Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayor Jenderal Hariyanto menyatakan dukungannya terhadap rencana Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan pengampunan atau amnesti terhadap para tahanan politik (tapol) asli Papua. Hal tersebut, menurut dia, menjadi salah satu upaya penyelesaian konflik di Papua.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mabes TNI mendukung kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas nasional dan upaya menyelesaikan konflik di Papua secara damai,” kata Hariyanto ketika dihubungi lewat aplikasi perpesanan pada Rabu, 29 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Kepala Staf Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih itu yakin langkah yang diambil oleh Prabowo tersebut akan tetap mengutamakan kepentingan negara. Ia memastikan keutuhan bangsa Indonesia akan tetap menjadi perhatian utama pemerintah ketika mengambil sebuah kebijakan. “Kami percaya bahwa keputusan yang diambil oleh pemerintah, termasuk terkait pemberian amnesti, akan mengutamakan kepentingan nasional,” ujarnya.
Meski begitu, Hariyanto menilai perlu adanya proses penilaian atau asesmen bagi para tapol yang akan dibebaskan. Hal tersebut penting untuk dapat memastikan perdamaian di Papua dapat tercapai tanpa mengesampingkan keamanan dan kedaulatan negara. “Langkah pemberian amnesti tentunya harus melalui kajian yang sangat komprehensif,” kata dia.
Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan Agus Andrianto mengatakan pemerintah masih dalam proses klasifikasi dan asesmen narapidana yang akan diberikan pengampunan atau amnesti. Termasuk di antaranya para tahanan politik atau tapol di Papua. "Asesmen sedang dilakukan termasuk (tapol) warga Papua," kata dia Agus ketika dihubungi oleh Tempo.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra sempat mengatakan tidak semua narapidana konflik di Papua akan mendapatkan amnesti dan abolisi dari presiden. Ia menjelaskan pengampunan hukum bagi anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) Papua hanya ditujukan bagi mereka yang sudah berikrar setia kepada NKRI. “Amnesti dan abolisi diberikan kepada mereka yang bersumpah setia kepada NKRI," katanya kepada Tempo pada Jumat, 24 Januari 2025.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan adanya rencana pemerintah untuk memberikan amnesti atau pengampunan kepada sedikitnya 44 ribu narapidana (napi), mulai dari pengguna narkotika hingga kasus tahanan politik atau Tapol di Papua. Menurut Supratman, jumlah pasti napi yang akan diberikan amnesti masih dalam proses klasifikasi dan asesmen.
“Presiden akan memberikan amnesti terhadap beberapa napi yang saat ini sementara kami lakukan asesmen bersama dengan Kementerian Imipas (Imigrasi dan Pemasyarakatan),” ujar Supratman saat memberikan keterangan pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 13 Desember 2024.
Adapun Supratman menyebut belasan tapol asal Papua yang akan menerima pengampunan hukum tersebut telah diajukan kepada Prabowo. Kebijakan ini menjadi upaya rekonsiliasi warga Papua. Namun, penghapusan hukuman ini hanya diberikan kepada aktivis yang tidak bersenjata.
“Beberapa kasus yang terkait dengan Papua, ada kurang lebih 18 orang,” ujar Supratman. “Ini upaya itikad baik bagi pemerintah untuk mempertimbangkan bagaimana kemudian Papua bisa menjadi lebih tenang, ini itikad pemerintah.”
Eks tahanan politik di Papua Ambrosius Mulait menilai pengampunan hukum bagi para tapol tidak akan pernah menyelesaikan akar permasalahan. Menurut dia, ada sejarah politik yang panjang di bumi cendrawasih tersebut yang tidak akan selesai dengan sekadar pemberian amnesti oleh presiden. “Masalah Papua bukan masalah pengampunan dan sebagainya. Tapi ini masalah sejarah politik yang harus diselesaikan oleh semua pihak,” ujar Ambrosius ketika dihubungi Tempo, Rabu, 29 Januari 2025.
Ambrosius menuturkan masyarakat di Papua sudah sekitar 64 tahun hidup dalam bayang-bayang kekerasan. Bangsa Papua, kata Ambrosius, sedang mengalami masalah depopulasi yang cukup serius akibat konflik yang berkepanjangan tersebut. Populasi warga Papua menurun jauh dari sekitar 8 juta jiwa di medio tahun 1969, dan kini menjadi hanya kurang lebih 4 juta jiwa. Hal itu karena pendekatan militerisme yang terus dilakukan oleh pemerintah.
Ambrosius pun meminta agar pemerintah mengubah paradigmanya dalam melihat persoalan di tanah Papua. Dengan sejarah politik dan kekerasan yang begitu panjang, Ambrosius menilai perlu adanya ruang diskusi yang setara antara masyarakat Papua dengan pemerintah secara langsung. “Persoalan masalah Papua itu bisa diselesaikan dengan semua harus buka ruang dan duduk, pakai pihak ketiga untuk fasilitasi dialog,” ucapnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kaki Abu Leonardus Ijie. Menurut advokat yang kerap mendampingi para tapol asli Papua tersebut, kebijakan amnesti untuk tapol tidak memberikan dampak apa pun karena jumlah orang Papua yang ditangkap justru kian bertambah.
“Akan lebih baik jika negara tidak hanya sibuk mengeluarkan tapol Papua, tetapi apa yang menjadi penyebab lahirnya berbagai tapol Papua itulah yang harus diselesaikan. Salah satunya hentikan pendropan militer di atas tanah Papua dan hentikan serta tarik operasi militer,” kata Leonardus ketika dihubungi Tempo lewat aplikasi perpesanan, Rabu, 29 Januari 2025.
Hendrik Khoirul Muhid dan Novali Panji Nugroho ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.