobot penanganan yang lebih berat," kata Ryamizard. "Kalau condong ke penindakan hukum, ya, polisi. Sementara itu, kalau memakai alat perang seperti bom harus tentara."
Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Mulyono menjelaskan keterlibatan TNI memberantas terorisme tetap wajib berkoordinasi dengan polisi. Kerja sama dengan polisi juga bisa dilakukan dengan bertukar informasi intelijen. "Saya minta tentara tetap bersinergi dengan polisi setempat," ujarnya.
Pengesahan Rancangan Undang-Undang Antiterorisme pada Jumat pekan lalu, menurut Presiden Joko Widodo, membuat pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme tak perlu dipermasalahkan. Presiden segera mengeluarkan peraturan yang merinci pelibatan tentara. "Perpres itu hanya teknis," kata Jokowi saat kunjungan kerja ke Kuningan, Jawa Barat, Jumat pekan lalu. "Bagaimana kami memerangi terorisme, baik dengan pendekatan yang lunak maupun keras."
Raymundus Rikang, Ahmad Faiz, Hendartyo Hanggi, Chitra Paramaesti
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo